Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menilai masih sering terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan pihak kepolisian dalam proses penangkapan dan interogasi korban akibat tidak maksimalnya pengawasan internal.
“Kita melihat ada ruang pengawasan yang tidak optimal dalam institusi kepolisian, baik melalui medium Profesi dan Pengamanan atau propam, maupun institusi eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,” kata Koordinator Kontras, Haris Azhar di Jakarta, Kamis (2/7).
Selain itu, ketidakmandirian Kompolnas dapat dilihat pada proses suksesi Kapolri 2015 dengan memaksakan nama Komjen (Pol) Budi Waseso pada putaran pemilihan Calon Kapolri 2015. Saat itu Waseso telah melakukan penangkapan sewenang-wenang pada kasus penangkapan Bambang Widjajanto.
Ke depan, kata Haris, akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi Polri. Utamanya dalam membangun reputasi kelembagaan dan memulihkan rasa kepercayaan publik akan bertumpu pada seberapa jauh akuntabilitas internal bisa diwujudkan dari hulu ke hilir.
Untuk itu, KontraS akan memberikan 5 proyeksi yang diharapkan bisa membantu progresivitas polri untuk menjadi institusi keamanan terdepan dan bisa diandalkan. Pertama, Polri akan menghadapi tahun politik pasca 2014, ketika Pemilukada akan berlangsung serentak pada Desember 2015, 2016 dan 2017. Tantangannya adalah Polri bisa memastikan bahwa suksesi politik lokal tidak akan dipenuhi dengan praktik kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan aktor negara maupun aktor non-negara.
Kedua, pembenahan akuntabilitas internal adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan Polri. Hadirnya banyak Peraturan Kapolri yang mengatur tugas pokok dan fungsi anggota Polri yang begitu luas harus mendapatkan ruang evaluasi optimal. Dalam hal ini Propam Lembaga Pendidikan Kepolisian adalah kunci penting untuk memastikan bahwa Polri memiliki personel yang profesional dan handal menjalankan tugas.
Ketiga, Polri harus pula mengevaluasi model sanksi administratif yang kerap dijadikan medan impunitas oleh para pelaku berlatar belakang institusi ini. Ruang etik internal harus bisa memastikan bahwa ada mekanisme yang bisa ditempuh secara transparan oleh para korban untuk mencari keadilan.
Kemudian keempat, kata Haris, soal agenda bisnis dan keamanan, terdapat tren yang cenderung menguat bahwa Polri masih terlibat pada agenda beking perusahaan-perusahaan untuk jasa keamanan. KontraS menilai bahwa ruang evaluasi harus bisa dihadirkan efektif, utamanya menggunakan mekanisme vetting, menyelidiki latar belakang seseorang sebagai alat ukur untuk setiap personel Polri yang terlibat pada kejahatan pidana dan pelanggaran HAM.
“Terakhir, penguatan mekanisme pengawasan juga menjadi tulang punggung peningkatan kualitas institusi Polri. Segala rekomendasi yang diberikan baik oleh Kompolnas, ORI, Komnas HAM, LPSK harus ditindaklanjuti dengan transparansi,” kata Haris.[*]