Sosok siapa yang disukai rakyat dan kemudian terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah dalam lima tahun terakhir mengalami pergeseran, bahkan perubahan yang radikal. Jika di masa Orde Baru yang menjadi bupati, wali kota atau gubernur kebanyakan merupakan sosok drop-dropan dari atas, kini yang terjadi justru sebaliknya.
Calon pemimpin dari daerah yang berani mengadu nasib bertarung di level yang lebih tinggi, ternyata tidak sedikit yang mendulang kesuksesan. Keberhasilan pasangan Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Wakilnya, dan bahkan Jokowi melanjutkan keberhasilannya hingga menjadi Presiden RI, bagaimanapun telah mengubah konstruksi politik tentang siapa sebetulnya yang paling pantas menjadi pemimpin politik di masa kini dan masa depan.
Bayangkan, Joko Widodo yang hanya Wali Kota Solo kini bisa sukses terpilih menjadi Presiden RI. Adapun Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dulu berasal dari Bupati Belitung Timur kini dikenal luas sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sukses.
Berbagai survei dan jajak pendapat menyebutkan elektabilitas Ahok hingga saat ini masih paling tinggi bila dibandingkan dengan beberapa nama lain yang disebut-sebut juga bakal maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Mereka itu antara lain pengusaha Sandiaga Uno, mantan pejabat dan politisi Yusril Ihza Mahendra, mantan menteri Adhyaksa Dault, anggota DPRD Jakarta Abraham Lunggana alias Haji Lulung, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Bu Risma.
Di antara sekian banyak nama yang beredar, Risma adalah salah satu kandidat kuat yang konon bakal digadang-gadang PDI Perjuangan untuk bertarung melawan popularitas Ahok. Meski sejak awal Risma sudah menemui Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan telah menyatakan menolak tawaran di Pilkada DKI Jakarta melawan Ahok tahun 2017 nanti, ternyata tidak sedikit pihak yang tetap berharap Risma mau bertarung di DKI Jakarta.
Apakah benar Risma akan bertarung melawan Ahok? Seberapa jauh peluang Risma bisa memenangkan pertarungan di Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti tentu hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun demikian, sebagai orang luar, kita sebetulnya bisa menimbang-nimbang seberapa jauh sebenarnya peluang Risma di Pilkada DKI Jakarta.
Menurut kalkulasi politis, siapa pun pihak yang memenangkan persaingan menuju DKI Jakarta I, biasanya tergantung pada dukungan dana, kreativitas dalam merancang strategi kampanye, dan rekam jejak sang calon sebelumnya. Antara Risma dan Ahok tentu memiliki nilai plus dan minus sendiri-sendiri. Keduanya dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan bahkan tak segan marah-marah ketika melihat hal-hal yang dinilai tidak beres. Yang pasti ini perang bintang.
Ahok dikenal sebagai pemimpin yang pemberani, tak segan melawan konstruksi politis yang menempatkan partai politik sebagai pendukung utama kesuksesan dalam pilkada dengan maju melalui jalur independen. Sementara itu, Risma juga dikenal sebagai pemimpin daerah yang sering bertindak apa adanya, dan bersikap nothing to lose yang menyebabkan banyak pihak justru bersimpati pada Risma.
Kelemahan Ahok maupun Risma justru mungkin terletak pada loyalitas anak buahnya di jajaran birokrasi. Dengan sikap tegas dan terkadang keras, Ahok dan Risma memang berhasil memacu kinerja aparatur birokrasi menjadi lebih transparan dan profesional, serta lebih sejahtera. Tetapi, jangan lupa bahwa di balik sikap anak buah atau jajarannya yang senantiasa berusaha mengikuti irama kerja Ahok maupun Risma, bukan tidak mungkin ada sebagian anak buahnya yang diam-diam kurang ikhlas, karena kehilangan sebagian privilege-nya.
Baik di Jakarta maupun Surabaya bisa dipastikan akan ada barisan sakit hati di sebagian aparatur birokrasi karena tidak bisa mengikuti irama dan tuntutan kerja pemimpin daerah mereka masing-masing. Gaya kepemimpinan Ahok yang temperamental dan gaya Risma yang menekan anak buahnya untuk selalu bekerja keras, niscaya akan melahirkan resistensi terselubung yang diam-diam justru menunggu datangnya pemimpin baru yang diharapkan lebih santai, yang tidak menuntut aparatur birokrasi selalu siap dan sigap melayani masyarakat.
Siapa yang bakal memenangkan pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 sungguh tidak mudah untuk ditebak. Menurut saya, Ahok dan Risma adalah dua sosok yang sama-sama kuat dan memiliki nilai lebih tersendiri untuk meraup dukungan massa.
Di luar persoalan kapasitas pribadi masing-masing, faktor kuat yang kemungkinan akan menentukan adalah pada citra keduanya di mata masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, kita bisa melihat bahwa calon-calon pemimpin yang bisa merebut hati rakyat umumnya bukan sekadar karena populer, tetapi juga karena dalam konstruksi massa dia adalah calon pemimpin yang dipersepsi sebagai korban situasi.
Seorang calon pemimpin yang digadang-gadang dan digambarkan sebagai sosok yang superior, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang yang bisa merugikan dirinya sendiri. Sebaliknya, seorang calon yang dikonstruksi sebagai sosok yang serba inferior, menjadi korban diskriminasi, dan senantiasa dikuyo-kuyo, justru jangan kaget jika malah menuai simpati massa.
Saat ini, semua tampaknya yang terpenting adalah tergantung pada dukungan media dan kecerdikan tim sukses masing-masing untuk mengkonstruksi dan merekonstruksi citra kandidatnya masing-masing. Dengan posisi Ahok yang terus-menerus dikeroyok para pesaingnya dari berbagai penjuru, rasa-rasanya justru hal itu malah akan mendongkrak popularitasnya di mata para pemilih di Pikada DKI Jakarta nanti.
Sementara itu, jika Risma bisa menyalip di tikungan dan tim suksesnya mampu merancang strategi kampanye yang tepat, jangan-jangan sikap nothing to lose Risma-lah yang membuat ia berpeluang menaklukkan Jakarta. Siapa tahu?