Sampai sekarang saya tidak pernah berhenti berharap, semoga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat memaafkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan menarik kembali sikap keagamaannya terhadap Ahok. Sikap yang lapang dada dan mengedepankan spirit rekonsiliasi sebenarnya bisa ditempuh untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, bahkan juga untuk kepentingan solidaritas sesama Muslim.
Dalam beberapa dialog di televisi dan komentar, saya melihat keanehan. Kenapa sebagian ulama yang punya posisi penting di MUI selalu mendesak Ahok agar dihukum atas nama keadilan? Apakah menghukum hanya satu-satunya jalan menuju keadilan? Padahal para ulama di masa lalu mengajarkan kepada kita, dan ini juga pesan Rasulullah SAW, bahwa kesalahan dalam memaafkan akan lebih baik daripada kesalahan dalam memberi vonis (al-khatha’ fi al-‘afw khayrun min al-khatha’ fi al-‘uqubat).
Saya melihat sikap Ahmad Syafii Maarif, yang akrab disapa Buya Syafii, yang memilih untuk menyimpulkan Ahok tidak menista al-Qur’an sebenarnya sebagai pintu masuk bagi MUI untuk membuka jalan baru bagi rekonsiliasi nasional. Saya tahu betul Buya sangat mencintai negeri ini dan berharap Pancasila dapat diterapkan dalam memecahkan masalah Ahok. Jalan menuju rekonsiliasi masih terbuka selama ada kelapangdadaan MUI.
Imam Syafii mengajarkan kepada kita dua cara pandang dalam melihat sebuah persoalan, termasuk dalam melihat persoalan Ahok. Pertama, kita bisa menggunakan cara pandang penuh kebencian (‘ayn al-sukht), seperti yang sekarang meluas. Ahok harus ditangkap. Ahok harus dihukum dan seterusnya.
Kata Imam Syafii, cara pandang penuh kebencian itu akan memecah belah persatuan dan menumbuhkan perseteruan. Dan sekarang sudah terbukti, bahwa cara pandang ini telah memecah belah persahabatan dan keharmonisan kita sebagai bangsa. Bahkan, sesama Muslim pun kita saling menghujat dan menebarkan ancaman.
Maka, Imam Syafii mengajak kita untuk memilih cara pandang yang kedua, yaitu cara pandang yang penuh ketulusan (‘ayn al-ridla). Cara pandang ini yang digunakan oleh Buya Syafii, yang namanya juga mirip dengan Imam Syafii. Menurut Imam Syafii, cara pandang yang penuh ketulusan akan melihat aib atau kesalahan semakin tumpul. Jalan maaf akan dibuka lebar. Ahok memang bermulut besar, tapi ia tak harus dinyatakan menghina al-Qur’an dan ulama.
Nah, sejujurnya, ketulusan inilah yang hilang di Republik ini. Semua terhanyut dalam amarah, bahkan di luar batas kemanusiaan. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa orang yang kuat sebenarnya bukan yang kuat saat berseteru, melainkan orang yang bisa menahan dirinya dari amarah.
Menurut saya, sikap Buya Syafii ibarat hujan di tengah panasnya bumi politik di negeri ini. Ia berani menjadi lilin yang menyinari gelapnya awan politik negeri ini. Ia mengingatkan kita semua untuk membuka “hati nurani” dan memilih jalan yang dianjurkan Allah SWT di dalam al-Qur’an, hendaknya dakwah dengan bijak, tutur kata yang santun, dan menggunakan debat yang konstruktif (QS al-Nahl: 125).
Bahkan setahu saya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menjadikan ayat tersebut sebagai ayat di dalam Mukaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama agar para ulama NU senantiasa menggunakan dakwah yang bijak, tutur kata yang santun, dan menggunakan debat yang konstruktif. NU harus selalu berada dalam jalur moderasi Islam, bukan mendukung kelompok ekstremis.
Karena itu, saya berpandangan, jika MUI mau memaafkan Ahok, mencabut sikap keagamaannya dan meminta seluruh pihak untuk merajut kembali kebersamaan, serta mengikuti demokrasi secara damai, maka sikap MUI akan dikenang sepanjang masa sebagai pengawal Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. MUI akan dicatat dengan tinta emas sebagai garda terdepan menyuarakan moderasi Islam.
Kembali ke tema dasar tulisan ini, kenapa memaafkan ini penting? Bagaimana sebenarnya Islam menghukum orang yang dianggap menodai agama?
Izinkan saya mengutip pandangan ulama Ahmadiyah, Khalid Saifullah Khan. Dalam tulisannya, What is the Punishment for Blasphemy in Islam?, Saifullah Khan memberikan penjelasan yang sangat menarik, yang sejatinya dapat menjadi rujukan para ulama di negeri ini dalam mengambil sikap terhadap orang yang diduga menodai agama. Bahkan, tulisan tersebut secara implisit ingin menjelaskan sebaiknya negara-negara mayoritas Muslim menghapus undang-undang tentang penodaan agama.
Menurut Saifullah Khan, penodaan agama merupakan perbuatan yang tidak terpuji, baik secara moral maupun etik. Tetapi, tidak ada seseorang pun yang berhak mengadili penodaan agama. Yang berhak mengadili penodaan terhadap agama hanya Allah SWT. (Mirza Taher Ahmad: Islam’s Response to Contemporary Issues).
Selanjutnya, Saifullah Khan merujuk pada surat al-Azhab ayat 57-59. Di dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan orang-orang yang kerap melecehkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Tetapi hanya Allah SWT yang akan menghukum mereka.
Di dalam surat al-Nisa ayat 140, Allah SWT berpesan, jika ada seseorang yang sedang melecehkan ayat-ayat suci, hendaklah kita tidak duduk dengan mereka, mengindahkan omongan mereka, sehingga mereka mengalihkan pembicaraan pada tema yang lain. Ini akhlak yang diajarkan al-Qur’an.
Kita akan menemukan begitu banyak penodaan agama, sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur’an dan Hadist, tetapi Allah SWT sendiri yang akan menghukum para pelaku penodaan agama. Bahkan Rasulullah SAW memberikan contoh yang sangat baik saat dilecehkan langsung oleh orang Yahudi.
Pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan bersama istrinya, Siti Aisyah. Lalu, di tengah perjalanan ada seorang Yahudi yang menghina Nabi dengan ungkapan “laknat bagi kamu, wahai Muhammad”. Siti Aisyah sebagai istri tercinta langsung membalas pelecehan orang Yahudi itu dengan ungkapan serupa, “laknat bagimu wahai Yahudi”. Tapi kemudian Rasulullah SAW menegur Aisyah, “Hendaklah kamu penuh kasih sayang dan bersikap lemah-lembut dalam segala perkara.”
Itulah akhlak Rasulullah yang dicontohkan kepada kita semua. Membela Islam, al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW, dan ulama, tidak selalu dengan cara-cara penuh emosi, apalagi penuh ancaman dan kebencian. Kita bisa mencontoh Rasulullah SAW yang selalu memaafkan musuh-musuhnya. Ia membalas hujatan dengan cinta.
Maka, sekali lagi, saya masih berharap agar MUI dapat memaafkan Ahok, mencabut kembali sikap keagamaan dan merajut kembali harmoni di negeri ini. Hari-hari ini kata “memaafkan” sangat mahal harganya. Tidak bisa dibeli dengan apa pun. Ia hanya bisa diungkapkan oleh mereka yang berhati besar, tulus, dan mencintai negeri ini sebagai anugerah Tuhan.