Intisari pembangunan adalah ekspansi kapabilitas manusia. Mantra itu selalu disampaikan oleh Amartya Sen, ekonom peraih nobel yang juga getol bicara perkara kelaparan, pendidikan, kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Kapabilitas manusisa itu disokong oleh pendidikan dan kesehatan. Kata kunci pendidikan tidak lain adalah pengetahuan, lebih luas dari sekadar persekolahan.
Oleh karena itu, pembangunan desa juga mesti didekati dengan cara ini: menambah stok pengetahuan. Dengan jalan inilah kepastian pemberdayaan terselenggara di desa. Program-program kunci pembangunan di desa, seperti ekonomi, budaya, ekologi, dan lain-lain akan kuat dan langgeng bila punya alas kapabilitas warga tersebut.
Jalur penambahan stok pengetahuan beragam, tidak tunggal. Salah satunya yang terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Pada siang hari yang terik saya berkeliling di perkebunan kelapa sawit bersama Bupati. Bang Kirman, begitu saya biasa memanggil Pak Bupati Soekirman yang berlatar belakang aktivis LSM, memiliki tabiat antik, yakni suka berkeliling menyapa warga dan, ini yang penting, di bagasi mobilnya selalu tersimpan jala/jaring ikan. Jika melewati sungai atau kali yang menggoda, dia lantas mengambil jala tersebut dan “nyemplung” ke kali untuk mengambil ikan dan hasilnya dibagikan ke warga. Kegiatan unik ini sudah dikerjakan lama, jauh sebelum menjadi Bupati. Menurutnya, di samping bisa mendekatkan dengan warga, aktivitas ini juga membuat pikirannya lapang. Aneka kesuntukan tugas langsung terbang.
Namun, bukan soal ini yang paling menarik. Desa-desa di sana sangat melek literasinya karena dikembangkan “jurnalisme desa”. Tiap desa punya koran online dan bisa diakses oleh semua warga, misalnya Desa Tanjung Harap.
Dana Desa sebagian dipakai untuk membeli perlengkapan jurnalistik, seperti komputer, pelatihan penulisan, dan desain koran online. Tiap kantor desa sekarang menjadi pangkalan kegiatan jurnalisme warga tersebut. Setiap orang berhak membikin tulisan atau reportase tentang desanya atau pengetahuan lain yang bermanfaat bagi penduduk desa.
Dalam waktu yang singkat, desa menjadi deras oleh informasi.
Saat saya ikut pertemuan dengan warga di Desa Melati, yang berlokasi tak jauh dari Desa Tanjung Harap, dengan tangkas warga bicara aneka topik. Mereka bukan lagi sekadar sebagai konsumen informasi yang berasal dari kota, tetapi juga produsen pengetahuan.
Warta ini kurang lebih juga terjadi di Desa Mantaren II, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Desa ini belum tergolong desa maju atau mandiri. Ketika menuju desa itu, separuh jalan dalam kondisi rusak dan sebagian rumah penduduk tidak bisa digolongkan layak huni. Demikian pula sarana ekonomi desa masih kurang, seperti pasar desa atau sarana pengembangan ekonomi lokal. Istri Kades memang sudah mulai menginisiasi produksi barang olahan, seperti keripik pisang, tetapi secara umum sebagian besar warga baru membuat barang mentah di sektor pertanian sehingga penghasilan yang diterima oleh para petani belum meyakinkan.
Sungguh pun begitu, warga desa berpikiran maju. Musdes yang diselenggarakan tidak hanya memutuskan perlunya membangun infrastruktur atau sarana ekonomi, tetapi sabagian Dana Desa digunakan untuk menegakkan perpustakaan desa yang kelak akan diisi dengan buku-buku dan sarana pelatihan.
Ketika Pak Jokowi berkunjung ke sana pada 19 Desember 2016, pembangunan perpustakaan itu belum sepenuhnya jadi. Namun, bangunan dua lantai itu sudah terlihat gagah di desa tersebut. Kita layak bahagia karena warga dan perangkat desa sadar betul kemewahan pengetahuan, meski mereka tinggal di pinggiran.
Dalam benak mereka: pikiran mesti melampaui perkembangan zaman.
Itu semua dapat dieksekusi karena tersedia Dana Desa dan, tentu saja, komitmen kuat dari Kades serta warga. Literasi warga desa tumpah ruah dan stok pengetahuan menjadi melimpah. Revolusi Dana Desa: Desa Bicara!