Jumat, April 26, 2024

Amnesti Data Pangan

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) bakal mengakhiri masa dua tahun “puasa” merilis data pangan, khususnya padi. Ini seiring tuntasnya uji coba metode baru pengumpulan data padi, Kerangka Sampel Area (KSA), di Pulau Jawa. Metode yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini diyakini lebih akurat.

Bukan saja kerangka sampel survei didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah, tetapi juga mensyaratkan pengecekan lapangan oleh petugas dan memakai teknologi (penginderaan jauh, sistem informasi geografis dan teknologi informasi) untuk validasi kondisi tanaman. Jika tidak ada perubahan, hasilnya diumumkan Maret 2018.

Gugatan terhadap kualitas data pangan berulang kali muncul. Salah satu gugatan berpangkal pada lembaga teknis yang terlibat dalam pengumpul data. Untuk pangan, data dikumpulkan BPS dan Kementerian Pertanian. Bagi Kementerian Pertanian, data menjadi justifikasi berhasil-tidaknya program. Dari sini muncul masalah konflik kepentingan karena data dikumpulkan oleh lembaga yang kinerjanya diukur lewat data yang dikumpulkan sendiri.

Kerja bareng BPS dan Kementerian Pertanian ini terjadi pada pengumpulan data produksi padi. Produksi padi merupakan perkalian dari luas panen (hektare) dengan produktivitas (ton/hektare). Data luas panen dikumpulkan mantri tani (pegawai Kementerian Pertanian), sedangkan produktivitas antara BPS dan Kementerian Pertanian berbagi tugas, masing-masing 50%.

Dalam praktik, pengumpulan data kedua komponen perhitungan itu berbeda. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari hasil panen ubinan ukuran 2,5 x 2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Jadi, diterapkan sistem objective measurement.

Sebaliknya, data luas luas panen hanya dikumpulkan lewat cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data tidak berdasarkan survei statistik. Dalam teori statistik data ini termasuk catatan administrasi, sehingga akurasinya sulit diuji ulang secara statistik.

Oleh BPS, data luas panen dan produktivitas kemudian diolah jadi angka produksi padi nasional. Data yang keluar disebut “angka BPS”. Padahal, dalam praktik, BPS hanya mengumpulkan 25% dari keseluruhan data produksi padi, sisanya (75%) dikumpulkan oleh Kementerian Pertanian. Kompromi dua sistem pengumpulan data yang berbeda ini sudah berlangsung sejak 1973 tanpa ada revisi. Padahal, teknologi metode pengumpulan data sudah berkembang pesat seiring perkembangan teknologi informasi-komunikasi.

Penyebab utama ketidakakuratan data produksi padi adalah komponen luas panen. Data produktivitas juga tidak lepas dari kesalahan. Namun, metode penaksiran dalam pengumpulan data luas panen memang subyektif dan sulit diuji akurasinya secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17%.

Hasil uji coba metode KSA oleh BPS di Indramayu dan Garut periode Maret-Desember 2016 menunjukkan hasil serupa. Di Indramayu, luas panen dengan metode KSA 183.000 hektare, sementara menurut SP-Padi 201.200 hektare (selisih 9,96%). Di Garut, luas panen metode KSA 55.100 hektare, dan 110.200 hektare berdasarkan SP-Padi (selisih 99,89%).

Ini memang masih uji coba. Tapi kemungkinan hasilnya tidak akan jauh meleset dari hasil ini: data produksi padi dilaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

Laporan produksi berlebih itu masuk akal. Kementerian Pertanian memperkirakan, produksi padi 81,3 juta ton gabah kering giling pada 2017. Dengan konversi 0,57, produksi padi itu setara 46,3 juta ton beras. Dengan konsumsi 114,12 kg/kapita/tahun, total konsumsi beras 260 juta penduduk setara 29,7 juta ton beras. Ada surplus 16,6 juta ton beras.

Di mana beras surplus itu? Jagung kondisinya sama. Jika benar produksi 19,6 juta ton tahun 2015, semestinya ada surplus 1,6 juta ton. Karena kebutuhan pakan ternak, industri, dan konsumsi langsung hanya 17,9 juta ton. Nyatanya pada tahun 2015 impor 3,5 jagung juta ton.

Data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Jika sesama lembaga negara harus bersilang pendapat tentang data resmi pemerintah, bisa dibayangkan bagaimana kualitas kebijakan yang dirakit. Tentu amat mungkin kebijakan itu menyengsarakan, terutama buat publik.

Perbaikan metodologi pengumpulan data yang kedaluwarsa menjadi keniscayaan. Keengganan mengaplikasikan temuan baru, inovasi baru, dan hasil penelitian baru yang diperoleh dari proses panjang dengan metodologi ketat dan teruji secara akademik tentu patut dipertanyakan.

Yang pasti, begitu data hasil metode baru sudah diperoleh, BPS harus melakukan peramalan ke belakang (backcasting). Bisa 10 atau 20 tahun ke belakang. Backcasting tidak perlu dikaitkan dengan penguasa saat itu atau upaya untuk mencari-cari kesalahan kebijakan di masa lalu. Belum cukup, BPS juga perlu melakukan berbagai penyesuaian data-data dan indikator ekonomi lainnya. Jika di pajak ada program tax amnesty, dalam hal pengumpulan data ini perlu dipikirkan memberlakukan hal serupa: data amnesty.

Kolom terkait:

Politik Pangan dalam Konflik Nyaman

Muslihat Liberalisasi Pasar Beras

Isu Pangan Kelas Menengah

Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa

Jokowi dan Pasar Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.