Malam itu Robert Snodgrass bak seorang pahlawan bagi kubu West Ham United lantaran ia berhasil menceploskan bola ke gawang Sheffield United yang tengah unggul 1-0 hingga menit ke-92. Semua bersorak, satu poin di depan mata, terutama mereka yang tengah away sedari London menuju Yorkshire yang berjarak cukup jauh. Pun David Moyes yang belum terkalahkan semenjak datang kembali menangani West Ham bersorak, meloncat dan meninju langit beberapa kali.
Dean Henderson, kiper Sheffield United pun bangkit dengan cepat, melihat kawan-kawannya yang berdiri menatapnya dengan lemas. Dalam perayaan gol detik akhir The Irons, julukan West Ham, Stadiun Bramall Lane pun bergemuruh: “VAR! VAR! VAR!” pihak tuan rumah menyuarakan agar wasit memeriksa gol tersebut menggunakan video assistant referee (berikutnya VAR).
Bak kado tahun baru, Michael Oliver yang bertugas sebagai pengadil lapangan saat itu pun merestui teriakan tersebut. Bramall Lane menjadi senyap, semua pemain menunggu Oliver yang memeriksa proses gol menggunakan VAR cukup lama. Hingga akhirnya ia menuju ke lapangan dan mengatakan bahwa bola terlebih dahulu mengenai tangan Declan Rice dalam melakukan build-up serangan.
Para pemain The Irons tertunduk lesu, peluit akhir berbunyi setelahnya. Ketika ditanya siapa aktor utama dalam laga tersebut, jawabannya lagi-lagi VAR!
Sebenarnya bukan kali itu saja VAR melakukan sebuah ‘dosa’ bernama hilangnya keseruan menonton sepakbola. Lawatan Man. City menuju Anfield pun serupa. Bola yang mengenai tangan bek Liverpool, tidak ada tindakan pemeriksaan menggunakan VAR. Sampai-sampai Pep Guardiola menyalami wasit sembari mengatakan kata-kata satir berupa ucapan terimakasih.
Ada lagi, yang paling unik adalah ketika Jack Grealish saat memasukan gol untuk timnya, Aston Villa, ketika melawan Burnley. VAR menganggap hal itu tidak sah karena tumit Grealish tertangkap basah melewati pagar offside para bek Burnley. Ya, dikatakan offside sih memang offside, tapi….ayolah! ini tumit. Sebuah alarm tanda bahaya untuk para bomber yang berambut lebat atau berhidung mancung.
Menggunakan VAR di Liga Inggris itu seperti menggunakan kartu AS berupa dalil-dalil Ayat Suci ketika berdebat. Hingga pada akhirnya, temanmu akan berkata, “jika debat jangan bawa-bawa agama, dong! Kan jadi gak seru!” Pun sama dengan VAR di Liga Inggris, “main bola jangan bawa-bawa VAR, dong! Kan jadi gak seru!”
Tapi, jika berbicara tentang perkembangan jaman, siapa yang bisa melawannya? Sebenarnya bukan hanya VAR produk kemajuan jaman yang telah menjajah sepakbola, ada juga satu hal yang perlahan memakan sepakbola menjadi sebuah alat yang harus selalu menguntungkan. Baik kepada si pelaku sepakbola, maupun orang-orang yang berada di belakangnya. Ya, hal ini bernama industri sepakbola.
Kan tidak bisa kita berpatokan pada sepakbola “tradisional”, di mana sepakbola dijadikan sebagai pelepas penat buruh-buruh di tanah Britania ketika jeda kerja. Semakin populer, semakin banyak pula yang melirik, pun pepatah yang mengatakan bahwa ada gula di situ pula ada semut cukup untuk menggambarkan keseluruhannya. VAR dengan dalih keadilan dan penengah dalam industri yang kian mengandalkan uang ini seakan menjadi jawaban problem kemajuan pesat sepakbola.
VAR hadir untuk mengantisipasipasi kecurangan, keberpihakan dan negting–negting lainnya. Tentu hadirnya VAR itu sangat baik. Tapi, bercermin dalam banyaknya kejadian seperti di awal, menjadi pertanyaan besar adalah kapan VAR bisa digunakan? Apa syarat-syarat wasit menggunakan VAR? Kan tidak elok ketika handball terjadi lima sampai sepuluh detik sebelum terjadinya gol, yang dianulir malah golnya.
Nah, sedang di olahraga lain, teknologi sudah berteman akrab dalam membantu mempermudah jalannya sebuah olahraga. Contohnya bisbol, dengan hadirnya pistol radar kita bisa mencatat kecepatan bola yang dipukul. Juga adanya kamera di atas gawang hoki es. Hal ini mempermudah ketika menentukan gol atau tidaknya dalam situasi yang serba cepat dan biasanya para pemain yang mengerumuni gawang.
Ada juga yang mirip-mirip dengan VAR, yakni eagle eye yang diberlakukan dalam cabor bulu tangkis. Tepatnya pada Malaysia Open edisi 2013 yang menempatkan delapan kamera di sepenjuru lapangan. Para pemain diberi dua kesempatan di tiap babak untuk menggunakan keuntungan ini dengan cara mengangkat tangan dan berkata “challenge” kepada Umpire. Jika challenge dinyatakan berhasil, maka kesempatan pada babak itu masih 2 dan jika gagal, maka kesempatan melakukan challenge berkurang.
Akan menjadi adil, tidak akan ada tuduh-tuduhan, jika kesempatan melakukan VAR itu dilakukan oleh pihak yang bersangkutan. Misalkan Pep Guardiola merasa bahwa Joe Gomez melakukan handball, maka ia tinggal mengangkat tangan dan meminta challenge kepada wasit. Nah, kesempatan tiap babak hanya ada dua, jika challenge yang dilakukan Pep itu gagal, maka kesempatan melakukan challenge dari pihak Man. City di babak pertama tinggal satu.
Tinggal diperjelas, siapakah yang berhak meminta challenge berupa VAR kepada wasit. Kandidat terbaik tentu saja kapten, ia adalah mulut rekan-rekannya. Sedang yang merasa atau melihat pemain lawan rasanya melakukan handball atau offside adalah para pemain di lapangan dan sang kapten adalah kepanjangan tangan mereka. Atau pelatih, sang nahkoda, juru selamat dan terkadang merekalah yang marah-marah dan bisa melancarkan protes langsung kepada asisten wasit.
VAR di Liga Inggris adalah sesuatu yang sangat genting. Karena jika VAR tidak diperjelas fungsi dan penerapannya, apa bedanya dengan tanpa VAR? Tetap masih ada olok-olok tim yang diuntungkan VAR itu nyogok wasit lah, main uang lah, itu lah ini lah dan rasan-rasanan lainnya. Dengan adanya VAR atau tidak, selama tidak diperjelas fungsinya, sama saja.
Dan menggunakan konsep challenge dalam bulu tangkis bisa dijadikan sebagai jawaban. Ya, setidaknya salah satu upaya. Sedang upaya lainnya adalah menghapus VAR seutuhnya dalam sepakbola.