Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada mengatakan kesehatan reproduksi pengungsi perempuan sering diabaikan dalam situasi konflik dan bencana. “Kesehatan reproduksi dianggap tidak mendesak. Penanganan kesehatan lebih kepada korban yang mengalami luka,” ujar Basilica Dyah Putranti dalam keterangan resmi di Yogyakarta, Sabtu (11/7).
Persoalan yang sering ditemukan dalam kondisi bencana antara lain ancaman tindak kekerasan seksual, penyebaran penyakit menular seksual serta kelahiran berisiko. “Hal ini terjadi di hampir seluruh pengungsian. Dinas kesehatan setempat kurang paham dan peduli terhadap persoalan kesehatan reproduksi di kalangan pengungsi,” tambahnya.
United Nations Population Fund (UNFPA), badan internasional dalam kesetaraan hak mencatat dalam situasi bencana 25% korban pengungsi di Indonesia merupakan perempuan di usia subur. Selain itu sekitar 20% perempuan mengalami permasalahan dalam kehamilannya. Hanya sekitar 4% yang sedang hamil dalam kondisi sehat. Kebersihan serta asupan gizi yang tidak memadai menjadi penyebabnya.
Selain itu, tenaga kesehatan ahli mengenai kesehatan reproduksi ini tidak banyak berada di pengungsian. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kekurangan tenaga kesehatan menjadi salah satu masalah yang paling sering ditemui saat bencana. Tenaga relawan yang sering berada di pengungsian dianggap tidak banyak membantu. Hanya sebesar 20% relawan di pengungsian yang telah terlatih oleh BNPB. Tenaga relawan hanya sebatas membantu urusan operasional tidak hanya sampai kepada penanganan kesehatan.
Penanganan kesehatan bagi ibu diperlukan mengingat berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial sebanyak 25 juta jiwa di Indonesia masuk ke dalam kategori rentan dalam situasi bencana. Kategori rentan tersebut yaitu bayi, anak-anak, penyandang disabilitas, lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
Banyaknya penduduk Indonesia yang rentan terhadap bencana mendesak pemerintah lebih mempersiapkan diri dalam penanganan bencana alam. Indonesia sendiri memiliki 279 titik rawan bencana seperti gempa, banjir dan kebakaran. Persiapan pengungsian dapat dilakukan di berbagai titik rawan bencana seperti cadangan air bersih, kesiapan dapur umum yang sehat serta pasokan obat-obatan.[*]