Bisakah kita hidup tanpa agama? Pertanyaan ini terasa menjadi amat penting. Apalagi di tengah nilai dan praktik hidup keagamaan di Indonesia yang kian merosot. Setuju atau tidak, akhir-akhir ini kedangkalan menjadi corak dominan dalam interior religiositas kita.
Kalau tidak percaya, tengoklah Bapak Indrawan Sastronagoro. Beliau menggugat UU Energi ke Mahkamah Konstitusi. Indrawan menilai beberapa pasal dalam UU itu menyekutukan Tuhan. Fenomena ini membuat kita gagap di hadapan intelektualitas. Bagaimana mungkin orang yang berprofesi sebagai dosen bisa melakukan hal yang sedemikian absurd?
Lihat juga latahnya kita untuk menuding orang sebagai “penista agama”. Perbedaan tafsir sepertinya tak mendapat ruang. Lain perspektif dan otokritik seakan disamakan dengan penghinaan iman. Sensitif dan baperan kelihatannya jadi ciri lain yang mencolok dari fenomena beragama kita. Tak ayal, para pemeluknya seakan mencitrakan agama pada absurditas tak terperikan.
Dalam situasi demikian, mustahil rasanya mengharapkan agama sebagai solusi atas tumpukan persoalan bangsa ini. Adalah halusinasi bila bisa melihat agama berperan sebagai pembaharu tatanan ketidakadilan. Kini, mengharapkan agama jadi agen transformasi adalah fatamorgana.
Sebaliknya, para pemeluk agama malah mempertontonkan mentalitas kekanak-kanakan. Kita bak cerminan orang-orang yang belum selesai dengan diri sendiri. Dengan lapang dada, kita harus akui bahwa agama impoten dalam banyak lini bidang kehidupan.
Kita tidak Bisa Hidup tanpa Agama
Pertanyaan di atas juga pernah diajukan oleh Andre Comte-Sponville. Dalam bukunya Spiritualitas Tanpa Tuhan (2007), filsuf ateis ini memberi jawaban menarik. “Dalam pertumbuhan sejarah kita,” katanya, ”tak ada satu pun masyarakat yang sepenuhnya tanpa agama.” Dia bahkan memprediksi pada tahun 3000 agama akan tetap eksis. Artinya, agama seakan-akan menjadi sebuah anasir “terberi” dalam sejarah panjang umat manusia. Sesuatu yang (mungkin) tak akan bisa musnah.
Optimisme Comte dibangun di atas dasar pemahaman agama yang, menurut saya, sangat simplistik. Dia mereduksi agama hanya sebagai kekuatan kohesi sosial yang mengikat (religare) masyarakat. Dalam pembacaan saya, agama dilihatnya hanya sebagai sebuah komunitas yang dipagari seperangkat aturan. Sehingga, bukan Tuhan dan keyakinan iman yang membuat agama tetap ada.
Comte menambahkan, tabiat manusia sebagai makhluk sosiallah faktor kunci keberadaan agama. Natur itu yang menjadikan manusia ingin selalu berkumpul (komune). Dan, bagi Comte, itulah motor utama eksistensi agama. Pendeknya, tanpa Tuhan pun agama pasti tetap ada.
Sama seperti saya, Anda pun mungkin tidak setuju dengan argumentasi Comte. Namun harus diakui, dari bangunan argumennya terselip kebenaran. Bahwa memang ada satu nilai yang mengikat keberadaan agama. Namun, ikatan itu adalah iman kepada Tuhan, Pencipta alam semesta. Iman itulah yang menjadi pusat orientasi dan daya gerak agama. Artinya, tanpa Tuhan agama tak lebih hanya sekumpulan kelompok arisan. Atau paling jauh, komunitas yang dipertemukan oleh komitmen pada hobi belaka.
Di sinilah persis letak permasalahannya. Fenomena yang dipentaskan agama sekarang ini menunjukkan kenyataan ironis. Iman kepada Tuhan, kelihatannya, sama sekali tidak berdaya guna. Iman, sebagai elemen penting dari agama, terlihat tak mampu memberi faktor pembeda positif. Motto Anselmus (1033-1109) dari Canterbury, “Iman Mencari Pengertian” terlihat tidak “makan” di sini.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, iman seolah menggiring para pemeluknya kepada rentetan kedunguan. Beriman akhirnya menjadi sesuatu yang menggelikan. Bukan pencerahan yang didapat, malah argumentasi bumi datar yang diperkuat. Parahnya, alih-alih mengikat, agama malah tampak mencerai-berai para penganutnya.
Gambar wajah agama yang sedemikian rupa tentu membuat kita bertanya-tanya. “Masihkah dia bisa dijadikan sebagai sandaran pengharapan atas beratnya tekanan kehidupan?”
Jurgen Moltmann: Iman sebagai Pengharapan yang Aktif
“Agama seharusnya ditempatkan pada pusat hubungan institusional antara agama, masyarakat, dan ekonomi” (Agama dan Teori Sosial, 2003). Demikian pendapat sosiolog agama Bryan S. Turner. Pendapat itu didasarkan penelitiannya pada beberapa doktrin-doktrin agama.
Misalnya tentang teodesi. Dia mengatakan ajaran ini mengakar dalam banyak persoalan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan jasmaniah. Karena itu, menurutnya, agama harus dimasukkan dalam dimensi material, bukan metafisik. Apalagi hanya sebatas persoalan eksistensial subjektif belaka.
Jika agama dikategorikan dalam spektrum ini, maka dia butuh orientasi objektif yang berdimensi sosial. Selama ini, kiblat agama selalu disempitkan, secara serampangan, tertuju pada pengharapan kehidupan pasca kematian. Surga dan neraka selalu jadi imaji pertama yang melekat pada diri agama. Alhasil, dunia material terlalaikan. Bumi diklaim sebagai ke-sementara-an. Syahdan, kenyataan dunia terabaikan begitu saja.
Pengharapan hanya mewujud dalam penantian pasif terhadap masa depan. Persis dalam situasi inilah pemikiran teolog Protestan asal Jerman, Jurgen Moltmann, menjadi relevan. Dalam karyanya, The Theology of Hope (1965), dia menantang pasivitas umat beragama.
Buku ini jadi terkenal sejak dipakai sebagai pilar pergerakan teologi pembebasan di Amerika Latin. Ditantangnya pemikiran teologi di zamannya yang kental dengan nuansa eksistensialisme-subjektif. “Bukan individu,” kata Moltmann, “tapi kenyataan sosiallah sebagai episentrum dari iman.” Baginya, “Berdamai dengan Allah berarti berkonflik dengan dunia.”
Tesis pria kelahiran Hamburg ini berangkat dari problem tentang masa depan. Dominasi teologi modern saat itu kurang tertarik mengenai persoalan sejarah. Apalagi dengan imajinasi tentang masa depan. Bagi mereka, yang terpenting adalah soal keputusan individu “sekarang dan di sini”.
Bagi Moltmann, pandangan ini problematis. (1) Allah, dari perspektif Moltmann, adalah Allah yang berjanji. Pengandaian logisnya, janji selalu mengarahkan diri pada masa depan. Sehingga, persoalan eksistensi bukan pada perkara “here and now”, tapi tentang future.
(2) Jika iman hanya berdimensi “present”, maka asumsinya realitas “sekarang” sebagai sesuatu yang terberi. “Sekarang” dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Sehingga, manusia hanya bisa reaktif terhadapnya. Bagi Moltmann, posisi ini bermasalah karena berpotensi mengikis daya kritis di hadapan kenyataan riil.
(3) Teologi eksistensialis, di mana subjek sebagai pusat akhirnya kehilangan daya untuk mengkonversi kenyataan sosial. Dengan begitu, agama jadinya hanya seperangkat sistem kepercayaan pribadi, tanpa semangat pembaharuan sosial.
Bagaimana mengatasi persoalan ini? Teologi pada umumnya selalu mengacu pada sejarah untuk menjelaskan realitas. Namun, bagi pria kelahiran 1926 ini, justru sebaliknya. Masa depanlah orientasi untuk memaknai tindakan. Tapi, “Bagaimana kita mengakses masa depan itu?” Moltmann menjawab, “Lewat janji-Nya!”
Melalui janji, Tuhan memberi cetak biru tentang bagaimana kehidupan seharusnya dijalani. Janji menjadi sebuah lukisan ideal tentang kehidupan itu sendiri. Dia menjadi kompas ke mana dunia berjalan. Lewat janji-Nya, kita mendapatkan skenario tentang bagaimana seharusnya hidup dilakoni. Kemudian dengan iman, janji itu diterima sebagai sebuah fakta objektif (Ibrani 11:1).
Apa dampak dari pandangan teologis Moltmann ini? Pertama, nuansa teologi jadi bercorak eskatologis. Dia akan selalu mengarahkan diri pada nilai-nilai akhir zaman. Era itu didaku sebagai kondisi paripurna.
Kedua, karena berorientasi ke masa depan, kenyataan hari ini hanyalah suatu kemungkinan terbuka (open-ended). Kondisi yang belum selesai. Apa yang diterima sekarang sebagai ideal bukanlah kondisi final. Sehingga, mentransformasi kenyataan jadi sebuah keniscayaan.
Ketiga, iman menjadi sebuah pengharapan aktif. Keyakinan bahwa realitas belum selesai membuka peluang bahwa kenyataan bisa diganti. Mau tidak mau, agama harus bersentuhan dengan realitas sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan lainnya. Singkatnya, karena masa depan “menghampiri” masa sekarang, maka hidup jadi lebih berpengharapan.
Demikianlah, pandangan materialisme agama versi Turner dan iman pengharapan aktif dari Moltmann bertemu. Agama akhirnya tidak hanya berurusan perihal anasir metafisik surgawi belaka. Tapi, dia harus memahami kenyataan objektif, material, dan sosial dari lingkungannya. Bahkan, tidak sampai di situ, agama harus berperan untuk mengubahnya.
Relevansi Teologi Pengharapan di Indonesia
Kehadiran teologi atau agama harus menjawab pergumulan konteks tinggalnya. Di Indonesia, relevansi teologi diukur dari kemampuannya menjawab permasalahan pluralisme agama sekaligus kemiskinan. Inilah dua perkara khas dalam konteks berteologi kita. Catatannya, ini harus dikerjakan dalam satu tarikan nafas.
Teologi pengharapan dari Moltmann, walau berakar dari tradisi Protestan, bisa bersifat inklusif. Ini bisa dijadikan sebagai pijakan bersama karena dia berangkat bukan dari doktrin khas agama. Asumsi teologisnya tidak berangkat dari keyakinan iman eksklusif. Misalnya, dia tidak memulai dari Kristologi, sesuatu yang kerap dipertengkarkan oleh banyak agama. Tekanan Moltmann yang banyak pada sisi praksis daripada dogmatis, menjadikan ajarannya bisa lintas agama.
Hampir semua agama, khususnya agama samawi, dipastikan memiliki ajaran eskatologis. Untungnya, setiap agama memiliki kemiripan dalam menggambarkan situasi akhir zaman. Semua orang jahat dan berdosa, nantinya, akan mendapat siksa neraka. Sementara, mereka yang penuh amal saleh serta cinta kasih akan mendapat ganjaran surga.
Secara diam-diam, dalam doktrin hari kiamat tersimpan semangat menegakkan keadilan. Apa yang tidak adil “sekarang”, ternyata, akan dibalaskan kelak pada hari kiamat. Wacana agama sebagai perangkat nilai emansipatoris-egalitarian bisa digunakan sebagai titik temu agama-agama.
Kenyataan hari ini, bagi Moltmann, bukanlah keadaan yang selesai. Akibatnya, kemiskinan sistemik yang terjadi di Indonesia sekarang, bukan akhir dari segalanya. Pun bukan sebagai takdir. Pendeknya, realitas ini harus dialihbentukkan. Dia harus ditukar kepada sesuatu yang lain; yang bukan kemiskinan; dan yang bukan penderitaan. Apa itu? Keadilan sosial sebagai dimensi eskatologis agama-agama.
Di Indonesia, kemiskinan itu berciri sistemik. Maka, dibutuhkan pembaharuan sistem agar masalah ini bisa terentaskan. Akhirnya, agama-agama harus bergandengan tangan agar tatanan ketidakadilan ini segera berubah. Dalam usaha inilah, agama tidak hanya diikat (religare). Malahan, agama dipersatukan karena punya agenda bersama.
Oleh karena itu, agama wajib bermetamorfosa. Wajahnya harus diganti dari kesalehan pasif ritualistik ke iman pengharapan yang aktif. Konkretnya, agama-agama harus berpartisipasi dalam usaha praksis transformasi sosial. Dengan demikian, persoalan tentang toleransi dan kemiskinan sistemik bisa diselesaikan dengan satu tarikan.
Teologi pengharapan tampaknya mampu menerobos batas-batas eksklusif-dogmatis agama. Aplikasi teologi ini, setidaknya, bisa menunjukkan kerinduan yang sama dari agama melalui pengharapan eskatologinya. Cita-cita itu adalah tegaknya nilai keadilan.
Jika sudah demikian, optimisme bahwa agama akan tetap ada kian terbuka besar. Karena agama tidak lagi hanya bisa berisik atau sekadar diperalat oleh kepentingan segelintir elite. Sebaliknya, agama berdiri di garda terdepan sebagai agen transformasi. Agama lebih berguna karena berdampak langsung pada kehidupan konkret.
Agama-agama akan bersatu karena mengorientasikan diri pada janji eskatologis. Nilai egalitarian dan emansipatoris menjadi arah dan pijakan bersama. Sehingga, persatuan bukan hanya pada narasi teologis saja, tapi juga pada aspek praksis: melawan kemiskinan!
Baca juga:
Watak Ganda Kita tentang Keadilan