Sabtu, Mei 4, 2024

Buya Syafii Maarif

Fachry Ali
Fachry Ali
Kolumnis/Pengamat Sosial Politik

Dari editornya, David Krisna Alka, saya menerima buku Mencari Negarawan, 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya. Tokoh-tokoh besar dan siklus hidup mereka, seperti Buya Syafii, telah menjadi pentas kaum muda intelektual mengartikulasikan diri.

Selain David Krisna Alka, Asmul Khairi pun muncul. Berdua, mereka menjadi editor buku menarik ini. Lalu, di dalamnya bertabur kaum intelektual muda mengungkapkan proses pertemuan, pertemanan, tentu saja, kekaguman kepada Buya Syafii.

Saya sendiri bertemu Buya Syafii pertama kali di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta pertengahan 1980-an. Bersama Nurcholish Madjid, saya diundang menjadi pembicara. Dan acara itu akhirnya jadi reuni Cak Nur dan Buya Syafii plus pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lafran Pane —yang juga untuk pertama kalinya saya lihat.

“Makan di rumah Mas Syafii di Chicago” ujar Cak Nur, “Enak sekali.”

Keduanya memang murid Fazlur Rachman yang mengajar di Chicago University, Amerika Serikat. Dan sejak pulang dari Chicago, seingat saya, Buya Syafii menjadi pengeritik tradisi Islam.

“Umat Islam sudah 1000 tahun berhenti berpikir,’ ujarnya.

Tema itu saya dengar berulang-ulang. Disertasinya, yang diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), adalah dokumentasi pemikiran awalnya. Sangat terasa semangat modernisme Islam di dalamnya. Itu pula yang menjelaskan mengapa Buya Syafii sangat aktif dalam beberapa pertemuan cendekiawan Islam yang antara lain diorganisir Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Buya Syafii dan semua peserta adalah kelompok ‘garis lurus’ modernisme Islam.

Saya kira, aspek itu tak terlihat dalam tulisan-tulisan di buku 85 Tahun Buya Syafii ini. Jika perspektif ini diambil, maka isinya, di samping pujian, juga ada analisa kritis tentang transformasi kecenderungan Buya dewasa ini. Misalnya, apakah ada pengaruh pertemanan Buya Syafii dengan suami Mbak Megawati Taufiq Kiemas awal 2000-an? Bagaimana Buya Syafii kita pahami ketika ia menggelar sikap begitu spesifik dalam kontestasi Pilkada Jakarta beberapa tahun lalu —dari sebelumnya modernis Islam ‘garis lurus’?

Mungkin, membahas Buya Syafii dari perspektif ini jauh lebih memberi pelajaran kepada bangsa, tentunya kepada anak-anak muda. Selamat ulang tahun, Buya Syafii. Semoga sehat selalu.

Fachry Ali
Fachry Ali
Kolumnis/Pengamat Sosial Politik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.