Jumat, April 19, 2024

Blended Finance: Demi Swasta atau Demi Siapa?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Wacana Baru, Kontestasi Baru

Wacana tentang blended finance sangat baru di Indonesia. Tepatnya, baru di bulan Oktober 2017 wacana tersebut masuk. Di dunia aktivisme sosial dan akademik mungkin sudah lebih lama wacana itu terdengar, namun benar-benar sayup-sayup.  Jadi, ketika pada Oktober 2017 Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengeluarkan pernyataan soal itu, banyak pihak di Indonesia bertanya-tanya soal apa yang ia maksudkan.

Javier Pereira, penulis dokumen Blended Finance: What It is, How It Works and How It is Used untuk  Oxfam, menyatakan bahwa walau sudah beberapa tahun kata blended dipergunakan untuk menjelaskan bagaimana pembiayaan pembangunan dilaksanakan terutama di negara-negara berkembang, pengertian yang kokoh belum lagi terbentuk.  Padahal, Pereira menuliskan dokumen itu di awal 2017,  sehingga jelas bahwa fenomena ini memang sangat baru.

Lantaran masih sangat baru dan pengertian yang baku belum lagi disepakati, maka terdapat beberapa hal yang tampaknya kurang tepat yang dinyatakan oleh beberapa pejabat pemerintah Indonesia menyambut wacana ini. Sejak digulirkan oleh Menteri Luhut Panjaitan, Indonesia mendengar beberapa komentar seperti bahwa blended finance sebetulnya adalah istilah yang artinya sama dengan public-private partnership (PPP), atau kemitraan antara pemerintah dan swasta; dan bahwa blended finance berarti gabungan pembiayaan filantropi dan swasta, atau, walau jarang terdengar, philanthropy-private partnership.

Kalau dokumen yang ditulis Pereira (2017) itu dirujuk, kita akan tahu bahwa sesungguhnya makna blended finance tidaklah tepat begitu. Ada enam definisi blended finance yang diperiksa Pereira dan keseluruhannya bicara soal official development assistance (ODA), yang berarti ada komponen bantuan dana pembangunan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang di dalam konsep tersebut. Pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi kombinasinya. Beberapa definisi menyatakan bahwa kombinasinya haruslah investasi pihak swasta, sementara ada juga yang membolehkan dari filantropi, juga dana publik atau pemerintah.

Sifat dari dana kombinasi ODA itu ada yang tidak dinyatakan dengan jelas, ada yang hanya dinyatakan dari swasta, namun ada pula yang mempersyaratkan jumlah yang lebih besar, bahkan harus memastikan bahwa proyek yang dibiayai haruslah menjadi layak secara ekonomi. Kelayakan secara ekonomi adalah ide yang sangat mendasar dari blended finance.

Keterlibatan Swasta dalam Pembangunan

Sudah beberapa dekade kita menyaksikan semakin besarnya tuntutan agar pihak swasta dilibatkan secara lebih jauh di dalam pembangunan, namun hambatan utamanya adalah bahwa banyak proyek yang tak akan menarik minat swasta—yang baru akan tertarik bila sebuah proyek menjanjikan keuntungan. Karenanya, blended finance dimaksudkan untuk menciptakan kondisi di mana pada akhirnya proyek itu bisa dijalankan dengan keterlibatan swasta, atau menggeser kondisi dari yang tak sesuai dengan mekanisme pasar menjadi yang sesuai.

Tak mengherankan apabila dalam analisis Pereira, penerima manfaat yang utama dari blended finance adalah pihak swasta.

Mungkin, dari kondisi tersebutlah maka beberapa pejabat menyamakan blended finance dengan PPP.  PPP sendiri tak punya definisi dan praktik yang baku, namun banyak yang di antaranya menekankan pada jaminan pendapatan dan keuntungan bagi pihak swasta yang terlibat. Biasanya pihak swasta menyediakan pembiayaan dan melakukan pembangunan fasilitas publik, seperti transportasi massal, lalu pemerintah menyediakan jaminan pendapatan tertentu. Bila ternyata lewat mekanisme pasar itu pendapatan swasta kurang dari nilai yang dijamin pemerintah, maka pemerintah membayar selisihnya.

Namun, pada praktik PPP jelas sekali pemerintah menghindari ko-investasi sedapat mungkin, tetapi sesungguhnya apa yang dilakukan adalah membayar hutang kepada swasta dalam jangka panjang.

Tampaknya, atas praktik PPP juga yang kebanyakan adalah untuk pembangunan infrastruktur, beberapa pejabat pemerintah juga berkali-kali menyatakan bahwa blended finance adalah pemanfaatan dana filantropi untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Selain tidak tepat, pernyataan tersebut menimbulkan masalah sensitif, karena selama ini dana filantropi sebetulnya menjadi andalan gerakan sosial (sektor ketiga) di Indonesia.  Kalau diperhatikan sejak awal tahun 2000an, cenderung menurun jumlahnya. Kalau dana filantropi benar akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, tentu ini membuat kekhawatiran akan semakin sedikitnya dana yang tersedia untuk aktivitas sektor ketiga.

Bagi sektor ketiga, pembangunan infrastruktur sendiri kerap menimbulkan kritik lantaran perhatian pada aspek sosial dan lingkungan yang rendah. Hal ini sudah lama menjadi perhatian gerakan sosial di Indonesia, dan di seluruh dunia. Sejumlah besar, kalau bukan malahan seluruhnya, pembangunan infrastruktur dipastikan punya dampak negatif atas masyarakat dan lingkungan. Dan peluang munculnya dampak negatif itu semakin tinggi kalau pembangunan dilakukan secara terburu-buru seperti yang terjadi sekarang.

Presiden Joko Widodo mungkin punya alasan kuat bahwa pembangunan infrastruktur memang perlu dikebut, lantaran kita memang tertinggal jauh, bahkan dibandingkan negara-negara yang merdeka belakangan. Tetapi, itu semua memiliki ekses yang tak sedikit. Jadi, ide memindahkan dana filantropi menjadi dana pembangunan infrastruktur—yang dibungkus dalam pengertian yang tidak tepat atas blended finance—membuat pemerintah punya dua masalah sekaligus di mata gerakan sosial.

Berbagai Risiko

Lebih lanjut, kalau niatan tersebut tetap dilanjutkan, sangat penting untuk memperhatikan dua masalah dalam pembangunan infrastruktur yang dibiayai lewat skema PPP yang dikhawatirkan juga terjadi pada skema blended finance.  Pertama, persoalan prioritisasi infrastruktur yang dibangun, beserta jenis manfaatnya, yang tidak secara jelas menunjukkan pemihakan pada kelompok yang kurang beruntung.

Dalam pembangunan jalan tol, misalnya, sebagian penggunanya adalah kelas menengah-atas dengan mobil pribadi, sehingga banyak pengamat transportasi yang menyatakan bahwa pembangunan tersebut lebih menguntungkan industri otomotif Jepang dibandingkan pihak lainnya. Kalau Presiden Jokowi menyatakan bahwa tujuan pembuatan tol adalah untuk meningkatkan kemudahan perpindahan arus barang bagi masyarakat sehingga harga-harga produk menjadi turun, tentu itu masih harus dibuktikan, karena sebagian besar tol baru saja beroperasi dan dampak yang demikian belum dihitung dan ditunjukkan.

Kedua, soal transparansi yang rendah dalam perhitungan biaya total, tingkat jaminan pendapatan pihak swasta, dan hutang yang harus dicicil pemerintah dalam jangka panjang. Tak bisa dimungkiri bahwa ada banyak kasak-kusuk yang menyatakan bahwa biaya pembangunan infrastruktur di Indonesia tergolong mahal. Perbandingan-perbandingan oleh para pakar telah diberikan, namun tak direspons secara memadai.

Demikian juga soal tingkat jaminan pendapatan pihak swasta. Dalam diskusi yang berkembang, masyarakat yang terbiasa bepergian di kawasan Asia bisa membandingkan berapa harga tiket MRT di Hong Kong, Singapura, dan Thailand dari bandara menuju kotanya. Tetapi, transparansi perhitungan lagi-lagi belum muncul. Dalam situasi keterbukaan seperti sekarang, sikap yang tertutup akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat.

Kembali ke analisis Pereira, pemanfaatan blended finance yang tak bijak memang punya sejumlah besar risiko. Dua yang di atas adalah yang paling jamak terjadi, sehingga tak mengherankan bila blended finance bisa dinyatakan, terutama dan pertama-tama, akan menguntungkan swasta. Secara lengkap, risiko-risiko blended finance mencakup penggelembungan jumlah dana yang diperlukan atau dipergunakan dalam proyek, pengalihan perhatian dari bentuk-bentuk bantuan lainnya, konsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja, ketidakjelasan manfaat proyek yang dibiayai, kelemahan koordinasi dengan donor, serta kelemahan project ownership serta akuntabilitasnya.

Sangat jelas bahwa beragam risiko itu sangat mungkin terjadi di Indonesia. Yang paling mengkhawatirkan mungkin lantaran terlampau berfokus pada pembangunan infrastruktur, maka pengabaian kebutuhan-kebutuhan lain, terutama yang bertujuan keberlanjutan, seperti pencapaian SDGs secara menyeluruh dan Kesepakatan Paris bisa terjadi. Blended finance sesungguhnya harus lebih memihak pada keberlanjutan, sehingga penting memprioritaskannya untuk proyek-proyek yang terkait dengan tujuan-tujuan SDGs yang masih jauh dari norma pencapaian, serta sektor-sektor yang bisa menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia, bukan sekadar untuk pembiayaan infrastruktur yang boleh jadi tak terkait dengan itu.

Menyongsong Datangnya Blended Finance

Di Davos, 23 Januari 2018, sebuah diskusi bertajuk Blended Finance and Innovation for Better Business Better World diselenggarakan. Judulnya tentu saja mencerminkan kekhawatiran gerakan sosial bahwa blended finance tampaknya didesain untuk pertama-tama menguntungkan pihak swasta, baru kemudian menguntungkan “dunia”. Diskusi itu, lantaran dihadiri para pejabat tinggi Pemerintah Indonesia, sangat penting untuk memberikan klarifikasi atas apa yang sesungguhnya dipahami dan diharapkan dari fenomena baru bernama blended finance itu.

Namun, dari sudut pandang gerakan sosial dan pembangunan berkelanjutan, beberapa rekomendasi agar blended finance bisa mendatangkan maksimal bisa diajukan. Pertama, sangat perlu mendorong penyebarluasan pemahaman terkait blended finance kepada seluruh, bukan hanya sebagian, pemangku kepentingan di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah penekanan pada pengertian yang tepat mengenai persamaan dan perbedaan blended finance dan PPP; serta diskusi tentang peran yang tepat untuk bantuan donor asing, filantropi, dana publik, serta swasta dalam blended finance.

Demikian juga, sangat perlu menjelaskan kaitan antara blended finance dengan berbagai instrumen sustainable finance yang sudah dan akan dibuat di Indonesia.

Kedua, terkait dengan pembangunan infrastruktur, sangat perlu untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia benar-benar memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, atau ditransformasikan menjadi pembangunan infrastruktur berkelanjutan.  Hanya dengan menjamin pengelolaan sosial dan lingkungan yang memadai, maka pembangunan infrastruktur bisa membawa manfaat optimal.

Berikutnya, menjamin partisipasi masyarakat dan transparansi dalam penetapan prioritas dan pemanfaatan infrastruktur yang bakal dibangun dengan skema blended finance.

Ketiga, dan yang terpenting, adalah melihat keseluruhan Tujuan dan Target SDGs dan Kesepakatan Paris—bukan sekadar pembangunan infrastruktur—sebagai panduan untuk menentukan program, proyek, dan aktivitas yang akan dibiayai dengan blended finance di Indonesia. Tentu infrastruktur sangat penting untuk terus dibangun, namun pembangunannya harus dipandu oleh tujuan dan target yang lebih tinggi tingkatannya daripada sekadar proyek konstruksi.

Dan, memahami prinsip keberlanjutan, maka tujuan dari pembangunan yang tertinggi prioritasnya sesungguhnya adalah mengangkat mereka yang masih belum beruntung ke kondisi yang baik. Ini dicerminkan dalam slogan no one is left behind yang diusung oleh SDGs.  Jadi, penerima manfaat utama dari blended finance seyogianya adalah kelompok masyarakat yang kurang beruntung itu, bukannya pihak swasta.

Apakah blended finance bisa membantu mengarahkan Indonesia pada tujuan SDGs dan Kesepakatan Paris, ataukah hanya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan swasta yang kebagian proyek konstruksi infrastrukur? Itu akan tergantung dari bagaimana pemangku kepentingan pembangunan di Indonesia menyikapi mekanisme pendanaan baru tersebut.

Kolom terkait:

Filantropi Perusahaan: Cuci Dosa atau Nilai Korporat?

Mengekang Syahwat Senayan atas Dana CSR

2018: Apakah Kita Memilih Keberlanjutan?

Bisnis dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Lawan atau Kawan?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.