Tempo hari, alumni beberapa perguruan tinggi mendeklarasikan dukungan kepada calon presiden Jokowi. Belakangan mucul pesaing mereka mendeklarasikan dukungan pada Prabowo Subianto.
Fenomena dukung-mendukung dari alumni kampus itu sungguh menyedihkan. Alih-alih menguji para kandidat dengan pertanyaan tajam, lulusan kampus justru merendahkan diri menjadi sekadar pemandu-sorak (cheerleaders) politisi idola.
Orang-orang terpelajar bertanggungjawab atas kualitas kampanye pemilihan. Dengan menguji, mereka mendorong kandidat untuk lebih akuntabel dan transparan: bukan cuma umbar janji, asal ngomong dan bicara slogan abstrak.
Para kandidat juga akan dicegah dan diingatkan untuk tidak memakai sentimen emosional yang membelah serta rawan konflik.
Tapi, sayang sekali, itu tak terjadi. Para alumni kampus justru ikut membakar emosi dalam iklim pemilihan yang makin terpolarisasi.
Dalam dua pemilihan kita hanya punya dua calon untuk dipilih: Jokowi dan Prabowo. Fenomena itu memunculkan cara berpikir biner (binary): kalau tidak ini pastilah itu. Kalau tidak pro-Jokowi pastilah pro-Prabowo. Dan sebaliknya.
Bahkan kritik atau pujian terhadap pemerintah akan dipandang punya motif politik jangka pendek: Anda pro-petahana (yang memerintah) atau oposisi.
Either you are with us, or against us. Kalau kau tidak berdiri di pihakku, kau pasti musuhku, dan harus menjadi musuhku.
Kekeliruan logika (logical fallacy) itu mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Dan makin kuat menuju pemilihan mendatang.
Dalam persaingan yang kian sengit: kedua pihak memanfaatkan slogan yang makin sophisticated. Yang satu memakai dalih mulia agama (calon pilihan ulama), yang lain memakai dalih mulia menyelamatkan demokrasi dari kediktatoran (anti-Orde Baru).
Tapi, jargon palsu itu hanya membuat logical fallacy tadi menjadi makin kuat dan terlembaga. Pemilihan umum, yang tujuannya hanya sesederhana memilih pengelola negara, diglorifikasi sebagai Padang Kurusetra, tempat Pandawa (ksatria) versus Kurawa (durjana) bertarung hidup-mati dalam Perang Baratayuda.
Mudah-mudahan konflik terbuka dan berdarah bisa dihindari. Tapi, kebiasaan berpikir biner jelas sudah mempersempit alam berpikir kita.
Negeri kita menghadapi tantangan besar: ketimpangan, kerusakan alam baik di darat maupun laut, lemahnya produksi pertanian, ketergantungan berlebihan pada impor, bencana demografi (ketika 38% balita menderita stunting), lemahnya modal sosial.
Riuh rendah kampanye sendiri sudah menyita terlalu banyak perhatian sehingga kita kehilangan energi dan perhatian untuk mendiskusikan tantangan yang lebih fundamental tadi.
Bahkan jika mengerahkan seluruh energi kreatif dan imajinasi yang bagus kita masih akan terengah-engah untuk menghadapi berbagai masalah fundamental tadi. Apalagi jika kita mempersempit diri dengan berpikir simpistis, pilih A atau B, hampir di segala kesempatan.
Kita terbiasa berpikir biner bahkan ketika bicara sistem: mengkritik sistem demokrasi disebut anti-demokrasi, seolah demokrasi itu benda mati yang sudah selesai.
Kebiasaan berpikir biner mempersempit pilihan kita dalam berbagai hal, termasuk dalam kebijakan publik, yang mencegah kita mengeksplorasi alternatif-alternatif solusi baru yang mendesak kita temukan.
Kita memerlukan politik. Tapi, politik yang substansial pada dasarnya adalah merumuskan kebijakan publik. Dan dalam kebijakan publik, satu atau dua aktor (Jokowi atau Prabowo) hanya instrumen. Kita membutuhkan sistem yang sehat.
Demokrasi membutuhkan partisipasi. Tapi, partisipasi politik yang hakiki ada dalam kehidupan sehari-hari, bukan datang ke bilik suara lima tahun sekali. Dan bukan deklarasi dukungan pada politisi idola.
Politik adalah instrumen merumuskan dan mewujudkan kebijakan publik yang sehat sesuai ideal kita bersama (konstitusi). Kita memerlukan politik yang sehat untuk membenahi berbagai soal fundamental. Tapi, ketika terlalu terpaku perhatian pada Jokowi-Prabowo membuat kita melupakan rapuhnya sistem politik kita, tidak hanya di pusat tapi juga hingga pelosok desa-desa.
Tugas intelektual lulusan kampus adalah memperluas pilihan dan mengoreksi sistem dengan menelisik akar masalah, bukan terpukau pada daun dan ranting. *