Selasa, Oktober 8, 2024

NUKLIR SERPONG (2)

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform dan pakar energi di Thamrin School on Climate Change and Sustainability, Jakarta
Ilustrasi/shutterstock
Ilustrasi/shutterstock

Membongkar Mitos PLTN Murah

Biaya pembangunan PLTN di Indonesia masih jauh dari kepastian. Salah satu sebabnya adalah tidak terbukanya pemerintah dalam menyampaikan rencana PLTN kepada publik. Juga tak ada akses publik terhadap kajian-kajian teknis dan ekonomis yang dilakukan BATAN dan instansi lain untuk mendukung rencana pembangunan PLTN.
Informasi soal berapa sebenarnya biaya PLTN masih simpang siur. Kajian yang dilakukan BATAN tahun 2001 memperkirakan biaya investasi senilai US$ 2 miliar untuk membangun 1.000 MW PLTN dengan teknologi yang diklaim sudah terbukti.

Pada saat itu teknologi PLTN yang beredar dan beroperasi adalah berbagai tipe PLTN generasi 2 dan 3. Studi Kelayakan PLTN yang dibuat Medco Energi International dengan produsen listrik dari Korea Selatan, KHNP serta Kepco, menggunakan biaya konstruksi US$ 3 miliar untuk 2 x 1.000 MW dengan teknologi OPR1000.

Berdasarkan nilai tersebut, pada tahun 2008 BATAN menyatakan kebutuhan investasi membangun 6.000 MW PLTN yang rencananya mulai dibangun pada 2012 dan beroperasi pada 2017 hingga 2025 sebesar US$8 miliar.

Dalam artikel di Jakarta Post edisi 5 Desember 2011, Kepala Penelitian di BATAN mengutip biaya pembangunan PLTN di Vietnam US$ 2,1 miliar, dengan biaya pembangkitan lisrik US$ 9,66 cent/kWh untuk menjelaskan biaya investasi PLTN di Indonesia.

Kajian yang dilakukan PT PLN , dengan menggunakan jasa konsultan dari luar negeri pada tahun 2014, menyatakan biaya investasi PLTN sekitar US$ 6.000 per kWh atau US$ 6 miliar untuk satu unit 1.000 MW. Informasi studi kelayakan yang dilakukan BATAN tahun 2010-2012 untuk PLTN di Bangka Belitung menggunakan asumsi overnight cost $ 3.500/kW.

Pada November 2014 perusahaan Rusia Rosatom menawarkan PLTN kepada Indonesia. Diperkirakan biaya-biaya investasi untuk 2 unit PLTN dengan total 2.400 MW sebesar US$ 8 miliar atau sekitar $ 3.350/kW. Sangat mungkin teknologi yang ditawarkan adalah VVER-1200/AES-2006 seperti direncanakan dipakai oleh Vietnam dan Turki, yang ternyata mengalami eskalasi biaya investasi 2 hingga 3 kali lipat.

Pada 2014 lalu BATAN juga menyatakan sedang merancanakan membangun PLTN skala kecil yang dikemas dengan sebuat reaktor daya eksperimen 10 hingga 30 MW dengan teknologi high temperatur gas reactor. Lokasinya di kawasan Serpong yang tendernya dilakukan pada 2017 dan rencana konstruksi pada 2019 dengan nilai investasi Rp 1,6 triliun.

Dasar perhitungan nilai investasi yang disampaikan BATAN tak diketahui. Hingga saat ini, selain satu reaktor eksperimen untuk kategori high temperatur reactor, yaitu HTR-10, yang sudah dibangun di Cina dan operasional pada 2007, belum ada reaktor lain yang beroperasi.

Tidak jelas juga apakah biaya tersebut sudah termasuk biaya studi kelayakan, kajian lingkungan, dan pengembangan teknologi serta interkoneksi.

Ketentuan keselamatan dalam beraktifitas di lingkungan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong, Jawa Barat. BATAN/safety procedure
Ketentuan keselamatan dalam beraktifitas di lingkungan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong, Jawa Barat. BATAN/safety procedure

Energi Nuklir Murah?

Sejak awal teknologi nuklir dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, keekonomian PLTN ditentukan oleh insentif, subisidi, dan proteksi yang diberikan pemerintah, serta kebijakan untuk mengomersilkan riset-riset militer untuk aplikasi sipil seusai Perang Dunia II. PLTN bisa berkembang di negara-negara yang sekarang ini masuk dalam nuclear club karena didukung konsteks politik global dan regional di setiap masa.

Konteks politik global tersebut antara lain persaingan Amerika dan Rusia saat Perang Dingin sejak 1950 hingga akhir 1980-an dan lonjakan harga minyak dunia (oil boom) pada 1972/1973 dan 1978. Selain itu, pilihan strategi penyediaan energi bagi negara-negara yang tak punya sumber daya alam (misalnya Korea Selatan, Jepang) serta dinamika politik regional serta keinginan mengembangkan senjata nuklir (misalnya, India, Pakistan, Iran).

Maraknya tawaran PLTN oleh para vendor teknologi ini ke negara-negara baru di Asia dan Timur Tengah yang dimulai sejak awal 2000, sepertinya tak lepas dari lesunya pasar reaktor nuklir di negara-negara nuclear club dan adanya kebutuhan untuk mendapatkan pengembalian investasi atas riset dan pengembangan teknologi PLTN generasi baru yang memakan waktu beberapa dekade.

Sejumlah reaktor nuklir generasi 3+ yang saat ini dipasarkan di Eropa, Timur Tengah, dan Asia adalah hasil riset sejak 1970-an yang didanai pemerintah dan industri nuklir. Maka, tidaklah heran jika ada semacam relaksasi penjualan teknologi PLTN kepada negara-negara berkembang. Isu proliferasi senjata nuklir tak lagi menjadi ganjalan untuk menjual teknologi nuklir. Perlakuan negara-negara pemilik teknologi PLTN ini berbeda ketika negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, dan Iran mulai mengembangkan PLTN pada dekade 1960-an dan 1970-an.

Berbagai studi kasus proyek PLTN menunjukkan PLTN tak pernah menjadi teknologi yang murah. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk setiap unit PLTN sangat mahal, 4 hingga 5 kali lipat dibandingkan dengan pembangkit batu bara yang terbaru. Bahkan masih lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan seperti photovoltaic dan angin.

Biaya operasi pembangkit yang diklaim murah dan yang menjadi alasan PLTN kompetitif sesungguhnya tak selaras dengan kenyataan. Berbagai perusahaan listrik di seluruh dunia yang mengoperasikan PLTN menghadapi kenaikan biaya operasi karena kenaikan biaya perawatan, bahan bakar, dan peningkatan fitur keamanan yang dituntut oleh regulator.

Biaya investasi dan operasi PLTN di sejumlah negara, seperti Cina, tidak diketahui secara pasti karena kelangkaan informasi dan kebijakan subsidi pemerintah Cina. Karena itu, tidak diketahui secara pasti apakah PLTN di Cina beroperasi secara efisien dan kompetitif.

Dalam perhitungan keekonomian PLTN, biaya pengolahan limbah, penutupan, pembongkaran, dan penyimpanan limbah secara permanen sering kali tak masuk dalam perhitungan. Di banyak negara, biaya pengolahan limbah nuklir dan penyimpanan jangka panjang kerap ditanggung pemerintah yang tentunya akan membebani anggaran negara.

Demikian juga biaya akibat kecelakaan nuklir yang ditanggung perusahaan asuransi dan negara, seperti dalam kasus Chernobyl dan Fukushima (lihat Nuklir Serpong 3).

Publik di Indonesia harus sadar bahwa keputusan membangun PLTN memiliki konsekuensi jangka panjang sejak mulai dibangun jauh hingga PLTN tak lagi beroperasi. Selain harga listrik yang tidak murah saat PLTN beroperasi, masyarakat harus siap menanggung biaya penyimpanan limbah nuklir yang berusia ratusan hingga ribuan tahun, serta biaya untuk mengatasi dampak bencana nuklir jika terjadi.

Dampak dan konsekuensi dari pilihan membangun PLTN tak hanya berhenti pada generasi yang menikmati listrik dari energi nuklir, tetapi juga puluhan–bahkan ratusan–generasi sesudah kita. Siapkah masyarakat Indonesia?

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform dan pakar energi di Thamrin School on Climate Change and Sustainability, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.