Islam, termasuk agama lainnya, selalu punya wajah janus. Ia bisa menjadi air juga api. Agama bisa menjadi mata air cinta, kearifan, kebajikan, kedamaian, penyejuk gersang kalbu, penentram batin, penyegar dahaga spiritual, dan perekat harmoni sosial.
Sebaliknya, agama juga bisa menjadi sumber konflik, terorisme, pertumpahan darah, dan perang. Umat beragama bisa mudah terbakar amarah serta angkara murka atas nama agama. Atas nama agama, orang rela merenggut hak orang lain, berlaku tidak adil, melakukan aksi-aksi kekerasan, bunuh diri, bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
Agama sejatinya air yang mengendalikan “api” dalam diri manusia. Belakangan unsur air dalam agama nyaris sirna. Unsur api telah banyak merajai cara kita beragama. Syahwat politik dan hasrat kuasa menjadi bahan bakar utamanya.
Simbolisasi api termanifestasi dalam setan yang terbuat dari api yang senantiasa menggoda emosi, amarah, angkara murka, dan memprovokasi libido, hawa nafsu, dan syahwat manusia. Sebaliknya, air selain bersifat lembut serta menyejukkan, ia juga menyucikan.
Dalam Islam, kita dianjurkan untuk membasuh air wudhu saat dikuasai amarah atau ketika syahwat sedang membuncah. Kita juga dianjurkan untuk ‘menjaga’ air wudhu setiap hari agar unsur air dalam agama ini tak hanya membersihkan kulit kita, tapi juga meresap ke relung hati dan menyapu pikiran negatif dan menjadi laku yang penuh dengan cinta, kearifan, dan kedamaian (akhlakul karimah).
Simbolisasi api ini juga dapat kita lihat dari turunnya Islam di negeri sahara. Panas, gersang, dan tandus dengan kultur yang keras. Islam datang seperti air yang mengaliri lorong kering dan menyejukkan bagi masyarakat jahiliyah dan barbar saat itu.
Islam mampu mencairkan konflik antarsuku yang lama membeku. Islam juga dapat menyatukan berbagai kelompok agama yang berbeda di bawah ‘peradaban’ Madinah. Dan yang terpenting Islam datang untuk melakukan desakralisasi berhala dalam berbagai bentuknya dan untuk memanusiakan manusia.
Metafor air dan api ini juga dapat kita lihat dari imaji surga dan neraka. Dalam berbagai ayat Al-Quran, surga acapkali dilekatkan dengan gambaran tentang “mata air yang mengalir/memancar” atau “yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” Sebaliknya, neraka penuh kobaran api yang sangat panas. Konon, panasnya api di dunia hanya 1/70 dari panasnya api neraka.
Tak sedikit dari kita, umat beragama, yang ingin menggapai surga di akhirat dengan membangun dan menciptakan neraka di bumi. Kita sebenarnya bisa membangun “surga” di bumi jika beragama dengan unsur air ini.
Belajar pada Air
Air menyimpan kekuatan tanpa batas. Dengan kelembutannya, tetesan air mampu melunakkan batu yang cadas sekalipun. Kelembutan air bahkan bisa meruntuhkan beton-beton kokoh dan gedung-gedung pencakar langit seperti saat banjir bandang atau tsunami.
Karena itu, jangan takut untuk tetap istiqamah pada kekuatan dakwah dengan kelembutan. Kelembutan justru bisa menjadi kekuatan yang maha dahsyat. Sebagai panutan dan suri teladan (uswatun hasanah) umat Islam, Rasulullah SAW banyak mencontohkan akhlak dalam dakwah dengan kelembutan yang justru sangat sukses hingga membuat Islam dengan cepat tersebar di berbagai belahan dunia.
Jika Rasulullah SAW dulu banyak mengajak orang kafir memeluk Islam. Kita sekarang ini malah hobi dan sibuk mengkafirkan sesama umat Islam lantaran berbagai perbedaan mazhab, tafsir, dan pemahaman agama.
Dakwah hakikatnya adalah menyeru dan mengajak pada kebaikan, bukan memaksa, apalagi menginjak-injak. Dakwah yang baik itu seperti air. Dinamis. Seperti air yang selalu menyesuaikan bentuk dan senantiasa mengisi ruang-ruang kosong, tapi tetap tak pernah kehilangan jatidirinya.
Saat dipanaskan atau direbus, air berubah bentuk menjadi uap. Ketika didinginkan ia menjadi padat atau es. Kendati berubah bentuk, jatidirinya sebagai air tidak pernah berubah. Diubah dalam bentuk apapun air tetaplah air.
Metode inilah yang diterapkan Wali Songo saat berdakwah di Nusantara ini hingga kini Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini. Di antaranya melalui media wayang, tembang, gamelan, perayaan adat seperti Sekaten (syahadatain) atau Grebeg Maulud. Kedatangan Islam tak mesti memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya, termasuk budaya, tapi ikut melestarikan apa yang baik dan benar darinya.
Air juga selalu mengalir dari hulu ke hilir. Dari tempat tinggi ke dataran rendah. Dalam Islam, ibadah tak hanya cukup bersifat vertikal (hablun min Allah). Ia mesti digenapi dengan hubungan horizontal dan ibadah sosial (hablun min annas). Salat selalu diawali dengan mengagungkan Allah (takbir) dan diakhiri dengan menebar salam ke kanan dan ke kiri. Begitu juga dengan puasa, zakat, ritual dalam haji dan kurban. Semuanya memiliki dimensi sosial yang begitu kental.
Seperti padi, semakin berisi kian merunduk. Kita bukan hanya dianjurkan untuk rendah hati tapi juga memperhatikan mereka yang berada di kerendahan. Yaitu mereka yang tertindas, teraniaya, kaum papa. Bukan di menara gading, tapi dalam kerendahan itu justru kita dapat menginsyafi keagungan Allah dan kedhaifan kita.
Bagaimana pun caranya, aliran air akan menuju hilir atau muara. Tak peduli seberapa jauh jaraknya, berapa banyak hambatan yang dilaluinya, lewat jalur mana ia sampai, dan berapa lama waktu yang ia tempuh. Begitu juga jalan kita menuju Tuhan. Banyak pintunya. Waktu yang kita tempuh juga sangat bervariasi. Ada yang melalui jalan melingkar ada juga yang secepat kilat.
Air juga memiliki daya resap yang baik, bahkan melalui celah-celah kecil sekalipun. Di sinilah kekuatan unsur air dalam agama. Ia bisa meresap melalui relung-relung kalbu, bukan dengan ancaman, teror, paksaan, dan perang.