Jumat, Maret 29, 2024

Heboh Teluk Benoa (2 – Habis)

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Pulau Pasir di Tanjung Luar Lombok Timur, nelayan di kawasan ini menolak rencana pengambilan pasir untuk reklamasi teluk Benoa.
Pulau Pasir di Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB. Nelayan di kawasan ini menolak rencana pengambilan pasir untuk reklamasi Teluk Benoa. EKSPEDISI INDONESIA BIRU

Lombok Timur dan Banyuwangi menolak pasirnya diangkut untuk mereklamasi Bali.

Tanjung Benoa, 19 Maret 2015. Ribuan orang berpakaian putih berarak menghadiri upacara Melasti atau penyucian. Ini bagian dari ritual umat Hindu sebelum Hari Raya Nyepi tahun Saka 1937. Lokasi upacara persis di ujung semenanjung Benoa. Hanya secuil pantai pasir yang tersisa. Selebihnya adalah tanggul batu bercampur semen untuk menahan abrasi.

Di atas tanggul buatan itu, ratusan orang melepas (melarung) sesaji berupa miniatur kapal layar berbendera Merah-Putih. Tempat yang dipilih adalah celah sempit antara semenanjung dan Pulau Serangan yang juga dibatasi tanggul. Celah inilah yang digunakan sebagai jalur pelayaran dari dan ke teluk atau pelabuhan Benoa.

“Tahun 1994 Tanjung Benoa ini dikelilingi pasir putih. Tapi sekarang sudah dikelilingi tanggul. Itu sejak reklamasi Pulau Serangan,” kata I Nyoman Sugita, warga Tanjung Benoa yang kini mengelola usaha pariwisata.

Pulau Serangan yang dimaksud adalah daratan hasil urukan seluas 480 hektare yang kini praktis terbengkalai. Padahal, sejak mulai diuruk tahun 1995, Serangan hendak dijadikan tujuan wisata baru, lengkap dengan fasilitas dan aneka investasi properti. Semula Serangan adalah pulau seluas 112 hektare yang terpisah dari daratan Bali oleh selat selebar dua kilometer. Inilah salah satu tempat habitat penyu berkembang biak.

Tak heran bila investor proyek ini menamakan dirinya PT Bali Turtle Island Development, yang merupakan kongsi antara kelompok usaha Bimantara milik Bambang Trihatmodjo, Sheraton Lagoon, Hilton, dan Gajah Tunggal. Ada juga saham PT Pembangunan Kartika Udayana milik Pusat Koperasi Angkatan Darat, Kodam IX/Udayana.

Di masa Orde Baru, proyek reklamasi Pulau Serangan yang berpenduduk 2.700 jiwa itu berlangsung nyaris tanpa hambatan, meski ada perlawanan atas ancaman abrasi kawasan sekitar dan kesucian pura Hindu. Sejumlah penangkapan dan pembubaran forum-forum warga terjadi di masa itu.

Ketika krisis ekonomi 1997-1998 dan rezim Soeharto tumbang, proyek ini mangkrak. Bahkan pada Juli 2010 PT Bali Turtle dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena tak bisa membayar utang ke kreditornya.

Kini hasil urukan seluas 480 hektare itu bisa dilihat dari Tanjung Benoa berupa benteng tanggul batu (krib) memanjang. Di salah satu sisinya digunakan para peselancar. Selebihnya adalah hamparan daratan kosong.

“Kalau Bali kurang ikon pariwisata, bangun tuh Pulau Serangan,” kata Wayan ‘Gendo’ Suardana yang mempertanyakan rencana reklamasi baru di Teluk Benoa.

Dari Lombok Timur ke Banyuwangi

26 Maret 2015. Badar dan Muhammad Tohri duduk berteduh di kampungnya, di Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dua hari sebelumnya, ia mengaku diundang ke pos Angkatan Laut untuk menghadiri acara sosialisasi rencana penyedotan pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa. Ada empat kecamatan di pesisir Lombok Timur yang warganya mulai diundang sosialisasi.

“Saya tidak hadir. Kalau saya tidak cocok, saya tidak hadir. Bagaimana mau membangun kampung orang, sementara kampung saya mau dirusak?” kata Badar.

Sebelumnya, 31 Januari 2015, Bupati Lombok Timur Ali BD mengeluarkan izin prinsip dan menyetujui penambangan pasir yang dibutuhkan PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) sebesar 25,54 juta meter kubik.

Namun Gubernur NTB Zainul Majdi justru menulis surat kepada Komisi Penilai Amdal Pusat, Kementerian Lingkungan Hidup, agar tidak menyetujui rencana itu.

Lokasi pasir yang akan diambil berada di tengah laut, wilayah Kecamatan Labuhan Haji. Meski lokasinya terpaut puluhan kilometer dari perkampungan nelayan di Tanjung Luar, Badar dan Tohri menyatakan daerah tersebut salah satu fishing ground mereka.

“Ada musim-musim kami melaut ke sana. Kalau pasirnya diambil, karangnya pasti rebah dan terbawa arus. Selat Alas ini kan arusnya kuat. Lagi pula ikan-ikan bertelur di tempat dangkal, bukan di tempat dalam,” kata Badar yang menciptakan kalender untuk nelayan di sana.

“Kalau izin sudah keluar dan penyedotan dimulai, siapa yang bisa menjamin lokasinya tidak ke mana-mana?” timpal Tohri.

Selain melaut, sebagai nelayan, anak-bapak, Tohri dan Badar juga mulai merintis usaha jasa wisata. Mereka mengantar turis yang ingin melihat pantai berpasir merah muda yang mereka sebut “pantai pink”. Ada pula lokasi pulau pasir yang muncul saat perairan Selat Alas surut.

“Kami setengah mati berusaha mencegah agar warga tidak mengambil pasir laut untuk bangunan. Kalau tidak dicegah, lama-lama bisa habis. Lagi pula pasir laut tidak baik untuk bahan material bangunan,” kata Badar.

Menghadapi penolakan di Lombok Timur, PT TWBI beralih mencari pasir ke Banyuwangi, Jawa Timur. Lokasi yang diincar di Kecamatan Kabat, Rogojampi, dan Srono.

Namun Gubernur Jawa Timur Sukarwo buru-buru memberi sinyal lampu merah.

“Prinsip dasar, saya tidak sependapat,” katanya kepada media, 8 April 2015. Alasannya, kawasan tersebut termasuk wilayah konservasi dan berpotensi mengancam daerah tangkapan ikan para nelayan di Muncar.

Janji Perusahaan

Forum Konsultasi Publik pada siang 11 Maret 2015 itu penuh dinamika. Sejumlah warga yang mengatasnamakan asosiasi sopir menyatakan mendukung rencana reklamasi karena diklaim akan menyediakan setidaknya 200 ribu lapangan kerja.

Namun wakil desa adat Pekraman di Tanjung Benoa, misalnya, justru membacakan surat pernyataan menolak mewakili ribuan warga yang telah berembuk.

Direktur PT TWBI Hendi Lukman, yang kami temui seusai acara, mengatakan meminta jaminan proyek reklamasi tidak mengancam lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat Bali. “Daripada berpolemik, lebih baik kasih kami izin. Kami akan buktikan. Kalau kami salah, adili kami,” katanya.

Lukman tak membantah bila “revitalisasi Teluk Benoa” sejatinya ekspansi bisnis properti.

“Tak usah tabu menyebut masalah properti. Memang jujur itu (proyek) properti. Tapi di mana ada pengusaha properti lain, yang sambil berbisnis juga berkontribusi nyata memperbaiki lingkungan?” katanya.

Direktur Utama PT TWBI Heru Wasesa, yang sebelumnya pegiat Forum Peduli Mangrove, mengatakan semua proses masih merupakan tahap awal yang membutuhkan kajian.

“Saya juga tidak nyaman kalau mau membangun sesuatu, tapi masih ada penolakan-penolakan. Kalau penolakannya punya basis, itu menjadi masukan. Yang kami hindari adalah mereka yang keberatan tapi tidak bisa menunjukkan keberatan yang berdasar fakta,” katanya.

20 Maret 2015. Puluhan ogoh-ogoh berjajar, siap diarak warga Tanjung Benoa. Pawai menjelang Nyepi itu dilakukan setelah matahari terbenam, disaksikan ratusan kamera turis. Ogoh-ogoh adalah perwujudan Bhuta Kala, simbol kekuatan jahat di masyarakat Hindu, yang harus dikembalikan ke tempat asalnya.

“Awalnya ogoh-ogoh dibakar. Sekarang banyak yang dibeli hotel untuk tontonan tamu,” kata Nyoman Sugita.

  • Tulisan ini pernah dimuat di majalah GeoTIMES edisi 7, 27-3 Mei 2015
Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.