Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah yang bernilai di bawah Rp 1 miliar. Beberapa kalangan menilai rencana pembebasan itu tepat karena kondisi ekonomi kita menurun.
“Kebijakan itu sudah tepat. Ini akan mengurangi beban dan tidak memperparah daya beli masyarakat. Ini bentuk perhatian pemerintah Jakarta terhadap masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (9/9).
Akan tetapi, pembebasan pajak tersebut harus baik adiministrasinya. Pasalnya, objek pajak yang lebih dari satu dan dimiliki oleh satu orang tidak layak menerima pembebasan tersebut. Karena itu, perlu perhatian pemerintah dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima manfaat tersebut.
“Kondisi obyeknya harus sesuai dengan mereka yang berhak menerimanya. Itu cukup jelas. Pembebasan itu bukan untuk menghapus PBB. Tapi persyaratan kebebasan harus lebih rinci agar orang kaya tidak memecah obyeknya. Jadi, pemerintah harus mengantisipasinya,” ungkap Prastowo.
Hal serupa diungkapkan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto. Dia mendukung kebijakan Ahok asalkan mempunyai kajian yang mendalam dan perlu pemetaan yang bagus ihwal pembebasan pajak bagai rumah yang bernilai Rp 1 miliar.
“Nilai pajak PBB di bawah Rp 1 miliar itu idealnya kelas menengah ke bawah. Mereka mayoritas. Kalau pajak PBB dihapus perlu ada kajian yang mendalam terkait penerimaan nilai pajak di atas Rp 1 miliar,” ungkap Yenny.
Dia menambahkan, pemerintah harus mengawal proses pembebasan pajak itu, mulai dari desain perencanaan hingga pemetaan. Suatu kebijakan yang diambil harus mempunyai kajian-kajian. Kajian tersebut bisa berupa penggalian penerimaan lain seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transjakarta, PD Pasar Jaya, Ancol, restoran, dan pajak hiburan. Pajak dari BUMD dan umum itu mengisi kekosongan dari pajak PBB.
Selain itu, Yenny meminta pemerintah Jakarta tidak mengutip pungutan lain dari masyarakat kecil, salah satunya restribusi warung tegal (warteg). “Jangan menghapus PBB, akan tetapi pemerintah meningkatkan pendapatan restribusi lain. Penggalian potensi kelas menengah bawah jangan ditingkatkan lagi. Kalau orang kaya tidak masalah agar lebih adil.”
Yenny menyoroti orang kaya yang memiliki rumah lebih dari satu dengan harga di bawah Rp 1 miliar. Itu harus diawasi pemerintah dengan database yang bagus sehingga kebijakan tersebut tidak dimanfaatkan oleh orang kaya yang menghindar dari PBB.
“Perumahan Rp 1 miliar itu milik korporasi atau pribadi. Semua itu harus memiliki database yang lengkap agar tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu,” tutur Yenny. “Jadi, peraturan gubernur itu harus memiliki kajian mendalam dan tidak sembrono. Jangan sampai kebijakan membebankan masyarakat kecil tapi mengutungkan korporasi.”
Seperti diketahui, Ahok sedang mempersiapkan aturan menerapkan kebijakan pembebasan pajak bagi rumah yang bernilai di bawah Rp 1 miliar, baik di rusun, rusunami, dan pribadi. Akan tetapi tak semua warga bebas PBB. Masyarakat yang memiliki rumah di atas Rp 1 miliar tetap kena pajak. Hak ini dilakukan atas dasar keadilan.
“Tapi yang Rp 1 miliar ke atas harus bayar. Karena memang sudah tugas pemerintah untuk mengadministrasikan keadaan sosial seperti ini. Jadi, semuanya untuk kesejahteraan bersama,” kata Ahok.[*]