Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan 141 badan usaha milik negara memiliki laba yang tertahan sebesar Rp 656 triliun hingga 31 November 2014. Meski memiliki laba besar, BUMN tetap menahan laba dengan alasan akan melakukan ekspansi bisnis yang lebih besar. Akan tetapi dalam pengelolaannya, BUMN tidak melaksanakan secara transparan.
“BUMN tidak punya sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan laba yang tertahan,” kata Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto di Jakarta, Selasa (10/11). “Itu dibuktikan dengan tidak adanya peta jalan Kementerian BUMN soal arah perusahaan tersebut.”
Dia menjelaskan, sampai saat ini pengembangan bisnis perusahaan negara tidak jelas, mulai dari rencana ekspansi sampai keuntungan perusahaan secara menyeluruh tidak ada. Akan tetapi, Dewan Perwakilan Rakyat selalu memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN tanpa mengevaluasi rencana kinerja mereka.
Dalam 8 bulan, contohnya, DPR telah menyetujui PMN kepada BUMN sebesar Rp 103 triliun. Tapi, perusahaan pelat merah itu tidak dibebani dengan sistem yang transparan dan akuntabilitas dalam mengelola dana PMN tersebut. Dengan dana PNM yang besar seharusnya diiringi dengan tanggung jawab yang besar juga.
Selain itu, Fitra menilai pengelolaan BUMN masih belum sesuai dengan Nawa Cita dan menjadi soko guru ekonomi nasional. Soko guru ekonomi nasional adalah BUMN sebagai pilar atau penyangga utama dalam sistem perekonomian nasional. Keberadaannya pun diharapkan dapat banyak berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Fitra juga menegaskan, selama ini pengelolaan BUMN tidak berdasakan peta jalan (road map) kemandirian ekonomi dan tidak berorientasi untuk mendukung peningkatan pendapatan negara (PNBP). Bahkan PMN belum berdampak signifikan terhadap pendapatan nasional.
Saat ditanya adanya pertemuan anggota DPR dan Menteri BUMN Rini Soemarno di parlemen, Yenny menjelaskan pertemuan itu bukan membahas dan memaparkan rencana ekspansi BUMN. “Benar ada pemaparan di DPR, tapi kalau ditanya peta jalan Kementerian BUMN secara detail tidak ada. DPR seharusnya mempertanyakan hal ini. Sistemnya sudah transparan atau belum, arahnya sesuai tidak dengan Nawa Cita Jokowi,” katanya.
Tak hanya itu, ada 2.000 kasus temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2009-2012 yang merugikan negara sekitar Rp 125 triliun. Dari Rp 125 triliun itu, yang dikembalikan ke negara Rp 5 triliun pada 2013. Sisanya kita tidak ketahui. Seharusnya, tambah Yenny, DPR memanggil Kementerian BUMN dan meminta klarifikasi soal kerugian itu. “BPK selalu melakukan audit BUMN, tapi DPR tidak menindaklanjut audit tersebut.”
Karena itu, Fitra mendesak Presiden Joko Widodo memperbaiki tata kelola BUMN secara benar dan transparan. Bahkan Yenny menyarakan agar pemerintah membatalkan PMN dalam APBN 2016 karena dinilai kurang tepat. Alasannya tidak ada jaminan karena sistem transparansi dan akuntabilitas belum terbangun.