Warga Kota Bandung kembali disuguhkan kosmetika infrastuktur berupa skywalk yang berada di Jalan Cihampelas. Skywalk merupakan bagian dari infrastruktur mobilitas publik dari skema manajemen transportasi perkotaan. Lazimnya, skywalk dibuat untuk menghubungkan dua gedung tinggi seperti di Minneapolis Skyway System, atau satu titik transportasi ke titik lainnya seperti di Mumbai Skywalk Project, atau untuk kepentingan turisme ekstrim seperti di Grand Canyon.
Namun, skywalk yang dibuat di Bandung tidak merujuk pada skywalk seperti diutarakan di atas. Begitu juga dengan dasar perencanaan kota dan urgensi kebutuhan infrastruktur (warga) kotanya. Skywalk ini memiliki panjang 450 meter dari total 675 meter panjang ruas Jalan Cihampelas yang lebarnya sejajar dengan lebar ruas jalan di bawahnya dan ditopang oleh 44 tiang pondasi.
Keberadaannya di tengah-tengah Jalan Cihampelas dan berhadapan langsung dengan kawasan komersial Cihampelas Walk membuat saya bertanya-tanya: Skywalk ini untuk apa dan siapa? Apabila merujuk Rencana Strategis Kecamatan Coblong, skywalk ini sama sekali tidak termaktub di dalamnya, pun di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) kota. Jadi, pembangunan skywalk ini dasarnya apa?
Pembangunan skywalk menghabiskan dana pemerintah kota sebesar Rp 48 miliar dengan harga 1 tiang pondasi skywalk sebesar Rp 1,09 miliar. Awalnya, beredar rumor bahwa skywalk ini merupakan solusi untuk memindahkan 192 pedagang kaki lima (PKL) yang berada di sepanjang Jalan Cihampelas. Tapi apakah perlu Rp 48 miliar untuk memindahkan PKL? itu sangat boros.
Dalih lainnya adalah untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) berupa taman gantung sebagai tambahan layanan infrastruktur yang ditengarai dapat menaikkan digit indeks kebahagiaan warga kota. Nyatanya, skywalk ini menjadi mubazir, karena Cihampelas tidak membutuhkannya jika hanya untuk relokasi PKL dan kebutuhan orang untuk mendapatkan hak berjalannya berupa trotoar. Di samping itu, keberadaannya juga sama sekali tidak menyelesaikan masalah transportasi.
Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung sekaligus inisiator skywalk bisa saja mengintruksikan bangunan-bangunan komersial di sepanjang Cihampelas guna menyediakan lahan untuk trotoar dan wilayah sempadan jalan.
Jika tujuannya pembenahan, maka dua program revitalisasi yang seharusnya terjadi. Pertama, revitalisasi jalan dan trotoar. Kedua, revitalisasi pasar pakaian jins yang apik untuk citra kota. Jadi, skywalk tidak perlu ada dan pemotongan ranting-ranting dan akar pohon tidak perlu terjadi. Pembenahan semacam ini pernah dilakukan di sepanjang Orchard Road, Singapura, dan tidak akan menghabiskan anggran publik sebesar Rp 48 miliar.
Apabila memang sudah keburu napsu ingin membangun skywalk, maka akan lebih fungsional dan pantas jika membuatnya di persimpangan-persimpangan jalan yang memiliki tingkat intensitas laju kendaraan tinggi, sehingga sulit orang untuk menyebrang, seperti di persimpangan Jalan Soekarno Hatta dan Kiara Condong (Samsat).
Tetapi, memang kawasan tersebut bukan kawasan turisme. Maka mungkin akan jarang sekali ada orang yang sengaja jalan kaki panas-panasan untuk swafoto (selfie) di situ. Di samping itu, kawasan ini berada di daerah Bandung Selatan yang selalu menjadi anak tiri pembangunan (cantik) kota Bandung sejak era kolonial hingga sekarang ini.
Pemilihan sepotong Jalan Cihampelas ini harus saya akui bukan tanpa perhitungan. Berada di daerah Bandung Utara, lokasi turisme, berdampingan langsung dengan Mall Cihampelas Walk, ditunjang banyaknya pepohonan yang cocok untuk selfie dan menunjang indeks kebahagiaan warga kota, ia dapat berkontribusi melestarikan citra Bandung sebagai Paris van Java dengan mooi indie-nya.
Bentuk desain fisik dari skywalk ini berupa infrastruktur arsitektural gigantis, di mana ke-44 tiang pancangnya berada di antara pohon yang berdiameter antara 1-1,5 meter, dengan ketinggian antara 10-15 meter, serta radius kedalaman dan penyebaran akarnya berada 4-7 meter di dalam tanah.
Ketika tiang-tiang pancang ini ditanam dengan sistem Cor Pile Cup menggunakan tiang besi tipe H, maka kedalaman dan radius pondasi akan bersinggungan dengan akar-akar pohon tadi dan pemotongan akar pun tak terhindarkan. Jadi, bisa dibayangkan risiko pohon tumbang di sepanjang jalan tersebut akibat daya cengkram akarnya yang berkurang. Selain itu, dengan ketinggian skywalk mencapai 4,6 meter, maka ranting-ranting pohon yang menghalanginya juga harus dipangkas.
Mempertimbangkan fakta bahwa skywalk ini dibangun menggunakan besi tipe H terbuka, dapat dipastikan daya tahan skywalk tidak akan mencapai lebih dari 25 tahun, bahkan bisa jadi di bawah 20 tahun, mengingat sifat korosifnya. Hal ini didukung oleh kelembaban tinggi di Jalan Cihampelas yang termasuk ke dalam wilayah dataran tinggi Bandung.
Belum lagi jika melihat bagaimana kawasan ini termasuk dalam daerah rawan bencana patahan lembang yang pola pergerakan tanahnya tidak dapat diprediksi. Karenanya, saya semakin heran, untuk kepentingan apa dan siapa pembangunan skywalk berisiko tinggi ini tetap “keukeuh” dikerjakan?
Kita bisa belajar dari pembangunan trotoar cantik di Jalan Dago yang dampaknya mengganggu daya cengkram pohon-pohon damar di sekitarnya, sehingga pihak Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Pertanahan, dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung harus memangkas ranting dan memperkuat akar pohon. Satu masalah ditutupi dengan masalah yang lain.
Apakah nantinya hal ini juga akan diberlakukan kepada skywalk Cihampelas atau jangan-jangan lebih parah dari itu. Karena dianggap berbahaya, bukan tidak mungkin pohon-pohon di sekitar skywalk tersebut akan ditebang.
Merujuk Undang-Undang Nomor 26/2007, 30% dari total luas kota dengan 20% merupakan RTH harus disediakan oleh Pemda atau Pemkot yang sesuai dengan RTRW Kota Bandung 2011-2031. Pemerintah Kota Bandung menargetkan perluasan taman dalam skala yang signifikan dengan target penyediaan taman sebesar 15,92% dari wilayah Kota pada tahun 2030.
Jangan-jangan, skywalk ini dirancang untuk pemenuhan target tersebut! Dan hal ini menjadi logika yang sesat pikir.
Permasalahan lain muncul. Seperti layaknya sesuatu yang cantik dan baru, maka ia akan dikerubuti massa. Namun, di sepanjang kawasan skywalk ini tidak ada lahan parkir formal yang memadai, kecuali lahan parkir milik toko-toko dan mal Cihampelas Walk. Akhirnya, bermunculan parkiran liar terutama dekat tangga naiknya yang juga menjadi penyebab kemacetan baru.
Secara struktur, fasilitas umum ini memang bermasalah. Jalan masuk skywalk yang hanya berupa tangga dengan kemiringan cukup tajam dan hanya berada di ujung-ujung skywalk sering terhambat, walaupun di bagian tengah terdapat lift. Tidak ada toilet umum. Fasilitas yang disediakan untuk PKL juga jauh dari kesan cukup, mengingat hanya berupa kios dengan ukuran 1,5 m x 2 m yang terpisah-pisah antara satu kios dengan kios lainnya.
Di sini dapat dilihat, bagaimana relokasi PKL di atas skywalk telah melupakan unsur dasar dari keberadaan PKL, yaitu ruang sosial bersama. Selain itu, tampak pembuat kebijakan juga tidak memperhitungkan volume atau variasi barang dagangan mereka secara serius.
Kios-kios ini juga disewakan dengan mekanisme pasar dan sewaktu-waktu dapat berpindah tangan kepada yang mampu menyewanya. Skenario relokasi PKL untuk berada di atas skywalk adalah pemaksaan atas nama estetika yang tidak mempertimbangkan unsur-unsur vital terkait keberlangsungan hidup para pedagang.
Pembangunan skywalk dengan anggaran besar ini telah dengan terang benderang mengabaikan ekologi ruang, daya dukung lingkungan, kapasitas jalan, serta fungsinya sebagai sebuah skywalk. Akhirnya, ia hanya menjadi kosmetik kota yang mencoba menjiplak modernitas kota-kota di luar negeri hanya untuk kebutuhan leisure, selfie, citra kota, serta pemuas narsisme penguasa kota.