
Kasus perkosaan dalam pernikahan terjadi di Denpasar, Bali. Pengadilan Negeri Denpasar akhirnya memenjarakan suami pelaku pemerkosaan dalam pernikahan dengan masa kurungan 5 bulan karena telah memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seks dalam keadaan sakit. Kasus yang sama juga terjadi di Jawa Timur pada tahun 2012, ketika seorang suami yang memaksa istrinya untuk melakukan hungan seksual di hutan yang akhirnya dipenjara selama 15 bulan.
Perkosaan dalam pernikahan menurut Komnas Perempuan yakni pemaksaan untuk berhubungan seksual tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Selama kasus perkosaan dalam pernikahan terjadi di Indonesia, jarang sekali korban yang melaporkannya ke pihak berwenang. Padahal, pemaksaan seksual termasuk ke dalam tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal ini juga sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selain itu, hasil riset dari Women Crisis Center Cahaya Perempuan Bengkulu juga mengungkapkan, perkosaan dalam pernikahan sangat berpengaruh kepada tingginya kehamilan yang tidak diinginkan, kekerasan dalam rumah tangga serta aborsi.
Laporan dari Australian Consortium For In Country Indonesian Studies pada 2013 juga mencatat, kasus aborsi di Indonesia terjadi sebanyak 43% aborsi per 100 kelahiran hidup. Dari hasil penelitian itu juga menunjukan, bahwa praktik aborsi dilakukan paling banyak oleh perempuan di perkotaan sebanyak 78% dan perempuan di pedesaan sebanyak 40%.
Adapun, penyebab perkosaan dalam pernikahan terjadi karena pemahaman perempuan terhadap perkosaan dalam pernikahan yang masih minim. Menurut direktur WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, Tety Sumeri pada Jumat (17/4), banyak perempuan dalam kondisi ini tidak memahami jika mereka sudah menjadi korban pemerkosaan dalam rumah tangga.
Sementara, data dari laman resmi Komnas Perempuan juga menyebutkan, pemahaman yang berkembang dalam hubungan rumah tangga selama ini adalah hubungan seksual yang merupakan kewajiban seorang istri. Maka dari itu, istri tidak bisa menolak ketika suami meminta untuk berhubungan seksual dalam keadaan dan cara apapun. Pemahaman tersebut juga dinilai diakibatkan oleh budaya dan interpretasi agama yang menempatkan perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya. [*]