Freeport memang hampir tak pernah sepi dari pemberitaan di negeri ini. Setelah heboh kasus “papa minta saham” yang berakhir dengan antiklimaks, pemberitaan tentang Freeport bukannya mengendor tapi justru makin menonjol. Selain soal CEO PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, yang tampak mendadak mengundurkan diri, urun rembug berbagai pihak atas nasib Freeport di Indonesia juga tak surut.
Salah satu yang mutakhir adalah pendapat mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Ia menuliskan artikel yang bisa diunduh melalui http://www.jpnn.com/read/2016/01/18/351304/Serbasulit-untuk-Freeport-yang-Serbaberat- dan artikel itu beredar luas di media sosial.
Pada artikel tersebut, ada banyak butir-butir pemikiran yang bisa direnungkan oleh mereka yang berkepentingan untuk mengambil keputusan soal nasib pertambangan Freeport di negeri ini. Namun, di dalam artikel tersebut juga terdapat berbagai hal yang kurang tepat. Tulisan ini hendak menunjukkan berbagai hal yang kurang tepat itu, dan memberikan koreksinya agar publik bisa mengetahui kondisi Freeport dengan lebih baik.
Hal pertama yang kurang tepat adalah data produksi minyak Plains Company yang dibeli oleh Freeport McMoRan. Dahlan menyatakan perusahaan tersebut menghasilkan 300 juta barel minyak/hari, bahkan potensi produksinya bisa lebih dari 2 miliar barel/hari. Mereka yang bertungkus lumus dalam industri migas pasti tahu bahwa data ini mustahil. Sebagai perbandingan, AS adalah negara penghasil minyak terbesar di dunia, dengan total produksi di bawah 14 juta barel/hari, disusul Arab Saudi yang produksi mutakhirnya sekitar 11,6 juta barel/hari.
Tak ada satu pun perusahaan migas yang bisa menghasilkan 300 juta barel/hari seperti dinyatakan DahIan. Data International Energy Agency (IEA) sendiri menyatakan, konsumsi per tahun minyak kini mencapai sekitar 35 miliar barel/tahun, alias kurang dari 100 juta barel/hari.
Kalau kemudian data internal Plains Company kita rujuk, maka akan ditemukan bahwa di tahun 2008 mereka menyatakan cadangan terbukti yang mereka miliki adalah 292 juta barel, dengan potensi total 2,2 miliar barel. Rupanya data inilah yang secara kurang tepat diterjemahkan menjadi produksi per hari.
Kedua, Dahlan tampaknya terjebak dengan istilah yang—entah mengapa—terus-menerus dipergunakan oleh banyak pejabat di negeri ini, yaitu perpanjangan kontrak pertambangan. Dahlan, dan para pejabat itu, seakan tidak menyadari bahwa rezim Kontrak Karya sudah berakhir sejak Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) diundangkan pada tahun 2009.
Freeport, atau pemegang KK mana pun, hanya akan bisa beroperasi setelah KK-nya berakhir, kalau mereka diberi izin baru, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tentu izin tersebut harus diurus oleh Freeport, lalu pemerintah menimbangnya dengan mengacu pada kinerjanya selama ini dan rencana kerja di masa mendatang.
Tetapi, hal itu disandarkan pada asumsi bahwa para anggota parlemen kita di Senayan tidak tiba-tiba “masuk angin”, mengembalikan lagi rezim KK ke dalam revisi UU Minerba, yang mengagetkan banyak pihak karena tiba-tiba nongol, masuk ke Prolegnas 2016. Melihat kemunculannya yang tiba-tiba, tak aneh bila banyak pihak yang berprasangka bahwa itu sebetulnya adalah cara anggota parlemen untuk membuka ruang negosiasi dengan para pemegang KK, termasuk Freeport. Bisa jadi revisi UU Minerba dilandasi motivasi, salah satunya untuk menyukseskan upaya “papa minta saham” yang keburu ketahuan.
Siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tertanggal 10 Juni 2015 sendiri menyatakan, Freeport telah menyetujui perubahan dari KK menjadi IUPK. Seperti dinyatakan di situ, “Pada hari ini, Pihak PTFI merespon permintaan pemerintah dan menyatakan persetujuan untuk merubah [sic!] pola hubungan kerja dari Kontrak Karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus. Persetujuan ini merupakan milestone penting, yang memberi jalan keluar bagi percepatan keputusan tentang kelanjutan operasi PT Freeport Indonesia.”
UU Minerba menyatakan berakhirnya KK, dan Freeport sendiri telah menyatakan persetujuannya. Entah mengapa, banyak pejabat Indonesia yang masih bicara “perpanjangan kontrak”.
Ketiga, James Moffett alias Jim Bob tidak mundur karena menyerah, seperti ditulis Dahlan. Seluruh pemberitaan sangat jelas menyatakan bahwa investor (minoritas) Carl Icahn berada di balik gerakan melengserkan Jim Bob. Alasan atau dalih yang dipakai adalah kesalahan keputusan investasi, terutama terkait dengan bisnis minyak. Akibat dari kesalahan tersebut, harga saham Freeport melorot terus hingga kini hanya berharga sekitar US$6 per lembar. Sepanjang tahun 2015 saja harganya turun sekitar 68%.
Seluruh dunia tahu bahwa di level global terdapat kecenderungan untuk menjauh dari bisnis minyak, yang semakin volatil harganya, dengan kecenderungan turun. Dan, buat kebanyakan perusahaan minyak (kecuali di Timur Tengah), harga US$75 per barel sudah bikin repot, lantaran ongkos produksinya saja bisa mencapai di atas US$50 per barel. Inggris, misalnya, membutuhkan US$52,5.
Secara teoretis keputusan Jim Bob untuk melebarkan portofolio itu sebenarnya benar. Lantaran harga mineral yang cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir, maka dibutuhkan diversifikasi untuk bisa mengurangi tekanan. Tapi, melebarkan usaha ke bisnis minyak itulah yang tak bisa diampuni.
Carl Icahn—tentunya didukung oleh anggota board dan pemegang saham yang lain—akhirnya bisa mendongkel Jim Bob. Icahn sendiri adalah pemegang saham terbesar, dengan 88 juta lembar pada akhir Agustus 2015. Namun, jumlah itu hanya setara dengan 8,5% total saham, sehingga tanpa dukungan pemangku kepentingan internal yang lain, sulit sekali baginya mendongkel Jim Bob.
Terakhir, Dahlan bilang, ”Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100% milik Indonesia. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki 10 persen sahamnya.” Pernyataan itu tidak tepat dalam dua hal. Pertama, soal perpanjangan kontrak itu, yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam regulasi yang berlaku sekarang tidak dikenal perpanjangan kontrak. Kedua, kalau Indonesia—siapa pun itu—tidak membeli saham PTFI, maka tidak akan pernah bisa memilikinya.
Apa yang akan terjadi kalau pada tahun 2021 Freeport tak diberi izin untuk menambang adalah bahan tambang yang masih ada di wilayah konsesi PTFI akan dikembalikan ke Indonesia. Sebetulnya, dari sudut pandang yang lebih ketat, sebelum ditambang, mineral yang ada di dalam perut bumi itu sama sekali bukan milik Freeport, melainkan dikuasai oleh negara. Jadi, istilah “kembali” juga tidak begitu tepat.
Bagaimanapun, salah satu hal paling rumit dalam persoalan Freeport mungkin disebabkan oleh regulasi Indonesia sendiri. Sesuai regulasi, keputusan soal operasi pasca-2021 itu baru bisa ditimbang mulai 2019. Itu adalah ketentuan yang tidak disandarkan pada perhitungan bisnis yang masuk akal. Periode dua tahun terlampau pendek untuk bisa mempersiapkan investasi berjangka panjang.
Apalagi, dalam situasi yang dihadapi Freeport, juga terkait dengan tambahan investasi sedikitnya US$2,2 miliar untuk pembangunan smelter. Itu kalau hendak dibangun di Jawa, dan akan jauh lebih mahal lagi bila harus dibangun, misalnya, di Papua. Siapa pun akan menyatakan bahwa tak masuk akal Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo memaksa Freeport membangun smelter sekarang, dan baru akan selesai dan beroperasi beberapa tahun lagi, tanpa jaminan bahwa pasca-2021 mereka bisa menambang terus.
Pendeknya, investasi sebesar itu tentu perlu periode pengembalian yang panjang. Maka, sangat wajar bila Freeport menginginkan semacam kepastian sebelum mencurahkan sumberdaya finansial untuk itu.
Pemerintah Indonesia agaknya perlu berhitung dengan cermat segala kemungkinan yang tersedia, termasuk kemungkinan dengan dan tanpa Freeport. Manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia adalah panduan tertinggi, sesuai amanat konstitusi. Kalau regulasi di bawah konstitusi ternyata malah menjadi penghalang terwujudnya amanat konstitusional itu, sebaiknya pemerintah legowo untuk merevisinya.