Sabtu, Oktober 5, 2024

Kebijakan Jokowi soal Penaikan Tarif Listrik Blunder

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Pekerja memperbaiki jaringan listrik yang kelebihan beban di kawasan pemukiman di jalan Diponegoro, Batu, Jawa Timur, Selasa (8/9). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Pekerja memperbaiki jaringan listrik yang kelebihan beban di kawasan Jalan Diponegoro, Batu, Jawa Timur, Selasa (8/9). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla bersikukuh akan mencabut subsidi energi bagi masyarakat di sektor ketanagalistrikan. Pada 1 Januari 2016, pemerintah akan mencabut subsidi listrik untuk 23 juta pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere (VA) dan 900 VA.

Ekonom Universitas Gadjah Mada Tarli Nugroho mengatakan, jika rencana ini benar-benar terealisasi, maka di tengah kelesuan ekonomi tahun depan, pemerintah kembali membuat blunder kebijakan yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat.

“Pemerintah sepertinya lupa, tergerusnya daya beli masyarakat merupakan salah satu dari tiga faktor internal yang telah memperlemah perekonomian kita, di luar faktor perlambatan ekonomi dunia,” kata Tarli di Jakarta, Kamis (29/10).

Menurut dia, pencabutan berbagai subsidi untuk rakyat, terutama subsidi energi (BBM, gas, dan listrik), telah memukul daya beli masyarakat. Itu yang telah menyebabkan konsumsi sektor rumah tangga hanya tumbuh 4,9 persen. Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi.

“Rendahnya angka inflasi dalam satu tahun terakhir bukanlah indikator yang menggembirakan, karena di baliknya ada faktor penurunan daya beli masyarakat tadi,” ujar Tarli.

Dia juga menilai, apa gunanya proyek listrik 35 ribu MW jika rakyat kecil tak punya daya beli. Alih-alih merancang kebijakan yang bisa merangsang daya beli rakyat kecil, pemerintah malah sibuk menarik subsidi dan merilis kebijakan yang semakin menekan daya beli mereka. “Dan ironisnya itu semua dilakukan ketika pemerintah mengobral banyak sekali fasilitas untuk para pemilik modal,” ungkapnya.

Hal serupa diungkapkan Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dia mengatakan rencana pemerintah mengonversi pengguna listrik 450-900 VA menjadi penggunan listrik nonsubsidi 1.300 VA,  jika tidak mengantongi kartu miskin atau masuk golongan rentan miskin.

“Kebijakan ini harus ditolak, apabila hanya berkedok terselubung bagi pemerintah dan PT PLN untuk menerapkan tarif listrik berdasarkan mekanimse pasar,” katanya.

Konsep tarif seperti ini, tambah Tulus, sangat propasar dan tidak menjadikan kepentingan publik sebagai dasar kebijakan. Tapi kepentingan pasar yang diutamakan. Secara ekstrem, ini bisa menjadi tarif yang inkonstitusional karena peran negara tidak ada dalam sektor energi.

Tulus mengatakan, jika pun pemerintah memaksakan naik tarif tersebut, itu harus dilakukan secara bertahap. Hal itu untuk menekan anggaran subsidi listrik tahun depan. Menurutnya, kebijakan ini lebih efektif karena penghematan subsidi akan signifikan dan tidak memberatkan masyarakat pengguna 450-900 VA.

Memang, tambah dia, menaikkan tarif 450-900 VA cukup rasional karena tarif golongan ini belum pernah disesuaikan sejak tahun 2003. YLKI menyarankan pemerintah bisa menggratiskan konsumsi listrik masyarakat miskin dan masuk pelanggan 450 VA. Akan tetapi tetap memberikan batasan maksimum pemakaian kwh per bulannya.

“Konsep seperti ini bisa di contoh di Afrika Selatan. Mereka menggratiskan listrik pada rumah tangga miskin jika pemakaiannya kurang dari 30 kwh per bulan. Kelebihan dari 30 kwh akan dikenakan tarif progresif,” ujar Tulus.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.