Optimisme ASEAN yang memasuki usia 53 tahun pada 8 Agustus lalu harus dihadapkan pada kenyataan pahit dan diliputi keprihatinan. Negara-negara anggota ASEAN dipaksa atau terpaksa tidak bisa bersatu menghadapi pandemi Covid-19 dan konflik klaim di Laut China Selatan (LCS). Kedua masalah eksternal itu ternyata juga tidak bisa mendorong ke-10 negara anggota ASEAN untuk bersatu padu bertindak bersama dan keluar dari kedua masalah itu.
Sejak awal virus Corona menyebar di kawasan Asia Tenggara pada Februari 2020, semua anggota ASEAN lebih berorientasi nasionalistik dan unilateral demi melindungi kesehatan warganegaranya sendiri. Pintu-pintu internasional ditutup untuk menghambat perpindahan manusia melintas batas negara-negara ASEAN. Masing-masing negara berupaya keras mengamankan persediaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan.
Negara-negara anggota ASEAN juga tidak bisa bersatu menghadapi konflik klaim di perairan LCS. Konflik antara China dan 4 negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei Darusallam, dan Malaysia) telah mempersulit posisi ASEAN. Masing-masing negara anggota ASEAN yang berkonflik itu pun tidak bisa menyatukan posisi mereka berempat untuk menantang posisi China. Pada insiden terakhir, Filipina dan Vietnam bahkan terlibat baku mulut di kawasan LCS.
Perbedaan kebijakan itu bahkan melebar pada perbedaan dukungan mereka terhadap manuver Amerika Serikat (AS) di perairan LCS. Dibandingkan ketiga negara lain yang cenderung di pihak Amerika Serikat (AS), Filipina lebih memihak China.
Menurut saya, kedua persoalan itu menjadi tantangan terbesar ASEAN di usia ke-53 ini. Apakah ASEAN diam saja tanpa tanggapan terhadap kedua masalah itu? Tentu saja tidak. Optimisme terhadap ASEAN tetap perlu ada sambil berupaya keras mendorong lembaga regional ini selalu ‘hadir’ dalam dinamika persoalan di Asia Tenggara. ASEAN telah melakukan banyak hal untuk kedua soal itu. Bahkan dalam 6 bulan ini, ASEAN melakukan berbagai upaya penanganan dan penyelesaian kedua masalah pelik itu secara virtual atau memakai video conference.
Masih ada optimisme
Berbagai protokol atau aturan main regional telah diusulkan pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) khusus tentang penanganan Covid-19 di Februari dan KTT ke-36 ASEAN di Juni lalu. ASEAN tampaknya menyadari keterbatasan gerakan lembaganya dan juga kenyataan bahwa negara-negara anggotanya lebih berorientasi pada kepentingan nasional masing-masing ketimbang kepentingan regional. Dalam situasi krisis saat ini, ASEAN tidak bisa mengambil tindakan-tindakan konkrit, selain memaksimalkan upaya membuat norma-norma regional.
Dalam situasi ketidakbersatuan dan upaya ASEAN tetap menjaga sentralitasnya di kawasan Asia Tenggara, maka kegiatan ASEAN Virtual Cross-Pillar Consultation on the Narrative of ASEAN Identity (31/08/2020) menjadi sangat relevan. Apalagi konsultasi virtual itu mengedepankan narasi identitas ASEAN sebagai upaya meningkatkan kesadaran ASEAN dan memperkuat relevansi organisasi regional ini di tengah pusaran pandemi Covid-19 dan konflik di LCS.
Isu identitas ASEAN ini sangat menarik karena realitas negara-negara ASEAN yang berbeda ini yang selama ini malah berkontribusi penting dalan menyatukan ASEAN. Perbedaan struktur sosial-budaya, ekonomi, dan politik malahan telah berkontribusi besar dalam membangun semangat kebersatuan ASEAN.
Orang seringkali membandingkan ASEAN dengan Uni Eropa (UE). Kenyataan memang menunjukkan bahwa ASEAN memang berbeda dari UE dalam membangun organisasi regionalnya. UE memerlukan syarat kesamaan struktur ekonomi, politik, dan sosial-budaya di antara negara-negara anggotanya. Sedangkan ASEAN malah sebaliknya.
Dalam pandangan saya, karakteristik ini menyebabkan peran ASEAN lebih terbatas dibandingkan UE. Terbatas dalam pengertian ASEAN terpaksa tidak bisa menyatukan sikap negara-negara anggota ASEAN. Prinsip non-intervensi telah membatasi ASEAN untuk mencampuri isu-isu nasional dari negara-negara anggotanya. Yang bisa dilakukan ASEAN adalah tidak mengambil sikap memihak terhadap kekuatan besar (AS dan China), namun lebih fokus kepada upaya-upaya proaktif ikut merespon persoalan-persoalan regional, seperti pandemi Covid-19 dan konflik di LCS.
Sikap bersama dan kesatuan pandangan di antara ke-10 negara-negara anggota ASEAN tentu saja menjadi harapan bersama bagi organisasi regional ini. Kebersatuan ASEAN diyakini menjadi modalitas strategis dalam mendorong sentralitasnya di kawasan ini dalam berinteraksi dengan mitra-mitranya (seperti AS, China, Rusia, India, Jepang) dalam memperoleh dukungna terhadap inisiatif Indo-Pasifik.
Di tengah upaya membangun komunitas ASEAN itu pula, optimisme mengenai ‘we feeling’ juga dihadapkan pada kenyataan tentang nasionalisme vaksin di antara negara-negara anggota ASEAN. Perlombaan ikut menemukan vaksin dan berebut akses terhadap vaksin Covid-19 berlangsung di antara anggota ASEAN. Nasionalisme vaksin bahkan menunjukkan kepentingan geopolitik mereka terhadap kekuatan global, seperti AS, China, dan Rusia.
Optimisme dalam komunitas regional ASEAN yang bersatu tampak sekali menghadapi tantangan besar, yaitu perbedaan sikap yang didorong kepentingan nasional.
Masalah pandemi dan vaksin Covid-19, serta konflik LCS memang memaksa negara-negara anggota ASEAN tidak bisa bersatu, namun justru ini harus menjadi momentum untuk memperkuat ASEAN.
Organisasi regional ini memang kelihatan gagap dalam merespon kedua persoalan itu, namun —menurut saya— optimisme tetap perlu dibangun. Terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa ASEAN telah gagal.