Jumat, Maret 29, 2024

Amerika dan Budaya Senjata

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Aksi penembakan terhadap banyak orang kembali terjadi di Amerika Serikat (AS). Diberitakan, seorang pria bersenjata yang mengenakan masker gas meledakkan bom asap pada Selasa pagi, 12 April 2022 waktu setempat. Setelah itu, dia melepaskan tembakan di kereta bawah tanah New York selama perjalanan. Insiden penembakan pria bersenjata tersebut melukai sedikitnya 17 orang. Sepuluh orang terkena tembakan dan lainya terkena pecahan kaca.

Tragedi penembakan di New York ini adalah kasus ke sekian kalinya yang menjadi sebuah alarm pengejut betapa bahaya terbesar yang dihadapi oleh rakyat Amerika Serikat justru berasal dari negeri sendiri; pembunuh yang begitu gampangnya memperoleh senjata.

Peristiwa ini menyadarkan kita bagaimana seseorang tidak kesulitan mendapatkan atau memiliki senjata serta mengancam orang-orang yang tidak berdaya. Simpati saja tidak cukup. Hal mendesak adalah pengawasan yang lebih ketat terhadap kepemilikan senjata pembawa maut.

Tragedi penembakan di New York ini memperlihatkan bagaimana akses terhadap senjata api menjadi suatu faktor yang krusial. Sejumlah negara yang juga pernah mengalami pelbagai peristiwa pembunuhan tragis, seperti Inggris dan Australia, telah mengambil langkah-langkah dramatis dengan menertibkan penggunaan senjata api dan hingga pada level mengurangi akses terhadap kepemilikan senjata api tersebut. Tidak demikian halnya dengan Amerika Serikat, yang sudah berulang kali menyaksikan korban penembakan akibat penggunaan senjata api.

Bagi kebanyakan warga Amerika Serikat, senjata adalah bagian fantasi tentang anggota masyarakat yang kekar dan sehat jasmani yang siaga bertempur demi kepentingan pertahanan nasional. Sebagian menganggap ini sebagai budaya revolusioner, yang memandang warga yang dipersenjatai sebagai sebuah pengawasan yang sangat potensial terhadap kemungkinan munculnya tirani pemerintahan.

Ada juga yang menganggap hal itu sebagai wujud individualis dan vigilante yang memuja seorang pria yang sendirian melakukan aksi balas dendam terhadap orang-orang asing yang melawan hukum. Gagasan ini sejatinya memiliki landasan yang kuat dalam tindakan persekusi agama pada abad ke-17 dan ke-18 dan di tengah kerasnya kehidupan para frontier pada abad ke-19. Gagasan ini akhirnya bermetamorfosis menjadi sebuah konsep pemerintahan dan warna sikap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Budaya dan pemujaan terhadap senjata makin diperkuat oleh Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat. Banyak warga Amerika Serikat sendiri maupun pihak luar percaya bahwa penafsiran umum terhadap hak, seperti yang tertera dalam Konstitusi Amerika Serikat, pada dasarnya sangat absurd. Tapi kepercayaan terhadap hak sudah menjadi akar tunggang di hati dan pikiran rakyat Amerika. Tak ada logika apapun yang bisa mencabutnya.

Kegagalan para pendukung reformasi dan pelucutan senjata api secara efektif dan radikal, sebagaimana yang sering dinyatakan pihak luar, tidak saja disebabkan oleh konspirasi rapi dari Asosiasi Senapan Amerika (National Rifle Association/NRA). Tak kalah pentingnya, ini mencerminkan besarnya konstituen senjata api yang meyakini bahwa senjata adalah simbol dari kebebasan pribadi.

NRA telah berhasil dalam upayanya menentang segenap reformasi hukum terhadap pemilikan dan penggunaan senjata api, hingga pada titik yang rasional sekalipun, seperti penyitaan demi keamanan atau pembatasan terhadap senjata serangan berat. Ada beberapa kawasan di Amerika Serikat, khususnya daerah bagian selatan yang tidak mengenal pembatasan penggunaan dan pemilikan senjata api. Virgnia, yang juga pernah diguncang tragedi penembakan, adalah salah satu bagian dari kawasan tersebut.

Di sini, kehidupan menjadi sangat kejam karena kerapnya penggunaan senjata api oleh para bandit, bahkan dari kelas paling bawah sekalipun. Pembunuh yang panik mungkin lebih mudah memperoleh senjata api, terlepas dari adanya pengawasan senjata dan beratnya hukuman. Mudahnya akses terhadap senjata api dengan cepat merubah pemandangan kekerasan menjadi peristiwa pertumpahan darah dan pembunuhan.

Dalam konteks ini, Australia bisa dijadikan sebagai cermin untuk berkaca. Setelah peristiwa Port Arthur yang terkenal, Perdana Menteri Australia waktu itu, John Howard, berupaya menghadang tekanan kuat para pelobi senjata, yang berasal dari perusahaan dan pemilik senjata api, dengan memaksa diberlakukannya pelucutan senjata api nasional secara besar-besaran.

Howard bukan tidak menyadari besarnya penentangan dan perlawanan dari kalangan perusahaan dan asosiasi senjata api di Australia. Namun demikian, Howard tetap bersikukuh dengan keputusannya. Ia yakin bahwa keputusannya mewakili kepentingan rakyat Australia yang lebih besar, dan Australia tidak perlu ikut-ikutan Amerika Serikat pula terkait dengan senjata api. Howard memang benar. Tidak seorangpun yang bisa memastikan kejadian serupa tak berulang lagi, walaupun di negara dengan pemimpin yang kuat sekalipun. Boleh jadi peristiwa serupa bakal jauh lebih pelik dan kompleks.

Kita akhirnya memang tidak perlu berdebat bahwa suatu saat rakyat Amerika akan membayar dengan harga yang kian mahal pengultusan senjata tersebut dengan meluasnya budaya kekerasan dan meningkatnya korban jiwa.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.