Mirah Sumirat, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menilai kebijakan baru mengenai pencairan dana Jaminan Hari Tua merupakan cermin orientasi dari pejabat di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga kerja dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurutnya, penyusunan Peraturan Pemerintah tentang penentuan besaran 10% tanpa melibatkan serikat pekerja. Seperti dana tersebut milik sendiri, ini akibat mental pejabat yang cendrung dilayani bukan melayani.
“Padahal yang dikelola dana amanat milik pekerja,” ungakpnya melalui keterangan resmi di Jakarta, kemarin.
Asosiasi Serikat Pekerja menyebutkan, terbitnya Peraturan Pemerintah tentang pencairan dana Jaminan Hari Tua yang hanya dapat dilakukan setalah masa kepesertaan 10 tahun dan bisa diambil 10%, sisanya diambil setelah berumur 56 tahun, membuktikan bahwa penyusunan PP khususnya tidak memahami kondisi pekerja yang menjadi pemilik dana amanat yang sesungguhnya.
Dalam penyusunan PP Jaminan Hari Tua ini mengabaikan hak pekerja karena jika merujuk kepada UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya pasal 3 ayat 3 tidak ada ketentuan tentang pembatasan 10% pencairan dana JHT.
Atas dasar tersebut, Asosiasi Serikat Pekerja kembali menyuarakan pencopotan Menteri Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan setalah penerbitan PP No 46/2015 terkait program Jaminan Hari Tua yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Berdasarkan informasi Asosiasi Serikat Pekerja, pada Triwulan pertama 2015, total dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 195,35 triliun, sedangkan hasil perolehan investasi tahun 2013 mencapai Rp 15 triliun.
“Seharusnya pekerja diberitahu hasil pencapaian ini dan seluruh hasil perolehan investasi dikembalikan kepada peserta dalam bentuk dana pengembangan. Hal ini harusnya dilakukan secara transparan,” ungkapnya.
Mirah mengingatkan pentingnya pengawasan dilakukan oleh semua pihak khususnya serikat pekerja karena pekerja adalah pemilik dana amanat yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Jangan sampai terulang lagi skandal Jamsostek pada tahun 2005, yang kasusnya berawal dari tindakan investasi pembelian surat utang jangka menengah total senilai Rp311 miliar, yang dilakukan oleh Direksi PT Jamsostek secara melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Ribka Tjiptaning, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi IX, merasa diintimidasi dengan cara berpikir Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menyoal aturan pencairan JHT yang terlalu lama itu. Menurut Ribka, cara berpikir mereka tidak menyentuh langsung masalah buruh.
Di sisi lain, Ribka tetap ingin kembali pada aturan lama tanpa rencana revisi sampai masa reses Komisi IX berakhir. Dia berharap agar kementerian terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR terkait revisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT.
“Memang itu kewenangan pemerintah PP, Kepmen, itu kita tahu, kalau Undang-undang dengan DPR. Tapi paling enggak konsultatif, terus uji publik dulu, jangan tiba-tiba itu jadi keputusan,” ungkapnya.[*]