Minggu, Oktober 6, 2024

Sastra dan Empati

Mimpi Ujian

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Sebagian sarjana menganggap belum menjadi seorang ilmuan yang betul-betul ‘ilmiah’ sebelum membaca jurnal Science, sebuah jurnal akademik yang dipublikasikan secara reguler oleh American Association for the Advancement of Science. Science merupakan salah satu jurnal ilmiah terkemuka di dunia saat ini. Dalam edisi Oktober 2013, Science menerbitkan sebuah artikel penelitian berjudul “Reading Literary Fiction Improves Theory of Mind” (Membaca Karya Sastra Meningkatkan Teori Pikiran) oleh David Comer Kidd dan Emanuele Castano.

Dalam abstrak artikel ini disebutkan bahwa memahami keadaan mental orang lain adalah keterampilan penting yang memungkinkan terjadinya  hubungan sosial kompleks yang mencirikan masyarakat manusia. Namun suatu penelitian kecil telah dilakukan untuk mengetahui perihal yang mendorong kecakapan ini, sesuatu yang dikenal sebagai Teori Pikiran pada orang dewasa.

Para peneliti mempresentasikan lima eksperimen yang menunjukkan bahwa membaca karya sastra menyebabkan performa lebih baik pada tes afektif dan kognitif terhadap Teori Pikiran dibandingkan dengan membaca nonfiksi, karya pop, atau tidak membaca sama sekali. Secara khusus, hasil ini menunjukkan bahwa membaca karya sastra untuk sementara meningkatkan Teori Pikiran. Secara lebih luas, mereka berpendapat bahwa Teori Pikiran boleh jadi dipengaruhi oleh keterlibatan seseorang dengan karya sastra.

Ini adalah pernyataan dari dua orang sarjana atau ilmuan kelas kakap, bukan pernyataan dari dosen atau penulis sastra, yang bisa saja dianggap memiliki kepentingan tertentu untuk membawa kembali sastra ke dalam arus utama pendidikan. Bahkan, secara historis, kalangan ilmuan biasanya adalah kelompok yang paling gencar menantang sastra, seperti terbaca dalam esai klasik, “The Two Cultures?”. Bahwasanya  tak sedikit ilmuan hari ini menganjurkan kembalinya sastra ke ranah pendidikan adalah perubahan besar dalam dunia akademis.

Jurnal populer “Scientific American” pada edisi 4 Oktober 2013 menampilkan artikel berdasarkan penelitian “Science” yang berjudul, “Novel Finding: Reading Literary Fiction Improves Empathy” (Temuan Novel: Membaca Sastra Meningkatkan Empati). Penulis, Julianne Chiaet, dalam artikel ini  menyatakan bahwa jenis-jenis buku yang kita baca dapat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan orang lain. Mengingat artikel ini lebih mudah dipahami untuk sebagian pembaca daripada “Science” yang memang kelewat tinggi, saya ingin mengutip sebuah temuan baru tentang sastra:

Emanuele Castano, seorang psikolog sosial, bersama dengan David Kidd, seorang kandidat Ph.D, melakukan lima penelitian dengan membagi beberapa peserta (mulai 86-356) dan memberi mereka tugas bacaan yang berbeda: kutipan dari genre fiksi populer, karya sastra, nonfiksi, atau tidak sama sekali. Setelah selesai kutipan, peserta mengambil tes guna mengukur kemampuan mereka untuk menyimpulkan dan memahami pikiran dan emosi orang lain. Secara mengejutkan, para peneliti menemukan perbedaan yang signifikan antara pembaca sastra dan yang bukan membaca sastra.

Ketika peserta tersebut membaca buku-buku non-fiksi atau sama sekali tidak membaca, hasilnya tidak mengesankan. Di saat membaca kutipan dari karya populer, seperti The Sins of Mother oleh Danielle Steel, hasilnya tidak mengesankan.  Namun ketika mereka membaca karya sastra, seperti  The Round House oleh Louise Erdrich, hasil tes mereka membaik dengan meningkatnya kemampuan mereka untuk berempati.

Hasil ini konsisten dengan apa yang diujarkan oleh para kritikus sastra mengenai dua genre ini. Agaknya penelitian ini menjadi bukti empiris pertama yang menghubungkan sastra dan teori fiksi psikologis.

Karya populer cenderung menggambarkan situasi dunia yang berbeda dan mengikuti formula untuk menggiring pembaca menuju roller-coaster emosi dan pengalaman menarik. Meskipun setting dan situasinya lumayan, karakternya secara internal konsisten dan dapat diprediksi, yang cenderung menegaskan harapan pembaca terhadap orang lain. Hal ini cukup beralasan bahwa karya populer tidak memperluas kapasitas pembaca untuk memperlihatkan empati kepada orang lain.

Sebaliknya, karya sastra lebih memusatkan diri kepada psikologi dan relasi di antara karakter. Pikiran-pikiran karakter acapkali digambarkan samar-samar, sedikit detail, dan pembaca dipaksa mengisi kesenjangan untuk memahami niat dan motivasi tokoh-tokoh rekaan. Karya sastra  menuntun pembaca untuk membayangkan dialog introspektif karakter.

Kesadaran psikologis terusung ke dunia nyata yang penuh dengan individu rumit dengan kehidupan yang biasanya sulit untuk dipahami. Meskipun karya sastra cenderung lebih realistis dari karya populer, karakter-karakter yang ada di dalamnya mengganggu harapan pembaca, merusak prasangka dan stereotip. Karakter yang ada mendukung dan mengajarkan pembaca tentang nilai, seperti pentingnya memahami mereka yang berbeda dari diri kita sendiri.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa membaca sastra mendatangkan efek sosial yang berharga. Dalam konteks Indonesia, data penelitian ini sangat relevan dan seyogianya merangsang perdebatan menyangkut integrasi sastra ke dalam kurikulum pendidikan dan program membaca untuk dilaksanakan di penjara sebab membaca karya sastra dapat meningkatkan fungsi sosial dan empati narapidana.

Dalam tulisannya itu, Castano juga berharap temuan ini akan mendorong orang-orang autis untuk terlibat dalam pembacaan karya-karya sastra dengan harapan bisa meningkatkan kemampuan mereka untuk berempati tanpa efek samping obat.

Seorang diplomat Belanda, Doris Voorbraak, pernah menyatakan, “We need literature to feed the imagination. We crave imagination in our hunger for knowledge. We need imagination to challenge set norms, to push boundaries and help us progress as humankind. In the words of Albert Einstein, ‘Imagination is more important than knowledge, for knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world and all there ever will be to know and understand.’ Culture makes us human. Culture remains essential to progress and development. Without culture, development cannot be sustainable and is meaningless.

“Kita butuh sastra untuk memberi makan imajinasi. Kita memerlukan imajinasi karena kehausan kita akan pengetahuan. Kia perlu imajinasi untuk menentang norma, mendorong garis batas, dan menolong kita untuk maju sebagai umat manusia. Dalam bahasa Albert Einstein, “Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan sebab ilmu pengetahuan hanya terbatas pada apa yang kita ketahui dan pahami, sementara imajinasi mencakup keseluruhan dunia untuk diketahui dan dipahami.” Budaya menjadikan kita manusia. Budaya tetap penting buat kemajuan dan pembangunan. Tanpa budaya, pembangunan tak bisa berkelanjutan dan menjadi tak berarti.”

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.