Kebijakan kepemilikan properti oleh warga negara asing membutuhkan antisipasi agar mencegah kenaikan harga. Ketua Umum Real Estate Indonesia, Eddy Hussy memaparkan perlu adanya regulasi mengenai tata ruang. “Perlu adanya pembagian antara wilayah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta kawasan bisnis,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (8/7).
Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda. “Perlu regulasi pembatasan berdasarkan zonasi untuk kota-kota besar atau tujuan wisata misalnya Jakarta dan Bali,” ujarnya dalam keterangan resmi. Dengan adanya zonasi tersebut dapat menekan risiko kenaikan harga properti yang dapat merugikan masyarakat khususnya ekonomi menengah ke bawah. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum, masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang tidak mampu membeli rumah sendiri adalah masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 4 juta per bulan.
Pemerintah juga perlu menyadari bahwa dengan dibukanya kepemilikan asing, penerimaan pajak akan bertambah. Meskipun menurut IPW, penerimaannya bertambah secara signifikan. Pemerintah perlu memikirkan mekanisme aliran dana pajak tersebut. Pertambahan pajak dapat dipergunakan untuk penyediaan rumah murah. Hal tersebut dapat terjadi jika ada mekanisme yang jelas.
Menurut Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum, alokasi anggaran untuk sektor perumahan sebesar 0,1% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding negara-negara di Asia seperti Thailan dengan 2,21% dan Filipina dengan 0,31%. Hal ini mengakibatkan Indonesia mengalami kekurangan 15 juta rumah pada 2014.
Persiapan regulasi tersebut dibutuhkan mengingat membuka kesempatan kepemilikan asing akan memicu harga properti makin tidak terkendali. Data dari Konsultan Properti Cushman & Wakefield Indonesia menunjukkan kenaikan harga properti di Indonesia sepanjang tiga tahun terakhir mencapai 120%. Kenaikan harga properti tersebut juga bukan merupakan permintaan nyata melainkan hanya kenaikan semu.[*]