Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai banyak kontroversi selama satu tahun masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014-2019, terutama dalam bidang anggaran. Pertama, DPR tidak menggunakan kewenangan penganggaran (budgeting) dengan landasan memperjuangkan kepentingan rakyat. Akibatnya, terjadi ketimpangan alokasi kesejahteraan antara kelompok menengah ke atas dan rakyat jelata.
“DPR setuju pemangkasan subsidi tetapi belanja pegawai tetap naik,” kata Manajer Advokasi Fitra Apung Widadi di Jakarta, Kamis (1/10).
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, perubahan kebijakan belanja terbesar adalah pemotongan anggaran untuk subsidi energi sekitar Rp 186 triliun. Pemotongan ini dilakukan pemerintah dengan asumsi mengurangi daya saing industri nasional. Hal itu menyebabkan indeks gini meningkat tajam pada 2014, yakni 0,43%. Pengurangan subsidi energi dapat berkontrubusi pada melebarnya kesenjangan kaya dan miskin di tengah masyarakat.
Kedua, proses pembahasan anggaran di DPR masih berpotensi membuka ruang transaksional. Akibatnya, proses pembahasan anggaran menjadi mandul. Misalnya, DPR meloloskan penyertaan modal negara (PMN) untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 63 triliun tanpa proposal penjelasan dari menteri BUMN. Karena itu, PMN disinyalir hanya sebagai sarana bancakan politisi tanpa ada dampak pendapatan negara dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) BUMN.
Ketiga, tambah Apung, dalam proses penganggaran, DPR tidak mempunyai hitungan APBN alternatif sehingga hanya menyetujui usulan pemerintah tanpa melakukan koreksi. Misalnya, dalam pembahasan APBN-P 2015, DPR menyetujui rencana pemerintah untuk penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 49 triliun. Keempat, secara internal pengelolaan anggaran di DPR tidak transparan dan akuntabel .
“DPR tak berani menggunakan e-budgeting,” ungkap Apung. Dengan tidak menggunakan e-budgeting, tambah Apung, pengelolaan anggaran internal DPR banyak yang tidak wajar terkait dengan biaya pemeliharaan. Misalnya, pemeliharaan rusa yang mencapai miliaran, pengadaan kasur, dan seminar antikorupsi.
Kelima, politik anggaran DPR masih mementingkan kebutuhan diri sendiri, bukan orientasi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Itu terbukti dengan beberapa kontroversi, dari rencana membangun gedung DPR sebesar Rp 2,7 trliun, membangun polisi parlemen Rp 800 triliun, rumah aspirasi daerah, meningkatkan tunjangan gaji, mobil dinas mewah, dan alokasi dana aspirasi.
Keenam, secara umum fungsi pengawasan DPR atas pelaksanaan anggaran pemerintah masih lemah. Hal itu terlihat dari tidak adanya pengawasan terhadap penyerapan anggaran pemerintah yang rendah. Terakhir, tambah Apung, ada potensi anggota DPR makan gaji buta dari uang rakyat karena bolos sehingga target legislasi tidak tercapai. “Fungsi legislasi dan pengawasan DPR mandul,” tandasnya.
Karena itu, Fitra menuntut DPR intropeksi diri dalam menjalankan kinerja penganggaran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. DPR juga harus memaksimalkan penggunaan anggaran secara benar agar tidak terjadi pemborosan dan makan gaji buta. Fitra menantang DPR untuk menggunakan e-budgeting. Hal ini untuk menghindari anggaran-anggaran yang tidak wajar, tidak transparan, dan akuntabel.