Manipulator agama adalah istilah pengganti “Islam Radikal” yang banyak dikritik karena dianggap tidak tepat. Secara kategoris, Islam radikal mengandung contradiction in term karena secara etimologis, Islam berasal dari akar kata “silm” yang berarti “damai”. Kata radikal tidak bisa menjadi ajektif dari sesuatu yang damai. Karena radikal lebih dekat pada kekerasan.
Manipulator agama, seperti makna etimologisnya, merupakan orang atau subjek yang memanipulasi agama. Agama dijadikan objek dan atau alat untuk meraih keuntungan sesaat, meraih jabatan politik, dan untuk menebarkan kebencian terhadap pemeluk agama lain.
Meski mungkin ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang kurang berkenan, baik dengan istilah Islam radikal maupun manipulator agama, saya yakin cara-cara dakwah yang ditempuh Muhammadiyah merupakan antitesis dari cara-cara radikal dalam beragama.
Muhammadiyah (yang menurut kalender miladiyah berusia 107 tahun pada 18 Nopember 2019), merupakan organisasi kemasyarakatan (persyarikatan) yang mengembangkan dakwah (penyiaran agama) dengan cara tanwir dan tabsyir. Tanwir artinya mencerahkan, dan tabsyir artinya menggembirakan.
Untuk melegitimasi dua cara dakwahnya, Rapat Kerja Nasional Muhammadiyah yang biasanya diadakan setahun sekali disebut Tanwir, dan para pengunjung (peninjau) setiap acara Tanwir (dan Muktamar) disebut dengan “Penggembira”. Kedua istilah ini, hanya ada dalam Muhammadiyah.
Oleh KH Ahmad Dahlan, pada tahun 1912, Persyarikatan Muhammadiyah dilahirkan untuk membangun paradaban kemanusiaan yang pada saat itu mengalami dekadensi akibat penjajahan. Penjajahan terjadi lebih karena kebodohan masyarakat. Dalam masyarakat yang pintar, tidak mungkin terjadi penjajahan.
Persyarikatan ini diberi nama Muhammadiyah karena dinisbahkan pada sosok Nabi Muhammad yang berhasil membangun peradaban yang mencerahkan (al-Madinah al-Munawwarah) dengan cara-cara yang santun dan tebaran rahmat bagi siapa pun (rahmatan lil’alamin).
Dalam membangun peradaban, Muhammadiyah menempuh tiga jalur: pendidikan, kesehatan, dan sosial. Pertama, mendirikan sekolah-sekolah. Kedua, mendirikan balai-balai pengobatan. Ketiga, mendirikan panti-panti (baik untuk anak-anak maupun orang tua/jompo). Dua jalur terakhir digerakkan oleh majelis/organ Muhammadiyah yang disebut PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem).
Melalui sekolah dan PKO, Muhammadiyah mendidik dan menolong siapa pun yang membutuhkan tanpa tanpa melihat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Muhammadiyah menjadi gerakan inklusif, dari dan untuk siapa saja tanpa pandang bulu. Karena inklusivitasnya inilah Muhammadiyah kerap menerima tuduhan kafir dan sesat.
Dalil man tasyabbaha biqaumin fahua minhum (barang siapa yang menyerupai/meniru suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari kaum itu) disematkan pada Muhammadiyah yang, baik dalam gerakan pendidikan maupun PKO, mengadopsi cara-cara Barat yang saat itu identik dengan kaum kolonialis.
Walaupun dicap kafir, Muhammadiyah tidak goyah. Tetap konsisten menjalankan gerakan yang, di kemudian hari, terbukti cara “orang kafir” itulah yang diadopsi menjadi sistem pendidikan nasional—demikian juga dengan sistem pelayanan kesehatan dan sosial.
Dengan melihat sejarah dan konsistensi gerakannya, tampak nyata bahwa metode dakwah Muhammadiyah bertolak belakang dengan cara-cara yang ditempuh oleh para manipulator agama—yang menjadikan agama sebagai alat untuk membangun dan memobilisasi kebencian terhadap yang berbeda aspirasi dan ideologi.
Para manipulator agama, di antaranya adalah mereka yang—meminjam istilah Buya Syafii—menganut paham teologi maut, yakni membela keyakinan agama dengan bom bunuh diri. Buya Syafii mengritik mereka sebagai kelompok yang takut hidup. Padahal Islam adalah keyakinan yang diperuntukkan bagi mereka yang mencintai kehidupan.
Saking cintanya pada kehidupan, Islam mengibaratkan mereka yang membunuh satu orang sama saja dengan membunuh orang sejagat. Islam juga mengajarkan kita untuk mencintai lingkungan hidup (termasuk satwa dan fauna) sama seperti mencintai manusia.
Untuk memanifestakan kecintaannya pada lingkungan hidup, Muhammadiyah telah menerbitkan buku “Fikih Air”, “Fikih Kebencanaan” dan tengah digagas “Fikih Lingkungan Hidup”. Dan Muhammadiyah sangat kritis terhadap undang-undang atau rancangan undang-undang yang mengatur sumber daya alam dan lingkungan. Karena, alih-alih untuk memelihara, perundang-undangan yang ada malah cenderung melegitimasi upaya perusakan lingkungan dengan dalih mendatangkan investasi ekonomi.
Sayangnya, dakwah Muhammadiyah yang mencerahkan dan menggembirakan ini tidak cukup menarik untuk generasi baru, para milenial. Menurut sejumlah survei, mereka lebih tertarik dengan cara dakwah yang ditawarkan oleh para Youtuber atau para influencer di media sosial yang banyak menganjurkan hijrah dan jihad di jalan Allah.
Hijrah dan jihad adalah dua jalan instan menuju surga. Hijrah sebagai jalan pertaubatan dan jihad sebagai jalan final (tujuan hidup) menuju surga. Munculnya fenomena bom bunuh diri, harus diakui, merupakan dampak langsung dari ajaran yang menawarkan surga secara instan.
Para milenial lebih tertarik belajar Islam dari media sosial ketimbang dari buku-buku yang diterbitkan Muhammadiyah. Inilah salah satu persoalan (tantangan) yang harus dijawab Muhammadiyah. Saya kira, tanwir dan tabsyir sudah waktunya harus diterjemahkan dalam kategori-kategori objektif Islam yang lebih menarik sehingga memalingkan kelompok milenial dari ajaran-ajaran yang menawarkan surga (plus bidadari-bidadarinya) secara instan.
Bacaan terkait
Belajar Agama atau Belajar tentang Agama
Buya Syafii Maarif, Gejala Ateisme, dan Hoax
Pelajaran Deradikalisasi dari Poso