Minggu, November 24, 2024

Ayu Ting Ting dan Atas Nama MUI

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Salah seorang pengurus MUI meributkan penampilan Ayu Ting Ting. Tentu, ini bikin heboh karena argumen yang dipakai oleh pengurus MUI adalah mempersoalkan status Ayu Ting Ting yang janda. Penampilannya di TV dianggap menjurus. Dengan kata lain, Ayu Ting Ting mengekploitasi status jandanya. Karenanya Elvi Hudriyah, Wakil Sekretaris Infokom MUI, minta kepada KPI agar acara Ayu Ting Ting dihentikan.

Kali ini saya akan memberikan catatan terhadap permintaan Elvi Hudriyah atas kedudukannya sebagai pengurus MUI mengapa minta KPI agar acara Ayu Ting Ting menghentikan acara artis ini. Selain itu saya juga memberi catatan argumen yang digunakan oleh Elvi untuk meminta Ayu Ting Ting dihentikan siarannya. Dalam hal ini Elvi menggunakan argumen yang berkaitan dengan moral dan agama.

Saya perlu jelaskan di sini, MUI adalah organisasi yang kompleks. Para anggota pengurusnya berlatarbelakang dan memiliki jalan pikiran macam-macam. Apa yang dilontarkan oleh para pengurus itu belum tentu apa yang menjadi keputusan lembaga atau organisasi. Si pengurus A mengatakan ini dan itu misalnya ketika ditanya oleh media, namjun ingat, itu belum tentu menjadi keputusan MUI secara lembaga.

Jika misalnya urusan fatwa, jika si pengurus mengatakan hukum ini dan itu dilarang atau yang lainnya, maka jika itu tidak didasarkan kepada keputusan lembaga fatwa, maka fatwa itu tidak resmi dimunculkan oleh MUI sebagai lembaga.

Jika dalam kasus Ayu Ting Ting, jika permintaan Elvi Hudriyah ini bukan keputusan bidang Infokom, maka itu adalah pernyataan pribadi Elvi, bukan MUI. Namun sebaliknya, jika keputusan itu dinyatakan oleh bidang infokom melalui rapat mereka, maka permintaan Elvi itu memang bisa dikatakan diminta oleh MUI.

Jelas di sini, kita harus memisahkan apa yang diminta oleh lembaga individual MUI dan apa yang diminta oleh lembaga MUI itu sendiri.

Kita sering tidak bisa memisahkan apa yang diminta secara resmi oleh MUI dan oleh pengurus MUI. Keduanya berbeda. Pendapat pengurus MUI bukan berarti pendapat MUI. Untuk tahu mana pendapat pribadi pengurus MUI dan pendapat lembaga MUI, maka bisa dilihat apakah itu memang menjadi keputusan lembaga MUI. Hal ini sebenarnya gampang, namun seringkali berita di media sering membuat kabur antara pendapat pribadi pengurus MUI dan lembaga.

Satu catatan lagi, jika itu memang pendapar pribadi, maka si pengurus tidak boleh mengatasnamakan pendapatnya sebagai produk MUI. Jika ada pengurus yang melakukan itu, maka itu bisa dianggap sebagai memanfaatkan lembaga MUI untuk pandangan pribadinya. Jelas ini menyalahi etika dan juga aturan organisasi. Jika MUI peka masalah ini, maka sebenarnya MUI bisa memberikan semacam teguran pada pengurusnya yang seringkali menggunakan lembaga MUI sebagai tameng karena ini bisa merugikan kredibilitas MUI.

Saya ingin mengatakan, jika permintaan lembaga MUI dalam bentuk fatwa atau rekomendasi itu saja bisa tidak diikuti, kecuali itu sudah menjadi UU, apalagi jika permintaan itu hanya diminta oleh pengurus MUI. Jika pihak pemerintah atau lembaga publik lainnya menuruti saja apa yang dimintakan oleh MUI atau pengurusnya, maka itu hal yang harus dipertanyakan.

Saya harus menjelaskan di sini soal implikasi jika lembaga negara, pemerintah atau lembaga publik lainnya harus mengikuti pada setiap apa yang dimintakan oleh MUI. Apalagi jika permintaan itu menyangkut pada hak-hak dasar pihak lain. Pertama, sebagai ormas keagamaan yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, bukan bagian dari negara, MUI bisa memberikan pertimbangan, nasehat, pendapat hukum dlsb, namun seluruh lembaga resmi tidak harus menerima, menuruti dan melaksanakan semua itu.

- Advertisement -

Kedua, jika lembaga pemerintah, negara dan publik, menerima permintaan MUI, maka itu bisa menjadi indikasi MUI sebagai polisi moral. Dan jika ada kesan seperti itu, maka tidak baik bagi citra pemerintahan Jokowi di mana ada kontrol yang seolah-olah tidak bisa ditolak dari lembaga moral dan agama pada perilaku masyarakat. Banyak kasus yang diberi peringatan, fatwa dan rekomendasi oleh MUI dan atau oleh pengurusnya bukan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran pada hukum, tapi lebih berkaitan soal moralitas publik yang dipegang oleh lembaga keagamaan seperti ini.

Kasus yang dialami Ayu Ting Ting adalah kasus yang sering bisa disebut dengan istilah “public morality.” Di negara-negara di mana demokrasi tidak begitu berjalan, public morality biasanya menjadi hal yang paling mudah digunakan untuk mengontrol hak-hak individual warganya. Sudah barang tentu, pada zaman sekarang ini, zaman pemerintahan Jokowi, hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi.

Karenanya permintaan pengurus MUI kepada KPI untuk menghentikan Ayu Ting Ting dengan alasan moralitas publik di atas selayaknya tidak perlu direspon oleh KPI.

Sebenarnya masalah menguatkan pengawasan organisasi agama seperti MUI yang memakai perangkat moralitas publik ini tidak hanya terkait pada kasus Ayu Ting Ting, namun juga terjadi pada kasus-kasus yang lain. Kebanyakan masyarakat menganggap itu baik-baik saja, padahal dalam konteks Indonesia sebagai negara demokratis kontrol terbesar harus menjadi porsi hukum negara yang berlaku secara resmi.

Ya, kita tidak bisa memberlakukan terlalu lama pada penggunaan moralitas publik sebagai perangkat kontrol pada kehidupan masyarakat dan apalagi negara. Moralitas publik itu harusnya berfungsi sebagai pertimbangan atau maksimal kritik saja, bukan sebagai kekuatan yang mengikat secara hukum.

Namun kelemahan terkadang berada pada aparatus negara, penjaga lembaga publik atau yang lain, di mana mereka mudah tergoyah dan menurut saja jika ditekan dengan landasan moral dan agama. Katakanlah sebagai misal, KPI, dalam kasus permintaan pengurus MUI atau MUI sendiri, agar program Ayu Ting Ting dihentikan karena melanggar agama dan moral, maka posisi KPI menjadi gamang. Jika menolak mereka takut dikatakan amoral dan tidak mau mendengar suara agama. Tapi jika diterima, mereka tahu bahwa itu tindakan yang tidak proper karena Ayu Ting Ting tidak melanggar apa-apa dalam perspektif hukum dan bahkan budaya.

Sebagai catatan permintaan-permintaan seperti yang dilakukan oleh pengurus MUI pada lembaga publik, negara dan pemerintahan sebaiknya perlu didengar namun tidak dilaksanakan. Lembaga-lembaga resmi negara dan publik jika mendapat permintaan dari MUI ataupun pengurusnya maka mereka tidak memiliki kewajiban menerima dan melaksanakannya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.