Jumat, Maret 29, 2024

Abu Bakar al-Razi dan Risalah Etika Kedokteran

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pada saat pandemi Covid-19, peran dokter tidak bisa disangkal, adalah paling menentukan. Sebagai orang awam, saya sangat percaya pada peran dokter, karena mereka selain diikat oleh sumpah dokter, para dokter itu adalah wakil pendekatan yang rasional dan berbasis pengetahuan untuk mengatasi Covid-19. Mereka tidak berurusan dengan politik dan ekonomi, tapi berurusan dengan badan orang yang sakit agar mendapat kesembuhan.

Pada saat yang sama, selama #stayathome ini, saya semakin keranjingan melakukan riset tentang pemikiran filsafat dan Islam untuk sumber-sumber berbahasa Arab di internet. Ternyata di dunia virtual Arab juga mengalami digitalisasi naskah-naskah kitab-kitab berbahasa Arab yang luar biasa dan sangat kaya. Buku-buku dari al-Kindi, al-Farabi, sampai al-Jabiri, Arkoun, dan lain-lain, sudah mengalami digitalisasi.

Tadinya, saya cukup puas dengan maktaba.org, yang bisa membantu mencari kutipan sumber-sumber Arab, tapi ternyata mesin pencari yang ada dalam portal ini hanya menyediakan kutipan-kutipan sumber klasik, jika toh kontemporer agak berbau kitab-kitab kaum salafi. Kitab-kitab yang menilai secara obyektif filsafat dan pemikiran baru Islam tidak terjumpai dengan baik di dalam portal ini. Nanti hal ini akan saya bahas lain kali.

Karena melihat begitu pentingnya peran dokter dari zaman ke zaman termasuk zaman pagebluk ini, maka saya mencari kitab tentang bagaimana profesi kedokteran ini pernah didiskusikan di dalam khasanah peradaban Islam. Profesi ini adalah profesi tua dan dunia Islam pasti pernah membicarakannya. Hal ini menggerakkan saya untuk mencari dan membaca sumber-sumber tentang Abu Bakar al-Razi.

Abu Bakar al-Razi

Nama lengkapnya Abu Bakar al-Razi adalah Abu Bakar Mugammad bin Zakariyya al-Razi. Jangan terjebak dengan Fahruddin al-Razi (juga seorang filosof). Ia lahir di Rayy pada tahun 874 M dan meninggal di Baghdad pada 925 M.

Abu Bakar al-Razi adalah dokter terbesar dari kalangan umat Islam. Dia seorang dokter yang tidak hanya tumbuh dalam bidang ilmunya saja, namun juga di bidang ilmu-ilmu yang lain seperti Kimia, Filsafat dan ilmu-ilmu alam lainnya. Nampaknya penguasaan ilmu alam dan medis itu menjadi karakteristik yang juga dikuasi oleh ilmuwan Islam awal selain pasti menguasai filsafat dan agama juga, seperti Ibn Sina. Hubungan ilmu alam dan filsafat begitu dekat pada masa itu.

Menurut banyak kalangan, Abu Bakar al-Razi adalah dokter terbesar abad pertengahan (ahdzam al-aththiba’I al-qurun al-wustha), tepatnya penjelas ilmu kedokteran di lingkungan Islam. Ibnu Abi Usaibah menyebutnya sebagai “Jalinus al-arab” (Galennya arab).

Ada ungkapan yang menyatakan kemasyhuran Abu Bakar al-Razi dalam dunia kedokteran ini; “inna al-thibb kana ma’duman, fa ahyahu Jalinus, wa kana mutafarriqan, wa fajama’ahu al-Razi, wa kana naqisan, fa akmalahu Ibn Sina”. Artinya, ilmu medis itu tadinya tidak ada, maka Jalinus menghidupnya, namun masih terpisah-pisah, maka al-Razi mengkompilasikannya, namun masih kurang, maka Ibnu Sina membuatnya sempurna. (Baca Khalid Kharji, al-Razi al-Thabib wa Astsarahu fi Tarikh al-‘Alami al-Arabi, Multaqa al-fikri al-iskandariyyah, 1999, h. 19).

Al-Razi dikenal sebagai orang pertama tentang unsur-unsur kimia dalam kedokteran, dimana unsur-unsur tersebut mempengharui pengobatan pasien. Dia membagi material kimiawi ke dalam empat bagian; material dari alam termasuk perut bumi, material hewani, material nabati dan material ekstraktif (al-mawad al-musytaqqa).

Pendek kata, banyak-banyak temuan-temuan al-Razi yang menjadi pembuka bagi ilmu kedokteran pada saat itu dan juga telah menginspirasi dunia kedokteran di belahan Eropa. (Baca Abu Bakar al-Razi, Bur’u Sa’at, Dar al-wafa’ lidunya al-thaba’a wa al-nasyr: Alexandria, 2006: h. 15).

Etika kedokteran

Tulisan ini akan mengulas sedikit salah satu buku al-Razi tentang etika kedokteran. Kitab ini sebenarnya bukan kitab yang khusus menyoroti etika kedokteran pada zaman pandemi, namun ini bersifat lebih umum untuk profesi kedokteran secara umum tanpa batas waktu.

Buku yang disusun pada abad 7 M, sudah barang tentu ada hal-hal yang ketinggalan zaman, namun banyak hal-hal yang juga menjadi akar persoalan dan awal pembahasan etika kedokteran yang kadang-kadang masih sesuai dengan zaman kekinian. Kitab ini berjudul Akhlaq al-thabib: Risala li Abi Bakr ibn Muhammad Zakariyya al-Razi ila ba’dl talamidzihi (Akhlak kedokteran: Risalah Abu Bakar al-Razi untuk sebagian muridnya), cetakan Makitabah dar al-turats, Cairo, 1977). Namun kitab ini sebenarnya bukan hanya berguna bagi dokter saja, namun juga bagi pasien, pemerintah dan orang sehat dan orang yang butuh (faqir).

Tulisan ini akan mengemukakan beberapa pesan al-Razi yang menarik. Dia menyatakan jika hal yang paling sulit bagi dokter adalah melayani pemerintah, mengobati orang yang mendapat nikmat banyak (al-mutrafin) dan perempuan.

Menurut al-Razi, kebiasaan para dokter itu sesungguhnya seperti kebiasaan pemerintah, pekerjaan mereka itu jendela bagi orang kaya dan miskin, karenanya kebiasaan para dokter tersebut memerintah bukan diperintah. Apa maksud al-Razi dengan ungkapan yang demikian ini, dokter dengan pengetahuan yang dimiliki itu semua preskripsinya harus dituruti kayak orang kaya dan miskin nurut pada pemerintah. Jadi, jangan heran jika kita melihat dokter zaman sekarang yang memiliki kecenderungan “decisive” dan otoriter pada zaman sekarang.

Al-Razi mengatakan, “wa anna man nusiba ila al-tibb fa innahu yaqdiru an yazila kulla maradlin wa yasyfi kulla saqamin”, semua orang yang dikaitkan dengan ilmu kedokteran maka orang itu mampu menghilangkan segala penyakit dan mengobati kesakitan. Ini adalah asumsi umum yang terjadi pada masyarakat bahwa dokter adalah penyembuh.

Al-Razi mengatakan bahwa dokter yang cekatan itu bukan orang yang mampu menyembuhkan semua penyakit, penyembuhan itu bukan bagian dari keleluasaannya. Ini mengingatkan bahwa percaya kemampuan dokter adalah hal yang baik, namun jika dokter tidak berhasil menjalankan, hal itu juga bisa terjadi di dalam pengalaman pengobatan pasien mereka. Pernyataan al-Razi di atas sebenarnya agar kita tidak menyalahkan dokter ketika mereka sudah sampai pada batas maksimal upayanya namun ternyata gagal.

Dalam menjalankan profesinya, dokter juga sebaiknya memiliki jiwa kasih sayang dan menjaga rahasia dalam proses medisnya. Al-Razi mengatakan “hendaknya bagi dokter untuk bersikap welas asih kepada manusia, menjaga dan menutupi rahasia mereka–manusia yang berobat. Kadang mereka mengungkapkan kerahasiaan mereka hanya kepada dokter. Hal ini masih sangat relevan dalam dunia kedokteran sekarang ini. Menjaga rahasia pasien itu hal yang penting.

Hal menarik lainnya, dan kini juga banyak terjadi, bagaimana kecenderungan di masyarakat soal dokter laki-laki menangani dokter perempuan. Lebih menarik lagi karena derasnya syariatisasi di ruang publik sehingga menyebabkan munculnya kecenderungan dokter laki-laki tidak mau mengobati pasien perempuan atau pasien perempuan tidak mau berobat ke dokter laki-laki dan sebaliknya karena persoalan mahram.

Saya lihat al-Razi tidak mempermasalahkan hal demikian. Al-Razi memberi pesan, “jika dokter mengobati perempuan dan budak-budaknya maka wajib bagi dokter itu menjaga matanya.” Menjaga mata ini tidak berarti tidak boleh melihat si pasien yang perempuan, namun lihatlah sesuai dengan kenyataan obyektifnya, dimana tempat sakitnya.

Al-Razi mengatakan, “wala yujawiz maudli al-‘illat,” artinya jangan melibih batas tempat penyakitnya. Rupanya pesan ini al-Razi ambil dari Galen yang mengatakan, “hendaknya dokter itu berhati ikhlas untuk Allah saja, menjaga matanya dari perempuan yang bagus dan indah, menjauhi untuk menyentuh sesuatu dari badan mereka, jika mau mengobatinya, maka tuju tempat dimana pengobatan itu dilakukan, hendaknya meninggalkan arah mata ke seluruh tubuh perempuan tersebut.

Tentang pasien kaya dan miskin saya kemukakan pesan yang menurut saya penting yakni kewajiban dokter untuk mengobati orang miskin. Al-Razi mengatakan “wa yanbaghi lithabib an yu’lija al-fuqara kama yu’aliju al-aghniya’, wa hakadza yajibu ‘alaina an naqtafiya al-sunnatu allati sannaha al-hakim,” hendaknya dokter mengobati pasiennya yang miskin sama sebagaimana dia mengobati pasiennya yang kaya, dan hal yang demikian ini wajib bagi kita para dokter untuk mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh al-hakim –sebutan al-Razi untuk Galen–menurut al-Razi manusia adalah manusia, sebagai manusia tidak ada beda kaya dan miskin.

Sesungguhnya masih banyak pesan-pesan etika kedokteran yang sangat menarik dan kontekstual dari Abu Bakar al-Razi. Namun satu hal yang bisa diambil dari al-Razi, pendekatannya yang komprehensif atas dunia medik. Teologi, filsafat, ilmu alam, kejiwaan dan lain sebagainya menjadi hal yang dia ramu untuk menjadi dokter terbesar dalam sejarah Islam.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.