Sejak 1975, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah berusaha memberikan perhatian terhadap isu perempuan dan gender lewat penyelenggaraan ASEAN Women Leaders’ Conference yang bertransformasi beberapa kali hingga menjadi ASEAN Committee on Women pada 2001.
ASEAN juga melahirkan sejumlah dokumen terkait perempuan dan gender, seperti Declaration on the Advancement of Women in ASEAN (1988), ASEAN Regional Plan of Action on the Elimination of Violence against Women (2015), ASEAN Guideline on Gender Mainstreaming into Labour and Employment Policies Towards Decent Work for All (2020).
Isu perempuan dan gender di ASEAN telah menarik minat sejumlah akademisi untuk mempelajarinya, seperti Alami, Langlois, et.al, Davies, et.al, Davies, dan Pietropaoli. Namun, belum ada yang mengkaji seperti apa prioritas dan perhatian ASEAN atas isu perempuan dan gender jika dilihat melalui Pernyataan Bersama Menteri Luar Negeri ASEAN sebagai hasil dari Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN. Pernyataan Bersama ini merupakan dokumen politik yang mengekspresikan prioritas dan perhatian ASEAN atas isu-isu yang berkembang di level regional dan global.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, kami menganalisis Pernyataan Bersama Menteri Luar Negeri ASEAN selama 2 dekade terakhir (2000-2022), dengan fokus pada tiga variabel, yaitu; kata kunci, komposisi, dan tema dalam Pernyataan Bersama. Pada bagian akhir kami juga jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prioritas dan perhatian ASEAN atas isu perempuan dan gender.
Kata Kunci
Terdapat tiga kata kunci yang digunakan untuk menganalisa Pernyataan Bersama, yaitu perempuan (woman/women), gadis (girl/girls), dan gender (gambar 1).
Gambar 1
Pada Tahun 2000, Pernyataan Bersama sama sekali tidak menyebut tiga kata kunci tersebut. Pernyataan Bersama mulai menyebut kata perempuan pada 2002, sementara kata gadis mulai disebut pada 2017, dan kata gender di tahun 2016. Penyebutan kata perempuan perlahan merangkak secara fluktuatif setiap tahunnya dari tahun 2002 hingga 2015.
Peningkatan drastis penyebutan tiga kata kunci tersebut dimulai tahun 2016 dengan puncak frekuensi penyebutan pada 2017, sebanyak 38 kali. Namun, meskipun sejak 2000 hingga 2022 terjadi peningkatan prioritas dan perhatian terhadap isu perempuan dan gender, peningkatan berjalan sangat lambat, fluktuatif dan tidak konsisten. Bahkan, mengalami penurunan setelah memuncak pada 2017.
Komposisi
Persentase paragraf yang berisi isu perempuan dan gender di dalam Pernyataan Bersama selama dua dekade terakhir juga sangat kecil (rata-rata hanya 2,3%). Presentase tertinggi terjadi pada 2017 dengan 6,5% dari total paragraf di dalam Pernyataan Bersama berisikan isu perempuan dan gender (gambar 2).
Gambar 2
Mayoritas pembahasan isu perempuan dan gender berada di bab komunitas sosial-budaya ASEAN, dengan penyebutan 121 kata terkait isu perempuan dan gender. Sub-bab yang mengangkat khusus isu perempuan dan gender juga hanya ada di bab komunitas sosial-budaya ASEAN.
Pada bab komunitas politik-keamanan ASEAN hanya terdapat 55 kata terkait isu perempuan dan gender. Penyebutannya pun baru mulai konsisten dalam kurang dari 10 tahun belakangan, dan hanya signifikan pada tahun 2020 dan 2021. Di bab komunitas ekonomi ASEAN penyebutan isu perempuan dan gender bahkan paling sedikit, hanya 2 kata dalam 20 tahun. Pembahasan isu perempuan dan gender di bab pembangunan komunitas ASEAN, yang memayungi isu-isu pokok dalam penguatan kerja sama ASEAN, juga sangat minimal dengan 3 kali penyebutan kata terkait isu perempuan dan gender.
Dari variabel komposisi terlihat isu perempuan dan gender hanya merupakan bagian kecil dari komposisi keseluruhan Pernyataan Bersama dari tahun ke tahun. Terlihat juga bahwa isu perempuan dan gender tidak dipandang sebagai sebuah substansi yang perlu memayungi pembangunan komunitas ASEAN secara menyeluruh di ketiga pilarnya, serta secara dominan lebih ditempatkan dan bertumpu terbatas di pilar sosial-budaya.
Tema
Dari sisi tema yang diangkat dalam pembahasan isu perempuan dan gender, tema kekerasan terhadap perempuan serta upaya perlindungan terhadap perempuan dan hak-hak perempuan menjadi tema yang paling dominan diangkat (tabel 1). Tema dimaksud diangkat dalam hampir semua tahun Pernyataan Bersama yang mencakup isu perempuan dan gender.
Tema berikutnya yang diangkat dalam Pernyataan Bersama, dengan frekuensi yang lebih sedikit, adalah pemberdayaan perempuan serta pengarusutamaan gender. Sementara itu, tema terkait kesetaraan gender, meski turut diangkat, disebut paling sedikit, dan baru muncul belakangan pada tahun 2016, 2017, dan 2019-2022.
Tabel 1
Tema dalam Pernyataan Bersama Menteri Luar Negeri ASEAN
Dari variabel tema ini, terlihat bahwa perhatian terhadap isu perempuan dan gender dalam Pernyataan Bersama masih didominasi isu perlindungan, yang cenderung menempatkan perempuan sebagai korban, obyek, pasif. Sementara isu pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender, yang menempatkan perempuan sebagai pemegang peran, subyek, dan aktif masih menjadi prioritas kedua.
Lebih lanjut, munculnya isu kesetaraan gender yang baru dalam 5 tahun belakangan, menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih menempati urutan terbawah perhatian dan prioritas ASEAN dalam isu perempuan dan gender.
Faktor Penyebab
Dari penjabaran di atas terlihat telah terjadi peningkatan prioritas dan perhatian ASEAN atas isu perempuan dan gender dalam bentuk komitmen politis melalui Pernyataan Bersama Menteri Luar Negeri ASEAN. Namun, peningkatan berjalan lambat dan sangat terbatas dengan dominasi pada bidang sosial-budaya.
Selain itu, belum terlihat upaya menerapkan pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan isu perempuan dan gender di tingkat komitmen politis Menteri Luar Negeri ASEAN, termasuk untuk mengarusutamakan isu perempuan dan gender dalam pembangunan komunitas ASEAN dan ketiga pilarnya.
Hal itu disebabkan, pertama, Pernyataan Bersama menjadi cerminan tradisi cara pandang state-centric ASEAN yang menempatkan negara sebagai isu prioritas. Konsekuensinya adalah isu-isu berbasis manusia, seperti perempuan dan gender, dijadikan subordinat dari isu-isu berbasis negara, seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan kohesi sosial. Akibatnya, perempuan dilihat sebatas sebagai entitas kultural, aset ekonomi, instrumen negara untuk mencapai kepentingan nasional serta apolitis.
Tabel 2
Peringkat Global Indeks Gender Negara Anggota ASEAN
Kedua, Pernyataan Bersama menjadi cerminan bahwa di level domestik Negara Anggota ASEAN masih memiliki norma maskulin yang kuat. Ini terlihat dari indeks kesenjangan gender Negara Anggota ASEAN (tabel 3), yang secara rata-rata berada di peringkat 76. Norma maskulin ini mempengaruhi bagaimana para pengambil kebijakan dan masyarakat ASEAN memandang isu perempuan dan gender serta menentukan kebijakan apa yang perlu diambil oleh ASEAN.
Hubungan antara norma, kebijakan, pengambil kebijakan dan masyarakat itu tersimpulkan melalui pernyataan Semb bahwa “jika politisi percaya bahwa ada dukungan domestik yang luas bagi norma internasional, mereka akan mengikuti norma tersebut karena takut kehilangan dukungan politik jika melakukan hal yang sebaliknya.”
Penutup
Untuk memajukan isu perempuan dan gender di Asia Tenggara, pertama, ASEAN perlu memperluas cara pandangnya agar tidak lagi terpaku pada cara pandang state-centric yang memandang perempuan sebagai instrumen dan aset untuk mencapai kepentingan negara. Perlu pengarusutamaan isu perempuan dan gender dalam komitmen politis ASEAN yang mendorong akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan komunitas ASEAN.
Kedua, masyarakat ASEAN perlu terus mendorong perubahan normatif dalam memandang isu perempuan dan gender. Perlu dicatat juga, sekalipun di level teknis ASEAN terlihat aktif dalam memajukan isu perempuan dan gender lewat pendirian institusi, pelaksanaan berbagai kegiatan, dan penerbitan buku panduan, itu semua tidak cukup.
ASEAN perlu menjabarkan prioritas dan perhatiannya terhadap isu perempuan dan gender secara holistik pada Pernyataan Bersama yang menjadi rujukan normatif dan politis ASEAN, khususnya dalam pembangunan komunitas ASEAN.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan sikap dan kebijakan institusi tempat penulis bekerja