Belum lama ini di Bima, Nusa Tenggara Barat, masyarakat membongkar sebuah proyek bangunan masjid. Masjid ini dibongkar karena atapnya diniliai oleh masyarakat setempat mirip dengan rumah ibadah lain. Tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan mirip rumah ibadah lain. Namun dari konteksnya, mungkin mirip dengan gereja.
Dulu, di tempat lain, pada tahun 2018, ada Menara masjid Sentani di Papua melebihi tingginya menara geraja. Masyarakat sekitar, mayoritas minta membongkarnya. Menara adalah simbol keagamaan juga.
Kali ini saya ingin melihat secara khusus persoalan soal simbol –di luar—agama dan juga bagaimana simbol itu dianggap dan dipahami sebagai bagian yang sebenarnya dari sebuah agama. Katakanlah simbol yang melekat pada bangunan masjid yang kita jumpai di Indonesia. Apakah itu benar-benar merupakan konsep yang secara historis ajek atau mengalami banyak perubahan.
Dua contoh di atas juga menunjukkan betapa dunia agama masih berkutat pada simbol. Kasus pembongkaran atap masjid di Bima yang mirip dengan gereja, masyarakat setempat tidak mau rumah ibadah mereka sama dengan geraja.
Dalam Islam, keengganan untuk mirip atau sama dengan agama lain itu memang menjadi permasalahan. Ada ajaran yang diyakini oleh sebagian masyarakat Muslim untuk tidak boleh meniru atau sama dengan agama lain. Ajaran itu disebut tasyabbuh.
Kasus masjid Sentani menunjukkan bahwa umat mayoritas Kristen di daerah tersebut tidak berkehendak jika ada tempat ibadah lain melebihi tempat ibadah mereka. Simbol keagamaan mayoritas harus berada di atas simbol-simbol keagamaan minoritas.
Persoalan seperti ini oleh sebagian kita dipandang sebagai hal yang remeh-temeh. Sebagian kita ada yang menganggap bahwa masalah-masalah yang saya paparkan di atas sebagai hal yang bersifat ekonomi politik, tidak terkait agama. Karenanya, agama itu instrumental dalam kasus-kasus seperti ini. Namun jika direnungkan, soal-soal seperti ini sebenarnya merupakan hal yang fundamental; yakni pengajaran dan sosialisasi agama yang normatif, literalis dan dogmatis.
Kembali ke masalah masjid di Bima yang mirip gereja di atas. Masyarakat Bima mungkin menganggap bahwa yang dimaksud dengan masjid adalah bangunan arsitektural yang kira-kira seperti bangunan masjid pada umumnya di Indonesia. Karakter-karakter kemasjidan ditemukan di sana.
Hal yang paling mencolok yang mencirikan masjid-masjid di Indonesia, misalnya, adanya kubah dan bulan sabit. Padahal jika kita lihat bentuk arsitektural masjid di Indonesia di masa lalu, kubah ternyata bukan gambaran umum. Bila kita jauh ke belakang, masjid Demak, masjid awal para wali, tidak berkubah.
Sebelum tahun 2000, masjid di Indonesia juga banyak yang tidak berkubah. Bahkan banyak bangunan masjid mengikuti tradisi arsitektur lokal. Di Jawa banyak masjid yang beratap seperti atap model rumah-rumah tradisional Jawa. Fenomena ini sangat menarik karena betapa proses adaptasi kultural itu terjadi di dalam tradisi Islam dan masyarakat Muslim bisa menerimanya.
Namun lambat laun, ada semacam tren bahwa masjid itu harus berkubah. Akhirnya, karena banyaknya masjid yang dibangun itu berkubah, timbul pemahaman di kalangan masyarakat Islam, jika kubah dianggap sebagai simbol rumah ibadah umat Islam. Karenanya, jika ada masjid yang tidak berkubah, maka itu dianggap bukan masjid. Masih untung jika hanya bukan dianggap masjid saja, tapi kalau dianggap mirip dengan rumah ibadah lain, itu yang menjadi masalah besar. Mengapa?
Karena jika dianggap mirip dengan rumah ibadah lain maka itu terkena doktrin “man tasyabbaha bi qaumin fahuma minhum,” barang siapa yang mirip dengan sebuah kaum maka itu bagian dari mereka.
Tapi doktrin yang banyak dipegang oleh kelompok Salafi dan Wahhabi di atas tidak berlaku bagi kubah.
Sejarah Kubah
Dalam konteks dunia, kubah sendiri bukan ciri khas masjid. Jika kita jalan ke negara-negara di Eropa bahkan Turki, maka gereja-gereja klasik mereka banyak yang berkubah. Jadi jika kubah dianggap sebagai ciri khas masjid, maka hal ini sama sekali salah, meskipun pada kenyataannya masih banyak orang Islam yang menganggap jika kubah itu milik Islam.
Kubah adalah sejarah yang terkait dengan Romawi. Konon, kubah pertama kali dibangun oleh bangsa Romawi pada tahun 100 masehi. Pantheon adalah bangunan kubah berbeton pertama yang dibangun pada tahun 126 M. Lalu tradisi kubah ini masuk ke Turki pada era Kekaisaran Byzantium abad 4 M. Kekaisaran Byzantium ini sendiri adalah pengikut Kristen Ortodoks. Jadi, gereja berkubah beton adalah rumah ibadah bagi umat Kristen Ortodoks.
Bahkan bulan sabit pun secara historis juga bukan bagian dari Islam. Bulan sabit adalah tradisi yang berkembang di kalangan bangsa Sumeria, bangsa kuno. Simbol ini dikaitkan dengan Dewa Bulan dan Dewa Bintang di kalangan bangsa itu. Lalu bangsa-bangsa lain seperti Mesopotamia, Persia, dan lain sebagainya juga menjadikan bulan sabit sebagai simbol keagamaan mereka.
Bagaimana dengan kubah dan bulan bintang di dalam tradisi Islam dan adakah itu menjadi bagian dari masjid?
Tidak ada catatan dalam sejarah Islam, bahkan masjid-masjid awal Islam, yang menunjukkan indikasi adanya bangunan yang berkubah. Bahkan Masjidil Haram berbentuk bangunan kotak yang sederhana. Masjid Al-Aqsa dan Masjid Nabawi bentuknya juga sebagaimana bentuk Masjidil Haram. Intinya, bangunan masjid dalam sejarah Islam awal itu sederhana.
Baik kubah maupun bulan sabit, keduanya memiliki pengaruh dalam tradisi arsitektural masjid-masjid di dunia Muslim lewat Turki. Turki pada masa itu adalah bangsa bertemu dan berinteraksi dengan Byzantium dan bahkan Sumeria.
Turki Usmani adalah salah satu pusat kejayaaan kekuasaan Islam di dunia yang memungkinkan banyak tradisi lain bercampur dengan tradisi Islam lalu menjadi menyebar ke seluruh dunia Islam. Tidak hanya menyebar, namun kemudian percampuran tradisi dalam pelbagai bentuknya oleh umat Islam justru dianggap sebagai simbol keagamaan yang berasal dari dalam tradisi Islam sendiri.
Sebetulnya penggunaan kubah atau bulan sabit sebagai simbol rumah ibadah umat Islam adalah hal yang baik untuk kehidupan kerukunan beragama. Ini tanda bahwa Islam itu terbuka.
Sebagai catatan, apa yang kita pahami sekarang sebagai simbol dan tradisi Islam, juga mungkin tradisi agama lain, itu bisa jadi merupakan hasil akulturasi dan adaptasi dengan ajaran-ajaran agama lain. Pemikiran sejarah penting dalam hal ini agar kita tidak terlalu sempit melihat simbol-simbol keagamaan kita.