Jumat, Maret 29, 2024

Di Mana Budaya Malu Pemimpin Kita

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

azhar-aziz(Ilustrasi) Ketua BPK Harry Azhar Azis (kanan) menunjukkan surat pemanggilan klarifikasi pajak atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak penghasilan 2015 di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (15/4). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

Di saat bursa pencalonan gubernur DKI Jakarta 2017 semakin memanas, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis bersitegang terkait temuan pada kasus RS Sumber Waras. Harry menuduh Ahok melakukan manipulasi keuangan, sementara Ahok menuduh Harry melakukan manipulasi laporan temuan.

Ahok juga dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi pada kasus tersebut. Di tengah kehebohan itu, ternyata nama Harry Azis tercantum di Panama Papers, yang diduga berisi daftar pengusaha yang membawa dananya kepada tax havens.

Biasa dicibir sebagai “Banana Republic”, tax havens adalah negara-negara yang memberi keringanan atau pembebasan pajak bagi investasi yang asal-usulnya diragukan. Karena namanya tersangkut dan terkait Panama Papers, PM Islandia dan Menteri Energi, Industri, dan Turisme harus mengundurkan diri.

Dalam kasus RS Sumber Waras, baik Ahok dan Harry Azis sama-sama melawan dengan saling melontarkan berbagai tuduhan. Jika dicermati seksama, wacana saling tuduh ini ternyata disikapi sangat berbeda oleh saudara kita di Asia Timur.

Di Jepang dan Korea Selatan, budaya malu sangat kuat. Walau seseorang belum dinyatakan sebagai tersangka oleh penegak hukum, atau baru taraf wacana sekalipun, hal semacam ini sudah menjadi pendorong bagi pejabat yang dituduh untuk mengundurkan diri.

Di Jepang, budaya malu adalah bagian dari kode etik Samurai, yaitu Bushido. Beberapa contoh bisa menjadi bahan renungan. Perdana Menteri Jepang di era pendudukan Sekutu, Hitoshi Ashida, harus mengundurkan diri dari jabatannya karena skandal Showa Electric. PM Jepang Yukio Hatoyama juga harus mengundurkan diri karena gagal memenuhi janjinya menutup Pangkalan Marinir Amerika Serikat di Okinawa.

Lalu contoh yang paling terakhir dari Negeri Sakura adalah mundurnya PM Naoto Kan karena publik mengganggap dia gagal dalam mengatasi bencana nuklir di Fukushima pada 2011. Menteri Keuangan Jepang Tadahiro Matsushita melakukan bunuh diri karena perselingkuhan.

Di Negeri Ginseng juga ada contohnya. Mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun melakukan bunuh diri karena merasa sangat malu dengan investigasi skandal korupsi yang melibatkan keluarga dan kroninya. Sebelum Presiden Roh, beberapa kroni dan bekas anak buahnya sudah melakukan bunuh diri.

Sangat sulit meniru budaya malu di Jepang dan Korea Selatan. Sebagai bangsa yang homogen, sangat mudah untuk menjadikan budaya malu sebagai konsensus nasional mereka. Budaya malu akhirnya menjadi norma-norma yang bahkan lebih kuat posisinya daripada hukum legal mereka sendiri. Hal ini agak mirip dengan fenomena sosial-budaya Bali, di mana posisi pecalang lebih kuat daripada aparat pemerintah daerah.

Indonesia secara umum memiliki kondisi yang sangat berbeda, karena setiap suku atau ras memiliki penafsiran sendiri yang sangat subjektif akan budaya malu itu apa. Bahkan bisa ditafsirkan, pada latar belakang budaya tertentu, budaya malu menunjukkan kekalahan dan mencap diri sendiri sebagai pengecut. Terlebih aksi bunuh diri dianggap bertentangan dengan norma-norma dan agama bangsa kita. Maka, karena akhir yang buruk tersebut, mengundurkan diri harus dihindari.

Terbalik dengan Jepang dan Korea Selatan, kita menafsirkan mengundurkan diri dari jabatan sebagai sifat tidak satria, anti-hero, dan tidak jantan. Sesungguhnya Ismail Saleh, Menteri Kehakiman di era Orde Baru, pernah mencoba mengimpor budaya malu ini dari negara-negara Asia Timur tersebut. Namun tidak ada kelanjutannya.

Dalam kondisi seperti ini, ketika Pemilihan Kepala Daerah Jakarta sudah semakin dekat, pemilih dituntut semakin cerdas dalam mengevaluasi kandidat-kandidat mereka. Absennya budaya malu akan memaksa kita menggunakan dua indikator yang sesungguhnya cukup valid untuk menilai kandidat gubernur, yaitu kinerja dan bebas korupsi.

Item-item dari dua indikator tersebut bisa diturunkan dengan mudah juga. Apakah kandidat tersebut memiliki kinerja yang baik selama menjadi pejabat? Kemudian, apakah kandidiat tersebut pernah tersangkut perkara hukum sebagai tersangka atau terdakwa di pengadilan? Kedua indikator obyektif ini bisa digunakan pemilih untuk mengevaluasi secara rasional kandidat mereka.

Jika menggunakan indikator yang tidak obyektif, yang tidak mungkin disepakati oleh semua pihak seperti suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), maka hal itu tidak bisa menjadi patokan untuk memilih siapa pun. Melihat statemen para politisi di media massa dan berbagai aktivis di media sosial, nampaknya isu SARA masih berembus terlalu kencang. Hal ini sangat menyedihkan, karena masalah ini sebenarnya sudah diselesaikan melalui konsensus yang dilakukan oleh founding fathers kita dalam bentuk Pancasila dan UUD 1945.

Kita tentu tidak mau memutar mundur sejarah kembali. Karena itu, ada baiknya kita fokus saja kepada kebijakan, yang dieksekusi dalam bentuk kinerja dan juga kebersihan dari masing-masing kandidat tersebut. Hanya saja tentu akan sangat baik jika ke depan budaya malu juga dijadikan indikator, walau ini sangat sukar. Pada akhirnya diperlukan suatu konvensi nasional dan integrasi ke dalam kurikulum sekolah, agar budaya malu diresapi oleh bangsa kita sedini mungkin.

Budaya malu bukan diartikan berakhir pada aksi bunuh diri seperti di Jepang dan Korea Selatan, namun cukup membuka diri pada semua proses hukum yang ada tanpa perlu banyak memberi kuliah membela diri kepada publik. Berbeda dengan di Korea Selatan, saat setelah Presiden Roh melakukan bunuh diri, justru publik menjadi balik simpati kepadanya. Jika aksi bunuh diri dilakukan di Indonesia, justru publik akan semakin mengutuk.

Jadi, sikap ksatria memang harus ditunjukkan dengan ketaatan mutlak kepada hukum, bukan lainnya.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.