Jumat, April 19, 2024

Bersama Kita Mabuk LRT

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.

Setelah pembangunan light rail transit (LRT) atau kereta api ringan di Palembang dan Jakarta-Bogor–Depok-Bekasi (Jabodebek) berlangsung dengan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kini banyak kota mengusulkan pembangunan prasarana transportasi umum sejenis seperti di Bandung, Yogyakarta, Medan, Makasar, Semarang, Tangerang Selatan, dan lainnya. DKI Jakarta telah membangun LRT sendiri.

Belum jelas betul motivasi usulan tersebut, apakah betul-betul kebutuhan, seiring dengan perkembangan kota yang makin banyak penduduknya ataukah untuk mengejar prestise saja agar dapat julukan sebagai kota modern?

Usulan untuk membangun LRT itu sah-sah saja, karena setiap kota ingin memiliki moda transportasi umum yang modern untuk kotanya. Namun, berdasarkan pengalaman pembangunan LRT di Palembang, Jabodebek, dan LRT DKI Jakarta yang menyedot anggaran amat besar, baik untuk investasi maupun operasional, maka sebaiknya usulan beberapa daerah untuk membangun LRT itu dikaji betul urgensi dan implikasi fiskalnya.

Sejujurnya saya khawatir, bila pembangunan LRT di sejumlah daerah disetujui, APBN ke depan sesudah LRT beroperasi akan tersita untuk subsidi LRT. Sebab, seperti dikemukakan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (31/7 2017), untuk mengoperasikan LRT Jabodebek, PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan mendapat subsidi sekitar Rp 16 triliun dalam waktu 12 tahun atau rata-rata Rp 1.250 triliun per tahun.

Besaran subsidi itu dengan asumsi LRT Jabodebek mampu mengangkut 116.000 penumpang per hari dengan tarif Rp 12.000 dan pertumbuhan jumlah penumpang 5 persen. Subsidi akan diberikan ketika LRT beroperasi pada tahun 2019.

Adanya subsidi untuk PT KAI telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit (LRT). Pasal 16C Perpres ini mengatur, pemerintah memberikan subsidi/bantuan dalam rangka penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Services Obligation/PSO).

Bila dibandingkan dengan subsidi untuk penumpang KRL Jabodetabek yang hanya Rp 1,2 triliun tapi mampu mengangkut satu juta penumpang perhari, atau kapal perintis yang melayani seluruh pulau terpencil di Indonesia, besaran subsidi untuk operasional LRT Jabodebek itu terlalu besar.

Persoalan subsidi untuk operasional LRT juga bakal dihadapi oleh LRT Sumatra Selatan, terutama seusai pelaksanaan Asian Games 2018 dan LRT DKI Jakarta. Hal itu karena jalur LRT Sumsel kurang pas, banyak melewati daerah perkantoran pemerintahan yang hanya akan punya bangkitan perjalanan pada pagi dan siang hari saja. Selebihnya belum diketahui siapa yang akan naik LRT.

Sementara itu, problem LRT DKI Jakarta karena jalurnya terlalu pendek. Boleh jadi, pendapatan dari tiket hanya mampu meng-cover 20% dari biaya operasional, sedangkan pendapatan dari luar tiket (non-fare box revenue) minim. Akhirnya dana APBN/APBD dijadikan penopang utama operasional LRT di semua tempat.

Ada dua permasalahan yang agak berbeda antara pembangunan LRT Jabodebek yang pengerjaannya dilaksanakan oleh PT Adhi Karya dan LRT Sumsel yang pengerjaannya dilakukan oleh PT Waskita Karya. Pada pembangunan LRT Sumsel, karena didedikasikan untuk Asian Games 2018, maka anggaran tidak menjadi kendala sebab semua investasi ditanggung oleh pemerintah pusat. Sedangkan LRT Jabodebek, karena inisiasi dari BUMN, maka dana investasi sempat tersendat-sendat, meski sekarang telah beres setelah ada intervensi dari pemerintah.

LRT Sumsel dan LRT DKI Jakarta tidak masalah dalam hal dana pembangunan, tapi bermasalah dalam operasional, terkait dengan kecilnya jumlah perjalanan yang bakal menggunakan LRT. Sedangkan LRT di Jabodebek bermasalah pada dana investasi, tapi mungkin tidak bermasalah soal potensi penumpang. Meski demikian, keduanya memerlukan subsidi besar dari negara.

Problem operasional LRT Jabodebek adalah traffic oriented development (TOD) yang seharusnya menjadi sumber utama dari non-fare box revenue tidak dikuasai oleh operator, sehingga pendapatan besar yang masuk dari TOD tidak dapat dipakai untuk menyubsidi operasional LRT. Demikian pula yang terjadi di LRT Palembang, titik-titik yang akan dikembangkan menjadi TOD belum terlihat dan juga belum jelas siapa yang akan mengelola TOD-nya. Jika yang mengelola TOD berbeda dengan yang mengoperasikan LRT, tentu hasil TOD belum tentu dapat dipakai untuk menyubsidi operasional LRT.

Sebetulnya, selain TOD yang diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan di luar tiket, tiang-tiang LRT yang jumlahnya mencapai ribuan pilar dapat dikomersialkan untuk pemasangan iklan. Tapi, lagi-lagi, karena ruwetnya manajemen aset publik (siapa yang memiliki pilar dan berhak mengomersialkannya), maka tidak mudah juga melakukan optimalisasi komersialisasi tiang-tiang monorel tersebut. Jika kelembagaan pengelolaan aset itu clear, maka sedikitnya jumlah penumpang dapat ditutup dari non-fare box revenue, baik itu TOD maupun optimalisasi komersialisasi tiang-tiang LRT

Stop di Sumsel  dan Jabodebek

Belajar dari pembangunan LRT Jabodebek dan Sumsel yang keduanya menguras APBN cukup besar, baik untuk pembangunan fisik dan pengadaan sarana maupun operasionalnya, maka sebaiknya Direktorat Jendra Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan, selaku regulator, perlu berhati-hati betul memberikan izin pembangunan LRT baru kepada kota-kota yang mengajukan usulan pembangunan LRT, seperti Bandung, DIY, Makasar, Medan, Papua, Semarang, Tangerang Selatan, dan lainnya; termasuk yang  diajukan oleh swasta.

Saya amat tidak percaya bahwa swasta yang mengajukan permohonan membangun LRT itu sekaligus akan bertanggung jawab mengoperasikannya akhirnya akan menjadi beban negara. Sebab, negara seperti di-fait accompli tatkala ada sarana transportasi massal berbasis rel yang mangkrak tidak dioperasikan karena swasta menyerah. Akhirnya, mau tidak mau, negara harus mengoperasikannya dengan dana APBN.

Besaran dana pembangunan dan subsidi LRT itu dapat dilihat juga pada LRT yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan dana APBD. Sebagai contoh, Koridor Kelapa Gading – Velodrome yang hanya enam kilometer (termasuk depo) dan memiliki enam stasiun itu investasinya mencapai Rp 5,7 triliun. Dengan jarak yang teramat pendek itu, LRT tidak mungkin mampu operasional bila tanpa subsidi yang besar dari Pemprov DKI Jakarta. Boleh jadi mayoritas penumpangnya kelak adalah orang-orang yang ingin merasakan naik LRT saja, penumpang rutin hanya sedikit.

Sangat mungkin pendapatan dari penjualan tiket hanya meng-cover 10% saja dari biaya operasional. Hal yang sama akan terjadi di kota-kota lain di Indonesia yang akan membangun LRT. Akhirnya, pembangunan LRT di banyak tempat dapat mendatangkan bencana fiskal bagi negeri, lantaran subsidi besar APBN akan terkucur ke LRT saja yang mengangkut sedikit penumpang. Untuk itu, lebih baik pembangunan LRT berhenti di Jabodebek dan Sumsel saja, tidak perlu dilakukan di kota-kota lain. Demam LRT boleh, tapi perlu realistis dengan anggaran negara yang terbatas.

Pindah ke BRT

Light Rail Transit (LRT) dan monorail sesungguhnya merupakan moda transportasi umum yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju karena dinilai mahal biaya investasi dan operasionalnya, serta kapasitas angkut yang terbatas. Banyak kota di dunia yang memilih BRT (Bus Rapid Transit) yang dinilai lebih murah investasi dan operasional dengan kapasitas angkut bisa separuh dari LRT.

Belanda, misalnya, memilih trem yang sejajar dengan jalan raya, sehingga bisa digunakan untuk trem maupun mobil. Saya percaya bahwa demam dan mabuk LRT di sejumlah kota ini lebih didorong oleh keinginan punya LRT seperti Sumsel dibandingkan dengan kebutuhan untuk memiliki moda angkutan umum massal. Sebab, kalau kebutuhannya adalah angkutan umum massal, maka BRT adalah solusi yang paling tepat: murah, cepat, efisien, dan memiliki kapasitas hampir sama dengan LRT.

Pilihan moda transportasi yang perlu dibangun itu harus tepat mengingat begitu luasnya wilayah NKRI dan terbatasnya anggaran negara. Bila yang banyak dibangun itu jenis moda LRT/monorail, dikhawatirkan APBN untuk transportasi lebih banyak terserap di perkotaan yang memiliki LRT/monorail, sementara daerah pedesaan dan kepulauan justru akan terabaikan. Ini dapat memperlebar kesenjangan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, sementara target Presiden Jokowi adalah mengurangi kesenjangan antara Jawa versus luar Jawa.

Kolom terkait:

Jokowi dan Bencana Tol Trans Jawa

Jokowi dan Kesenjangan Regulasi Transportasi [Catatan Transportasi 2016]

Buruk Rupa Transportasi Jakarta

Putusan MA, Sepeda Motor, dan Keruwetan Transportasi Jakarta

Pak Jokowi, Ini Alasan Saya Menolak Proyek Kereta Cepat

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.