Jumat, Oktober 11, 2024

MUI Baru: Apakah Akan Ada Fatwa-Fatwa yang Membela Minoritas?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Bulan November tahun ini, MUI memiliki kepengurusan baru masa bakti 2020-2025. Ketika melihat komposisi kepengurusan MUI 2020-2025, banyak orang berharap bahwa kepengurusan baru ini akan membawa angin segar berupa perubahan pada peran dan sikap baru di dalam MUI. Harapan pada kepengurusan baru MUI ini muncul karena memang ada semacam “tindakan bersih-bersih dari MUI” dari pengurus-pengurus MUI yang selama ini banyak menimbulkan banyak kontroversi, baik kontroversi dalam bidang agama dan politik.

Pertanyaan kita, apakah MUI baru ini akan tampil lebih menyejukkan di tengah-tengah masyarakat kita yang sedang memiliki banyak masalah? Apakah MUI akan meninggalkan baju konservatif menuju baju moderat? Lalu, setelah tidak ada Tengku Zul, Bachtiar Natsir, Yusuf Martak, dan kawan-kawannya, apakah MUI akan mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan membela kaum minoritas sebagai misal?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena selama ini MUI mengeluarkan fatwa-fatwa konservatif. MUI juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang intoleran. Kita tahu bahwa MUI mengeluarkan fatwa tentang natal, larangan doa bersama, dan lainnya. Kita tahu bahwa fatwa natal MUI selalu dijadikan alasan ketidakbolehan orang Islam megucapkan “Selamat Hari Natal pada kaum Kristiani.” Kata mereka, mengucapkan natal ini bisa merusak akidah umat. Bahkan fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah dan kesesatan-kesesatan banyak aliran lainnyta.

Bahkan, fatwa MUI tentang Ahmadiyyah dijadikan sebagai alasan kaum intoleran untuk mempersekusi kaum Ahmadiyah. Meskipun persekusi tidak secara langsung dilakukan MUI, namun mereka yang menyerang Ahmadiyyah dengan terus terang mengatakan bahwa tindakan mereka memang dilatarbelakangi oleh adanya fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh MUI. Tindakan-tindakan intoleran yang didasarkan pada fatwa MUI ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga terjadi di daerah-daerah. Pembantain Ahmadiyah di Cekeusik dan Nusa Tenggara Barat, pengusiran kaum Syiah di Sampang, Surabaya, dan masih banyak lagi. Belum lagi fatwa-fatwa lain seperti fatwa soal vaksin, dlsb.

Pertanyaan sekali lagi, akankah MUI baru mampu memberikan perubahan baru, citra baru, dan angin baru. Mungkin sedikit ulasan kesejarahan atas pendirian MUI bisa memberikan sedikit wawasan mengapa sikap konservatif MUI seolah-olah built in. MUI ini didirikan pada tahun 1975 atas dukungan penuh Presiden Suharto saat itu. Meskipun pada awal pembentukan para ulama terutama ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama keberatan akan pembentukan MUI, namun Suharto tetap menginginkan adanya organisasi Islam baru yang bisa menjadi payung bagi ormas-ormas Islam yang sudah ada.

Lalu, akhirnya didirikanlah MUI dengan beberapa hal. Ketua Umum pertama MUI adalah Buya Hamka, ulama senior. Karena inisiatif pendirian MUI ini didukung Suharto, maka secara umum sikap MUI pada masa Suharto lebih berperan sebagai organisasi stempel pemerintah.

Pada masa awal sekali, masa Buya Hamka, MUI pernah mengambil sikap berjarak dengan pemerintah, karena ini mungkin syarat dari Buya Hamka atas jabatannya sebagai Ketum MUI, namun Buya Hamka terlempar dari MUI. Pasca Buya Hamka MUI menjadi organisasi yang benar-benar mengawal dan mengabdi pada kepentingan pemerintah (khadim al-hukumah).

Namun ingat, pada masa Buya Hamkalah fatwa soal aliran sesat dan larangan menikah beda agama, meskipun lelakinya Muslim itu keluar. Artinya MUI bisa menjaga obyektivitas dengan pemerintah seperti pada masa Buya Hamka, namun fatwa bercorak konservatifpun tetap ada di sana. Pasca Buya Hamka, di saat MUI dekat dengan negara, fatwa-fatwa konservatif semakin banyak.

Era reformasi datang dan perubahan juga terjadi pada MUI. MUI mengubah posisi dari sikap melayani pemerintah menjadi sikap yang lebih kritis pada pemerintah. MUI menyatakan diri sebagai pelayan umat (khadim al-umma). Dari sini MUI mulai menampakkan diri sebagai organisasi yang kritis dan banyak bertentangan dengan sikap dan kebijakan pemerintah.

Namun sekali lagi, pada tahun 2005, sikap kritis dan pengambila jarak dengan rezim, tidak menghalangi MUI untuk mengeluarkan 14 fatwa aliran sesat. Termasuk di dalam kumpulan fatwa ini adalah hukum ssesat bagi mereka yang menganut paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme.

Saya ingin mengatakan bahwa perubahan sikap politik MUI pada negara ternyata tidak memiliki hubungan langsung dengan sikap konservatif atau moderat pada fatwa-fatwa dan nasehat-nasehat keagamaan MUI. Kita tahu bahwa, sejak Kyai Ma’ruf mendampingi Presiden Jokowi, sikap perubahan MUI juga terlihat.

Dalam pertemuan-pertemuan MUI, wacana MUI sebagai teman pemerintah atau shadiq al-hukuma selalu dikemukakan. Apa yang dimaksud MJUI sebagai shadiq al-hukuma tidak lain adalah adanya kesadaran baru bahwa selama ini, terutama dalam 10 tahun terakhir, MUI bertindak sebagai kelompok kritis dan penekan pada pemerintah. Dengan jargon baru ini MUI ingin menjadi partner dan sahabat bagi pemerintah.

Pertanyaan kita bersama, apakah dengan menjadi teman pemerintah, MUI bisa mengeluarkan fatwa-fatwa baru lagi yang memiliki corak toleransi dan menghargai pluralisme kewargaan. Katakanlah lebih jelasnya, apakah MUI bisa memandang bahwa Ahmadiyah, Syi’ah dan kelompok-kelompok yang dulu disesatkan dianggap sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak kebebasan berkeyakinan yang setara dengan warga negara lainnya? Apakah MUI bisa mengeluarkan fatwa baru bahwa lelaki Muslim boleh mengawini penganut ahli kitab, dan masih banyak lagi. Jawabnya harus kita lihat MUI baru ini dalam beberapa waktu ke depan.

Sebagai catatan, mengharapkan MUI menjadi moderat, terutama dengan kepengurusan baru adalah hal yang wajar bagi karena selama ini, dalam pelbagai pergantian rezim, sikap konservatif keagamaan tidak pernah berubah. Namun semoga MUI baru ini bisa mewujudkan harapan banyak kalangan dan bisa menjadi MUI yang benar-benar moderat sesuai dengan misinya, mewujudkan Islam Wasatiyyah.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.