Oleh Fadli Ramadhanil*
Instrumen hukum untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah telah direvisi. Untuk beberapa hal, hasil revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 patut diapresiasi. Sayang ada satu bagian penting yang terlupakan DPR dan pemerintah terkait penegakan hukum pemilihan kepala daerah.
Jika dikerucutkan ke hal yang lebih spesifik, penanganan pelanggaran pidana pada pilkada nanti masih merujuk ketentuan yang disalin ulang dari proses Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.
Padahal, ketika itu banyak pelanggaran pidana pemilu yang penanganannya sulit diketahui karena peran Sentra Gabungan Hukum Terpadu (Gakumdu) tidak efektif. Tanpa adanya evaluasi mendalam terhadap konsep ini, para pembentuk UU justru menyalin utuh desain tersebut ke dalam penanganan pelanggaran pidana dalam pemilihan kepala daerah nanti.
Ada beberapa persoalan pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 yang dapat terulang pada penanganan laporan pelanggaran pidana pilkada nanti. Pertama, dalam penentuan apakah suatu laporan pelanggaran memenuhi kualifikasi tindak pidana atau tidak, pengawas pemilu harus berdebat panjang dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Hal ini diakui komisioner Badan Pengawas Pemilu dalam evaluasi penanganan pelanggaran pemilu dan persiapan penyelenggaraan pilkada. Penyebabnya pemahaman yang berbeda terkait regulasi penegakan hukum pemilu antarlembaga (pengawas pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan).
Perdebatan di tingkat pengawas pemilu dapat dinilai sebagai hal yang mubazir. Sebab, penentuan apakah laporan yang masuk ke Sentra Gakumdu dinilai sebagai pelanggaran atau tidak, otoritasnya ada di pengawas pemilu. Lagi pula, setelah pengawas pemilu menyatakan laporan yang masuk adalah pelanggaran pidana pemilu, maka laporan tersebut akan diteruskan ke Kepolisian.
Setelah laporan sampai di Kepolisian, proses pemeriksaan dimulai lagi dari awal. Memanggil pelapor dan saksi, menilai alat bukti, dan tindakan penyidikan lain. Ini proses yang sudah dilakukan pengawas pemilu di tingkat Sentra Gakumdu. Karena itu, kesalahpahaman terhadap penanganan pelanggaran ini mesti diluruskan.
Penunjukan orang dari Kepolisian dan Kejaksaan untuk duduk di Sentra Gakumdu juga mesti diperbaiki. Melihat mandat UU Nomor 8 Tahun 2015, sinergi kerja antara pengawas pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan diatur dalam peraturan bersama tiga lembaga tersebut. Namun, yang terjadi selama ini penyidik Kepolisian dan Kejaksaan yang bertugas di Sentra Gakumdu cenderung berganti-ganti.
Inilah salah satu penyebab sinergitas kerja tiga lembaga di Sentra Gakumdu sulit terwujud. Dari sini pula kecenderungan kesalahpahaman dan perbedaan tafsir atas ketentuan pidana pemilu terjadi.
Untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, hal yang harus dibenahi adalah pengisian dan penempatan penyidik Kepolisian dan Kejaksaan yang akan bertugas di Sentra Gakumdu.
Dalam peraturan bersama antara pengawas pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan, perlu diatur tegas bahwa selama tahapan pelaksanaan pilkada, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan tak akan berganti-ganti hingga tahapan pilkada selesai. Ini untuk menghindari tumpang tindih pemahaman tentang pelanggaran pidana dalam penyelenggaraan pilkada.
Kedua, penanganan pelanggaran pidana pemilu, seluruh administrasi pelaporan, penyidikan oleh Kepolisian, dan penuntutan oleh Kejaksaan, dilakukan di bawah “atap” yang sama, Sentra Gakumdu, yang sekretariatnya ada di pengawas pemilu
Gagasan ini harus didahului penunjukan penyidik oleh tiap institusi penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) yang akan bertugas di Sentra Gakumdu. Kualifikasi penyidik harus ditentukan dari awal. Lebih penting lagi, orang yang ditunjuk adalah yang akan terus menggawangi penegakan hukum selama tahapan pilkada. Setidaknya tahapan pilkada akan berlangsung enam bulan.
Langkah ini akan memacu efektivitas dan sinergitas tiga lembaga yang bertanggung jawab menegakkan hukum pidana pada pilkada. Kuncinya pada pembaruan peraturan bersama antartiga lembaga ini. Jika mau lebih maju, pengaturan mekanisme penanganan pelanggaran pidana yang diperbarui ini bisa dimasukkan dalam peraturan Bawaslu mengenai penanganan pelanggaran pilkada.
Jika “wajah baru” Sentra Gakumdu ini berhasil ditampilkan, pembenahan proses penegakan hukum dalam pemilu setidaknya mulai memperlihatkan titik terang. Namun, jika terjadi sebaliknya, masa depan penegakan hukum pemilu di Indonesia makin sulit diharapkan.
*Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi