Kamis, April 25, 2024

Apakah Semua Umat Hindu Musyrikun dalam Pandangan Muslim? [Bag. 1]

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

Pada Oktober dan November ini, umat Hindu di seluruh dunia—yang jumlahnya lebih dari 1 miliar saat ini—merayakan Diwali, hari kemenangan cahaya kebenaran atas kegelapan, pengetahuan atas kebodohan, umumnya dihubungkan dengan Dewi Lakshmi, maupun Rama, Wisnu, Khrisna, atau Durga. Jarang sekali ulama dan umat Islam mengucapkan Selamat Hari Diwali kepada umat Hindu karena khawatir terjerumus syirik, satu-satunya dosa yang tidak diampuni Allah.

Namun, apakah semua ulama berpendapat bahwa miliaran umat Hindu adalah musyrik yang dimaksud dan dikecam Al-Qur’an? Bagaimana pendapat sebagian ulama terhadap keyakinan dan agama Hindu zaman dulu dan sekarang?

Faktanya, Hindu bukanlah satu agama monolitik, muncul di India, wilayah peradaban yang tidak termasuk dalam peradaban Semitik Yahudi, Kristen, Sabiun, dan Muslim. Namun demikian, sejumlah ulama Abad Pertengahan seperti Ibnu Syahriyar, Gardizi, dan Ibnu al-Nadim, ataupun sejarawan al-Biruni dan Sufi Jan-i Jana memiliki beberapa tulisan tentang Hindu.

Juga Dara Shukoh yang menerjemahkan kitab Upanisyad dan Bagawad Gita dan menulis Majma al-Bahrain (Pertemuan Dua Samudra) serta al-Syahrastani dengan karyanya, Al-Milal wa al-Nihal.

Label Hindu awalnya diberikan orang-orang luar, Persia, Arab, Mughal Muslim, Pemerintah Kolonial Inggris di India. Hindu meliputi beragam macam kepercayaan dan praktik keagamaan, sosial, kultural, dan politik. Jika dilihat dari asal kata, agama ini berasal dari kata Indus, Hind, atau India. Tidak ada pendiri agama Hindu. Tidak ada pemimpin universal yang diakui semua penganut Hindu.

Sejarawan Abu Rayhan bin al-Biruni (w. 1050) tidak menyinggung soal keselamatan penganut Hindu, khususnya penganut Waisnawa (penyembah Wisnu). Al-Biruni menulis Tahqiq ma li al-Hind min maqula maqbula fi al-aql aw mardhula, bukan untuk polemik, tapi mencoba mengurai keyakinan dan praktik umat Hindu “apa adanya”, untuk pembaca Muslim yang ingin berdiskusi dengan umat Hindu tentang agama, ilmu pengetahuan, sastra, dan aspek-aspek peradaban mereka.

Menurut al-Biruni, umat Hindu khususnya para terdidik, meyakini Tuhan Yang Maha Tinggi (Allah Ta’ala), yang memiliki sifat-sifat dan perbuatan. Mengutip kitab karangan Patanjali, Tuhan diyakini esa, abadi, tanpa awal tanpa akhir, berbuat dengan kehendak bebas, maha kuasa, bijaksana, hidup, menghidupkan, mengatur, menjaga, unik, dan tanpa ada yang menyamainya. Tuhan berbicara, dan berbicara melalui Kitab Weda.

Mengutip kitab lain, Bagawad Gita, al-Biruni menjelaskan bahwa bagi cendekiawan Hindu, Tuhan adalah juga semesta, tanpa awal, tanpa dilahirkan, tanpa akhir, dan tanpa mati. Tuhan bukan milik satu kelas sosial manusia, yang mengeluarkan semua kelas yang lain, seolah-olah teman bagi seseorang dan musuh bagi yang lain. Siapa pun yang mengetahui Tuhan dan berusaha mendekati perbuatan-Nya, maka dia akan selamat dan bebas.

Kaum terdidik Hindu menyebut Tuhan dengan berbagai nama, salah satunya Iswara, artinya yang mandiri, berdiri sendiri, cukup dengan dirinya sendiri, Maha Pengasih, yang memberi tanpa menerima apa pun. Kesatuan Tuhan itu absolut, dan segala sesuatu selain Tuhan yang tampaknya satu pada kenyataannya banyak.

Adapun orang awam Hindu, menurut al-Biruni, yang memahami Tuhan secara konkret (mahsus), karena tidak mampu berpikir abstrak (ma’qul). Misalnya, kaum terdidik memahami Tuhan bagaikan satu titik, dan karena itu tidak ada anggota tubuh seperti manusia. Kaum awam Hindu sulit memahami sesuatu yang abstrak, maka mereka mendekati Tuhan yang melihat segala sesuatu dengan mata, atau dua mata, atau lalu seribu mata, menunjukkan kemaha-melihat-nya Tuhan.

Obyek-obyek dimunculkan bagi kaum awam Hindu dan hanya untuk mereka. Sedangkan kaum terdidik yang berpikir abstrak menyembah hanya satu Tuhan.

Sejarawan lain asal Persia, al-Gardizi (w. 1061), dalam Zayn al-Akhbar, memuat sedikit bahasan tentang praktik penyembahan berhala, tanpa menghakimi. Menurutnya, orang India memiliki 99 umat beragama, terbagi menjadi empat komunitas utama, dua di antaranya penyembah satu Tuhan, monoteis, dan percaya nabi-nabi. Komunitas lain meyakini tuhan Pencipta dan Surga Neraka.

Sebelumnya, sejarawan al-Makdisi (w. 991), dalam Kitab al-Bad’ wa al-Tarikh, menggambarkan Brahmanisme sebagai bagian dari kaum monoteis (al-muwahhida min al-barahima). Ia menulis, “Allah ‘Azza wa Jalla” menurunkan malaikat dalam bentuk manusia. Di antara mereka adalah Al-Damaniyyah dan Al-Dawaniyyah yang meyakini keesaan Tuhan dengan kenabian (al-tauhid bi al-risala).

Ahli kalam Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani (w. 1153 ) dalam Al-Milal wal al-Nihal mengategorikan penganut agama-agama di India sebagai kaum penganut candi (ashab al-hayakil), dan masuk dalam kategori Al-Shabi’ah atau Sabi’un, yang disebut Al-Qur’an 2:62 dan 5:69. Ia juga menyebut Ashab al-Ruhaniyyat, para penyembah makhluk-makhluk spiritual atau ruh-ruh, sebagai perantara kepada Tuhan Pemilik Semesta.

Al-Milal wa Al-Nihal dalam bahasa Indonesia.

Ruhaniyyat yang utama adalah Wisnu dan Siwa. Keduanya adalah “nabi-nabi”, pembawa pesan ilahi, yang berwujud manusia, namun tanpa kitab tertulis, berbeda dengan Ahl al-Kitab. Pada saat yang sama, Dewa Wisnu dan Siwa adalah “malaikat-malaikat” yang bebas dari kelemahan dunia. Wisnu dan Siwa merupakan personalitas yang berkaitan dengan penciptaan dan menjadi perantara dalam membuat hukum, yang mencapai ketinggian dan kesempurnaan.

Menurut al-Syahrastani, para penganut agama di India menyembah obyek tertentu untuk mendekatkan diri kepada ruh-ruh dan menyembah ruh-ruh itu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Maha Pencipta, karena candi dan patung perwujudan fisik ruh-ruh itu. Baginya, patung dan berhala, “mereka sembah untuk mendekati Allah,” mengutip Surat al-Zumar: 3. Al-Syahrastani mengutip perdebatan Ibrahim terhadap penyembah berhala (asnam) dalam ayat-ayat Yunus: 18, al-An’am: 74, 83; ash-Shafat: 95-96; dan Maryam: 42, ketika membahas kepercayaan di India ini.

Surat Yunus: 18

Bagi al-Syahrastani, India adalah bangsa besar dan agama besar, dan kepercayaan mereka sangat beragam: sebagiannya Brahmanisme (al-barahimah), berasal dari kata “brahman”, yang bisa berarti “priest”, pendeta, dan bisa juga Brahman dalam arti Satu Tuhan. Brahmanisme muncul tanpa kenabian; sebagian meyakini keabadian zaman (al-dahriyyah), atau materialisme.

Sebagian lain menganut dualisme (al-tsanawiyyah), yang meyakini dua kekuatan abadi, Baik dan Buruk. Menurut al-Syahrastani, Brahmanisme seperti Sabiun berikut aliran-alirannya; mereka ada yang spiritualis, ada yang materialis kaum candi; ada yang mengikuti patung-patung yang berbeda-beda; dan ada yang para filosof (hukama) menurut pola pikir Yunani.

Al-Syahrastani tidak membahas apakah umat-umat di India ini akan mendapat keselamatan seperti para pengikut Nabi Muhammad dan nabi-nabi lain. Namun, ia cukup simpatik dalam menjelaskan agama-agama di India itu menurut pengetahuan dan pemahamannya.

Ia menghargai para penganut Wisnu dan Siwa yang memiliki prinsip moral dan hukum yang berasal dari perantara spiritual (malak ruhani). Mereka adalah “kaum pagan yang baik” dan “penyembah berhala yang mendapatkan pencerahan”, seperti juga ditulis Profesor Bruce Lawrence dalam sebuah review atas karya al-Syahrastani.

Penulis lain, Amir Khusraw Dihlawi (w. 1325), berpandangan, meskipun Hindu bukanlah bagian Islam, banyak kesamaannya: kesatuan, keberadaan, keabadian, dan kemahaciptaan Tuhan dari ketiadaan. Meskipun kaum Brahman memuja obyek-obyek seperti matahari, batu-batu, dan hewan, obyek-obyek ini tidak sama dengan Tuhan, tapi hanyalah bagian dari ciptaan Tuhan. Mereka menyembah obyek-obyek ini karena inilah tradisi turun temurun dari leluhur mereka.

Ada juga Pangeran Dara Shukoh (w. 1659), putra Raja Shah Jahan di India, yang memiliki perhatian terhadap kitab-kitab Hindu. Menurutnya, semua kitab suci, termasuk Weda, Upanisyad, berasal dari sumber yang satu dan menafsirkan satu sama lain. Banyak bagian bahasa dari Al-Qur’an, Injil, Zabur, dan kitab-kitab suci bersifat garis besar dan alegoris (mujmal wa marmuz).

Menurutnya, “kitab maknun” dalam Surat 56:77-80, merujuk kepada Upanisyad, yang orang Hindu sembunyikan dari umat Islam. Pertemuan Islam dan Hindu ia tulis lebih lanjut dalam bukunya, Majma’ al-Bahrain, Pertemuan Dua Samudra. (Bersambung)  

Bacaan terkait

Serial Non-Muslim Bisa Masuk Surga. Siapa Mereka?

Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an

Silakan Tuding Kristen Syirik!

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.