Boleh dibilang saya penggemar berat dengan karya Pramoedya Ananta Toer. Hampir beberapa karya Pram sudah saya baca dan semuanya mengundang saya untuk terus berkelana dan menukik lebih dalam gagasan berpikir Pram.
Melalui karyanya, Pram telah menyuguhkan sebuah bacaan yang tidak hanya menarik tetapi melahirkan rasa kemanusiaan bagi siapa saja yang membaca karyanya. Pertama sekali membaca karya Pram, ada perasaan kikuk dalam diri saya selepas membaca pemikiran Pram. Dengan bacaan yang disuguhkan dalam sebuah novel, saya bisa menangkap bahwa inti sari dari gagasan Pram selalu bermuara pada rasa kemanusiaan.
Pramoedya dengan karyanya menempatkan kemanusiaan sebagai sesuatu hal yang dijunjung, dimaknai, dan dilakukan. Dengan melihat semua karyanya, meskipun saya baru membaca beberapa karyanya, saya memahami perhatian besar Pram terhadap kemanusiaan sungguh luar biasa. Kalau tidak lebih saya mengatakan, Pram lewat karyanya adalah seorang pejuang HAM yang bersuara lewat sebuah karya gemilang yaitu buku-bukunya.
Dari sana kita memahami bagaimana Pram menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat. Nilai kemanusiaan itulah yang bagi saya menjadi nilai pembeda antara Pram dengan para novelis yang lain. Di sini saya menemukan pemikiran tentang kemanusiaan yang terdapat dalam diri Pramoedya menjadikannya seorang yang harus dipelajari oleh siapapun yang ingin memahami bagaimana kemanusiaan itu harus ditegakkan.
Kalau boleh jujur, saya baru pertama kali menjelajah alam pikiran Pram ketika menjadi mahasiswa. Dengan latar belakang saya dari kampung yang tentu masih minim dengan bacaan, tentu mengenal Pram lewat karyanya merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi saya. Ada perasaan malu yang muncul disaat saya baru pertama kali membaca karya Pram. Malu terhadap sosok Pram dan terutama diri sendiri karena disaat menjadi mahasiswa baru bisa mengenal sosok Pram.
Sementara sumbangsih pemikiran Pram bagi kemajuan Indonesia terutama bagi kemanusiaan sangat besar. Pram dengan sadar meyakini bahwa kemajuan di masa mendatang tidak akan terwujud apabila kemanusiaan dieliminasi dari diri manusia. Kemanusiaan menurut Pram harus diletakkan diatas segalanya dan menjadikannya sebagai kiblat bagi negara dalam mewujudkan kesejahteraan.
Dari sinilah muara gagasan Pram harus menjadi basis diwujudkannya kehidupan manusia yang selalu menjadikan kemanusiaan sebagai nilai utama. Karena itu membaca Pramoedya tidak serta-merta dilakukan hanya untuk mengenal sosok Pram sebagai novelis gemilang. Tetapi jauh dari itu, bagi saya membaca Pram harus dimulai dan diakhiri dengan cara kita menempatkan kemanusiaan seperti Pram menempatkan kemanusiaan lewat karya-karyanya.
Keseriusan Kita
Mengutip apa yang dikatakan Njoto, Kita harus selalu belajar sebagai murid kecil, dengan rendah hati belajar dari mereka-mereka yang mendahului kita, belajar dari para sahabat, dan yang terpenting belajar selalu dari massa, berguru kepada massa.
Kalimat ini sebenarnya ingin mempertegas keseriusan kita untuk belajar dari masa dan tokoh-tokoh yang berperan dalam setiap massa. Pertanyaannya, apakah kita sampai saat ini betul-betul dan serius mempelajari itu? Bukankah kita justeru menjadi bangsa yang mudah lupa diri terhadap semua itu? Di sinilah kedua pertanyaan itu hadir untuk kembali menyadarkan kita ditengah merebaknya kesadaran kita untuk belajar menghargai tokoh-tokoh yang berperan dalam setiap massa untuk mengusahakan terwujudnya bangsa yang mandiri dan berkeadaban.
Pengalaman pribadi saya ketika menjadi siswa, keseriusan untuk memperkenalkan Pramoedya kepada siswa sangat kurang bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali. Sekolah seakan turut mendukung diberangusnya pemikiran Pram dengan ketidakseriusan menghadirkan buku-buku Pram di dalam lingkungan akademik.
Kita tahu bagaimana karya Pram (meskipun tidak semuanya) di masa Orde Baru diberangus dan dilarang diedarkan. Misalkan buku Bumi Manusia (1980), bagian pertama tetralogi Buru dilarang Jaksa Agung, 1981. Buku Anak Semua Bangsa (1981), bagian kedua tetralogi Buru dilarang Jaksa Agung 1981. Buku Rumah Kaca, bagian ke empat tetralogi Buru, 1988 dilarang Jaksa Agung 1988. Dan masih banyak lagi karya Pram yang didalamnya dilarang untuk diterbitkan.
Saya sendiri tidak memahami mengapa beberapa bagian dalam karya Pram dilarang untuk diterbitkan dan diedarkan. Seolah membaca karya Pram merupakan sebuah masalah besar yang akan menghancurkan negara di masa depan. Bahkan saya sempat berpikir, bagaimana sejarah dapat kita luruskan kebenarannya jika kebenaran yang seharusnya bisa kita pahami malah dilarang diterbitkan dan diedarkan. Kebenaran akan sejarah menjadi buram dan mengalami pembelokan terhadap generasi bangsa di kemudian hari.
Meminjam ungkapan Josef Goebbles (Menteri Propaganda Nazi), dusta dan kebohongan yang di ulang-ulang di berbagai tempat dan kesempatan akan menjadi sebuah kebenaran. Seolah keributan yang terjadi selama ini tentang nasionalis merupakan buah dari ketidakseriusan kita mengungkap kebenaran sejarah secara jernih tetapi malah kebohongan yang kita suarakan agar menjadi kebenaran.
Tetapi terlepas dari beragam sudut pandang saya, seharusnya pengenalan terhadap sosok Pram kepada siswa di sekolah dapat kita galakan. Hal ini sangat penting bagi kemajuan bangsa di kemudian hari. Karena biar bagaimanapun, karya Pram merupakan suatu karya yang menyuguhkan tentang kemanusiaan.
Pada titik ini, saya yakin generasi kita di masa mendatang akan lebih mengutamakan sisi kemanusiaan bagi terwujudnya bangsa yang mewariskan nilai kemanusiaan. Mempelajari gagasan Pram melalui buku-bukunya kita akan semakin menyadarkan diri untuk terus mengupayakan kemanusiaan utamanya HAM sebagai landasan utama dalam negara.
Tetapi jika kita membiarkan diri dalam ketidaktahuan serta bersikap masa bodoh terhadap semua itu (terutama karya Pram), saya yakin kemanusiaan yang akan kita usahakan sulit tercapai. Malah yang ada kita justeru terlibat dalam bentuk kekerasan yang mengeliminasi kemanusiaan orang lain sebagai manusia yang berhak untuk hidup. Di sana setiap orang mulai berlaku kejam terhadap orang lain karena tidak menyadarkan kemanusiaan sebagai nilai dasar bagi terbentuknya kesatuan. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes, bellum contra omnes.
Pram dan Kemanusiaan
Sampai di titik ini, saya telah sedikit menemukan intisari dari gagasan berpikir Pram yang selalu berkutat pada rasa kemanusiaan. Pramoedya menghadirkan karya gemilang yang selalu menyelipkan rasa kemanusiaan bagi siapapun yang membaca karyanya. Melalui pembacaan tersirat, dalamnya Pram menekankan bahwa kemanusiaan haruslah menjadi basis bagi negara.
Negara dan warga negara merupakan tonggak yang membentuk kemanusiaan itu terlaksana dengan baik. Jika kedua elemen tersebut menjauh dari kemanusiaan, disana kita akan menemukan kemanusiaan telah menjadi garam yang merusak masakan yang telah lezat. Tetapi Pram berharap bahwa negara dan warga negara betul-betul sigap untuk merawat kemanusiaan.
Pada akhirnya, karya Pram merupakan sesuatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Meskipun Pram telah pergi, karyanya akan tetap hidup dalam sanubari orang-orang yang dengan tekun membaca setiap kata, kalimat dan utamanya gagasan tentang kemanusiaan yang diwartakan Pram. Terima kasih Pramoedya.