Rabu, Oktober 16, 2024

Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala: Wajah Puisi Kontemporer

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya mengenal Wannofri Samry pertama kali tahun 1997 ketika saya diterima sebagai mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas. Beliau sudah terlebih dahulu menjadi dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas sejak 1993.

Ya, saya memanggil beliau Pak Wan, sebutan popularnya di kalangan staf pengajar dan mahasiswa FSUA. Sejak mahasisiwa hingga saya menjadi kolega Pak Wan di kampus, saya mencermati bahwa beliau konsisten meletakkan dua kakinya secara produktif; fiksi dan ilmiah. Beliau tak pernah penat menancapkan bendera kepenyairan di satu sisi dan melahirkan tulisan-tulisan ilmiah (akademik atau popular) di berbagai media cetak di sisi lain.

Dalam buku kumpulan puisinya teranyar, Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala (2021), yang memuat 101 puisi-puisinya di berbagai media selama kurun waktu tertentu, saya membaca bahwa puisi-puisi Wannofri hadir dengan wajah puisi kontemporer. Berbeda dengan ciri-ciri puisi modern yang dimulai pada awal abad ke-20, puisi kontemporer memiliki ciri-ciri khas yang sama dalam bentuk (form), bahasa (language), isi (subject matter) dan konteks (context).

Pertama, puisi kontemporer berbentuk informal, tanpa rima (rhyme), sajak bebas (free verse), tidak menggunakan pola meteran yang konsisten atau pola musik apa pun, berstanza yang tidak beraturan bahkan kadang tanpa stanza serta menampilkan sintaks yang tidak beraturan dan menentang konvensi. Namun tidak semua bentuk ini dapat dijumpai pada setiap puisi kontemporer.

Dalam antologi puisi ini, kita tidak menemukan rima yang beraturan, misalnya, dalam Manusia Kondominium, Mari ke Atas Bukit, Larut, Berhadapan dengan Lautan, dan Lailatul Qadar. Kalaupun ada rima yang beraturan, itu hanya ditemukan pada satu atau dua stanza, bukan keseluruhan stanza, seperti dalam Dalam Salawat Air Mata Menggenang, Pada Jalan Berbatu, atau Bocah-Bocah di Bawah Langit. Puisi-puisi Wannofri juga tidak terikat dengan aturan-aturan yang secara baku ditemukan di banyak puisi-puisi aliran modernis, semisal jumlah suku kata (syllable).

Penyair modernis setidaknya lazim menggunakan 6 suku kata, rerata 8 sampai dengan 10 suku kata. Namun dalam kumpulan puisi ini, Wannofri secara bebas menuangkan keresahan dan perasaannya tanpa terikat dengan aturan-aturan baku tersebut. Dalam pelbagai puisi kontemporer, dipahaminya bahasa dan sampainya pesan jauh lebih penting.

Kedua, karena merupakan bagian dari puisi-puisi kontemporer, pilihan bahasa yang digunakan oleh penyair juga bersifat kontemporer. Ciri-ciri bahasa dalam puisi-puisi kontemporer di antaranya adalah bersifat spesifik, konkret dan kolokial. Untuk diksi yang bersifat konkret, kita dapat menemukan banyak contoh dalam antologi puisi ini. Pada tulisan ini saya memilih untuk membahas kolokialisme bahasa.

Kolokialisme (pemakaian bahasa sehari-hari) banyak ditemukan dalam karya Wannofri ini, di antaranya dalam Seseorang Yang Lahir di Bawah Jembatan (truk, dan pemulung), Tiga Bait dalam Ruang yang Berbeda (tv, Gaza, bom-bom Israel), Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala (sanskerta, voc, belanda, arab gundul, romawi, inggris), Di Ruang Kampus (akreditasi, jadwal kuliah, mahasiwa, lembaran kertas atau ijazah) dan lain-lain.

Bahasa sehari-hari, jika digunakan dengan bijaksana, dapat membawa kedalaman dan tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah puisi. Dalam prosa, bahasa kolokial menjadi elemen penting dari sebuah cerita yang fantastis. Mungkinkah Mark Twain menulis sesuatu tanpa bahasa sehari-hari yang dimengerti pembaca? Akankah William Faulkner dan Toni Morrison memiliki karya-karya monumental tanpa melibatkan bahasa keseharian kaumnya?

Menjadi pertanyaan, apakah puisi kontemporer sepenuhnya terikat dengan kolokialisme? Jawabannya tidak. Dalam antologi puisi ini, kita dengan gampang menemukan ragam tulisan formal dan baku. Sastrawan Budi Darma sangat dikenal dengan penggunaan bahasa formal dan baku dalam banyak karya-karyanya. Perpaduan antara bahasa formal dan informal, baku dan tidak baku juga niscaya di banyak puisi kontemporer. Tak jarang jenis puisi ini juga memasukkan bahasa umpatan dan sumpah serapah, sesuatu yang bagi sementara pembaca dianggap tabu, bahkan juga slang.

Ketiga, isi atau pokok (subject matter) lazimnya biasanya berhubungan dengan kejadian sehari-hari, peristiwa lumrah. Sumber dan obyek inspirasi penulisan penyair kontemporer adalah pengalaman saban hari; brosur, karya sastra lain, artikel atau teks iklan di surat kabar atau majalah.

Yang tak kalah krusialnya adalah penyair kontemporer masih menyentuh dan memiliki minat terhadap perihal universal atau kebenaran universal dalam pengalaman kemanusiaan yang ditemukan lewat peristiwa atau pengalaman spesifik; sesuatu yang dijumpai di rumah atau tempat kerja, sesuatu yang dialami ketika berbelanja di supermarket, berjalan di pedestrian, atau ketika naik bus. Para penyair kontemporer menggunakan pengalaman spesifik ini untuk menemukan hal-hal universal alih-alih membuat pernyataan abstrak tentang kebenaran universal dengan bahasa yang juga abstrak dan umum.

Membaca Di Ruang Kampus, Wannofri sebetulnya mengutarakan aspek umum pengalaman manusia, yaitu dinamika dan proses belajar-mengajar di perguruan tinggi. Tapi ia menuangkannya ke ranah yang lebih spesifik, yakni kehidupan di kampus dengan segenap dinamika dan perbendaharaannya— akreditasi, jadwal kuliah, mahasiwa, lembaran kertas, ijazah dan lain-lain.

Namun, apa yang ditulis oleh penyair dengan tempat biasa (kampus) oleh orang-orang biasa (dosen dan mahasiswa) adalah sesuatu yang luar biasa, yakni obsesi dan cita-cita sang pendidik (dosen) untuk mendidik anak bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa. Obsesinya ini tak pernah redup tekanan dan terpaan yang dihadapinya—mahasiswa yang tak punya, punya buku tapi tak dibaca, tak ada pena dan buku catatan, berpuluh-puluh penelitian dosen dalam lembaran-lembaran kertas yang kemudian digeranyangi rayap-rayap.

Keempat, konteks (context). Berbicara tentang konteks, puisi tak pernah lahir di ruang hampa yang terisolasi dari konteks budaya, etnik, sosial bahkan politik. Di satu sisi, penyair hidup di waktu sekarang (the poet lives in the present), sementara puisi merefleksikan pengalaman dan nilai-nilai universal kemanusiaan yang melewati waktu sekarang. Di sisi lain, sungguhpun penyair hidup di waktu sekarang, puisi juga bisa eksis di waktu sekarang (the poetry exists in the present). Artinya, konteks budaya, etnik, sosial bahkan politik merujuk kepada sesuatu di luar dirinya.

Dalam Corona, Kau Menebar Ketakutan, pembaca dengan cepat mengidentifikasi bahwa puisi hadir dalam konteks pandemi Covid-19 yang hingga hari ini terus memakan nyawa manusia, tidak cuma di Tanah Air tapi juga di seluruh jagad. Penyair menulis, “sepanjang siang dan malam kami jadi curiga/mungkin kau menempel di sekitar rumah (Semua orang jadi melek dengan 3M— (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak); kau jadikan inang manusia/kau buat sibuk semesta/kau buat duka di mana-mana (Korban yang terinfeksi positif dan meninggal dunia terus bertambah. Untuk memutus mata rantai penularan, pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment) harus dilakukan. Semua pihak dibuat repot, sibuk, lelah dan menderita).

Hal yang sama juga terbaca dalam Ketika Negeri Berasap. Menurut penyair, masalah asap bukan lagi sebagai petaka alam yang disebabkan kebakaran hutan (natural disaster) tapi mewujud sebagai ulah tangan manusia (man-made disaster)—bau belukar dibakar; ia perokok berat, yang mengepulkan asap dimana-mana; ia pembalab yang kendaraannya menderu sepanjang kota; ia pemilik pabrik yang menebarkan asap kepada tetangga.

Dengan memahami konteks, kita bisa menelusuri apakah peristiwa atau tempat dari kehidupan penyair tercermin dalam puisi. Dalam Corona, Kau Menebar Ketakutan, apakah hawa kecurigaan yang diutarakan penyair karenanya absennya obat/vaksin Covid-19 atau pengalamannya menghadapi orang-orang yang abai dengan upaya perlindungan diri lewat 3M? Lewat konteks, kita bisa mencari tahu apakah orang tertentu berdampak bagi kehidupan penyair dalam puisi itu. Apakah gagasan atau keyakinan penyair tercermin dalam puisi itu? Dalam Ketika Negeri Berasap, jangan-jangan kemarahan penyair terhadap bencana asap buatan manusia karena kekecewannya kepada orang terdekatnya yang memilih jadi perokok berat atau derita sakit pernapasannya yang menjadi-jadi lantaran kebakaran hutan yang menyelubungi seantero negeri?

Menelusuri konteks, kita bisa menemukan jawaban  apakah gagasan atau keyakinan penyair tercermin dalam puisi itu. Dalam kapasitasnya yang juga seorang sejarawan, saya menangkap bahwa Wannofri adalah seorang yang visioner. Ia memang resah dengan redupnya keindahan masa lalu (Bayangan Punah Sutan Bandaro) namun tetap tegak untuk menjalani peran kekinian dan kedisinian dengan segala peluang dan pancarobanya (Manusia Merdeka). Sebagai sejarawan yang mafhum dengan peristiwa dan warisan masa lalu (Mimpi Kita), namun Wannofri tak larut dengan nostalgia dan memandang hidup sebagai ikhtiar untuk berjalan meninggalkan tempat, bukan berlari di tempat (Kita Mesti Bertahan).

Puisi yang tercipta karena konteks tertentu boleh jadi merupakan cerminan pikiran atau kegundahan hati penyair. Namun bagi para pembaca, puisi yang kontekstual bisa saja dipahami atau diterima sebagai nasihat untuk sebuah pilihan langkah yang hendak diambil. Dalam skala yang lebih spesifik, keterikatan terhadap konteks membuat seorang penyair tidak bisa melepaskan daya tarik identitasnya dalam puisi-puisi yang ditulisnya. Inilah yang kemudian bisa menjelaskan kenapa puisi puisi Wannofri dalam beberapa hal berkelindan dengan budaya dan lokalitas Minangkabau, seperti dalam Memasuki Nagari, Bujang Miang, Bayangan Punah Sutan Bandaro, Mimpi-Mimpi Yang Tertambat di Masa Lalu, dan Galugua.

Bagi yang memiliki minat dan perhatian terhadap otonomi teks, aliran Kritik Baru (New Criticism) kerap gagal menganalisis puisi-puisi kontemporer mengingat kaum Kritikus Baru (New Critics mementingkan otonomi teks dan status kesusastraannya yang unik—struktur estetika dan nilai intrinsik—serta mengabaikan semua konteks sejarah, politik, sosial dan budaya. Hanya saja Kritik Baru tetap fungsional untuk mencari makna teks karena perhatian pertama dan utama Kritik Baru adalah pada analisis makna, di samping struktur estetika dan nilai intrinsik dari teks sastra.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.