Rabu (18/9/2019) BMKG Pekanbaru, Riau, merilis jumlah titik panas pada confidence 70%, yang semakin meningkat dari bulan Agustus kemarin. Sebaran titik panas terpantau sebanyak 205 yang tersebar di sejumlah Kabupaten di Riau: Bengkalis 6 titik, Kampar 6 titik, Dumai 10 titik, Kuansing 1 titik, Pelalawan 61 titik, Rokan Hilir 58 titik, Indragiri Hulu 36 titik dan Indragiri Hilir 27 titik.
Namun, Gubernur Riau, Syamsuar, selaku Satgas Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) belum menetapkan status siaga menjadi tanggap darurat, karena ia ingin menyelesaikan status siaga sampai bulan Oktober nanti. Seperti disampaikan seusai rapat koordinasi penanggulangan Karhutla Riau bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (14/9/2019).
Padahal, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau pada kamis (12/9/2019) menyatakan bahwa Indeks Standard Pencemaran Udara (ISPU) di level berbahaya terdapat di delapan wilayah yakni: Kecamatan Rumbai – Pekanbaru diatas 500; Minas–Siak, 473; Duri Field–Bengkalis, 481; Duri Camap–engkalis, diatas 500; Kota Dumai, 404; Bangko–Rokan Hilir, diatas 500; Libo–Rokan Hilir, diatas 500; dan Desa Petapahan–Kampar, 345.
Tahun 2015 lalu saya pernah membuat surat terbuka soal ini. Pesan surat itu masih relevan sampai kini. Begini:
Sebagai seorang anak muda yang tinggal di Jakarta dan tak terkena dampak asap, saya sangat sedih mendengar dan melihat berita semakin banyak korban dampak asap. Saya mencoba mengumpulkan berbagai informasi walaupun saya sangat miskin pengetahuan tentang geologi.
Kepedulian masyarakat untuk memastikan kesehatan masyarakat terkena dampak cukup tinggi dengan banyaknya pengiriman tim-tim medis serta perlengkapan seperti masker, alat bantu pernafasan, dll. Berbagai pihak juga cukup melakukan aksi pemadaman titik-titik api. Namun, makin hari korban semakin meningkat.
Pikiran sederhana saya, namanya asap akibat kebakaran berarti harus dipadamkan. Kalau menunggu hujan namun tidak turun hujan, ya harus buat alternatif lain untuk memadamkan. Pelaku pembakaran harus tetap diusut tuntas, assessment dan kepastian pelayanan kesehatan bagi warga terdampak harus semakin diperkuat. Namun, saat ini upaya kuratif pemadaman titik api juga perlu konsentrasi tersendiri.
Saya mencoba mencari informasi di lapangan, dalam waktu 3 bulan ini sudah banyak pasukan yang turun untuk melakukan pemadaman. Tekniknya mereka membuat kanal-kanal yang bisa membanjiri lahan gambut yang terbakar, hanya saja air yang tersedia kurang sekali akibat kerusakan lahan yang sangat parah.
Bom air dengan pesawat sukhoi dan hujan buatan juga sudah dilakukan. Namun kondisi gambut yang sangat kering tebalnya puluhan meter menambah tingkat kesulitan tim pemadam. Padahal luas lahan yang terbakar saat ini hanya 1/6 dari luas lahan yang terbakar tahun lalu, tetapi asapnya lebih parah tahun ini karena sulit memadamkannya.
Saya dapat satu poin, butuh air untuk memadamkan tapi sulit. Saya melempar pertanyaan yang seolah-olah saya sangat yakin bisa melakukan sesuatu yang besar. Berarti butuh air ya? Di mana lokasi terdekat untuk mendatangkan air? Mau mengebor air tanah di sekitar lahan malah bisa menambah parah kebakaran jika disiramkan pada api karena air gambut banyak mengandung karbon.
Namanya titik api pasti bisa dipadamkan. Kemungkinan untuk padam selain menunggu hujan itu ada dengan membanjiri lahan gambut dengan air dari tempat lain. Seharusnya ada kanal-kanal yang dioptimalkan saat musim hujan untuk meminimalisir kebakaran di musim kemarau.
Dalam surat terbuka ini, saya menyampaikan beberapa poin :
- Upaya kuratif padamkan api, basahi lahan gambut sesegera mungkin dengan cara mengambil air dari tempat lain, butuh truk-truk atau media apapun untuk membawa air-air tersebut sampai di lokasi.
- Assessment dan beri kepastian pelayanan kesehatan warga terkena dampak serta kelompok rentan.
- Buat kanal-kanal yang dioptimalkan saat musim hujan.
- Usut tuntas dan beri tindakan hukum pelaku pembakaran lahan sampai ke mafia-mafianya. Bukan sekedar pelaku pembakaran yang notabene hanyalah masyarakat yang disuruh oleh cukong raksasa.
- Berdayakan warga dan tingkatkan kesadaran lingkungan agar memiliki kemandirian ekonomi sehingga tidak lagi membakar lahan.
- Kembalikan hutan di sekitar lahan gambut agar dapat menjamin resapan air. #SaveGambut
Demikian suat terbuka ini saya buat karena kegalauan hati saya. Bingung harus berbuat apa yang paling efektif untuk menghentikan jumlah terkena dampak, karena kesehatan dan nyawa manusia sangatlah berharga. Saya berharap kepada seluruh aparatur pemerintah mengoptimalkan aksi untuk menghentikan bencana, yang menurut BNPB 90% karena ulah tangan manusia.
Jika pemerintah tidak sanggup untuk melakukan, saya sangat yakin dengan spirit kemanusiaan kerja massal rakyat Indonesia dapat segera menyelesaikan bencana ini. Tetap berbagi peran: 1) Padamkan titik api; 2) Beri pelayanan maksimal pada warga terkena dampak; 3) Usut tuntas pelaku pembakaran; 4) Buat grand design upaya preventif yang integral.
Surat di atas saya tulis 03 Oktober 2015. Saya pikir surat terbuka itu masih relevan disuarakan hingga pihak-pihak terkait bertindak tepat sasaran, kini dan nanti. Semoga.
Salam solidaritas untuk saudara kita yang menjadi korban dampak asap. Jika benar sengaja dibakar, memang pelakunya sungguh biadab!