Jumat, April 19, 2024

Merdeka Sejak dalam Pikiran

Oleh Gelar Riksa Abdillah

Ketika Bung Karno, Hatta, Tan Malaka dan para bapak bangsa lainnya menghendaki kemerdekaan, mereka tidak hanya berharap Indonesia ini lepas dari penghambaan kepada pemerintahan penjajah pada saat itu. Mereka juga berharap kita merdeka secara kemanusiaan, pikiran dan perekonomian. Ketika kita mendeklarasikan merdeka, pada saat itu, atau saat ini, kita mengucapkan selamat jalan kepada jiwa-jiwa membudak untuk selama-lamanya. Namun, di atas semua itu, merdeka mesti dimulai dari dalam pikiran kita sendiri.

Banyak orang yang setiap tahunnya secara patriotis, atau mungkin ikutan tren, ramai-ramai menulis status di Facebook setiap hari kemerdekaan tiba. Isinya tentang bagaimana kemerdekaan yang kita dapat tahun 1945 itu adalah semu, bagaimana kita masih dijajah sekarang oleh ideologi barat, oleh budaya-budaya liberal dan girlband Korea juga antek asing lainnya.

Mungkin semua itu ada benarnya, tapi kita sering juga tidak sadar bahwa kita sendiri lah yang mengubur kemerdekaan kita. Tidak sedikit kita mengabaikan pandangan seorang ilmuwan dalam negeri dan lebih percaya ketika bule sudah bicara. Tidak jarang juga kita menimbun buku karangan luar negeri, tapi tidak menggali luasnya susastra sendiri. Atau misalnya ketika kita menganggap remeh musisi sendiri tapi mengagungkan musik yang datang dari jauh sana.

Permasalahan sebenarnya bukan kita tidak mengerti menyaring kebudayaan orang lain, tetapi kita minder dengan kemampuan bangsa kita sendiri. Sejak zaman kerajaan-kerajaan, kita telah mewarisi berbagai ajaran dan peradaban yang luhur, tetapi di zaman kekinian, kita menjadi amnesia terhadap sejarah. Kita menjadi lupa asal-usul dan kehilangan jati diri kita. Akibatnya, kita tidak punya percaya diri dalam berpengetahuan dan menghasilkan penemuan. Berapa banyak jurnal dan karya tulis yang dihasilkan sarjana kita?

Saya rasa kita perlu membebaskan pikiran dari segala belenggu. Kita perlu berhenti menyandarkan sebuah standar keberhasilan kepada sesuatu di luar diri kita. Mungkin Hollywood memang keren, tetapi tidak perlu kita mengukur kesuksesan sebuah film Indonesia dengan masuk atau tidaknya film itu ke Hollywood. Mungkin ranking kemampuan literasi anak Indonesia dalam peringkat PISA rendah dan kita perlu mengejar, tapi sebelum itu, alangkah baiknya kita membuat semua anak Indonesia bisa membaca lebih dahulu.

Tolak ukur keberhasilan yang disandarkan kepada orang lain membuat kita menghamba kepada orang tersebut. Memiliki kedaulatan sendiri terhadap penilaian kesuksesan akan membuat kita tidak begitu terbebani. Saya rasa hal ini juga yang dilakukan Korea, Cina, dan Jepang, mereka tidak membiarkan pendidikan dan perkembangan kebudayaannya ditentukan kebagusannya oleh orang lain. Mereka menciptakan standar mereka sendiri dan dunia  kemudian mengakuinya. Ingat, Indonesia dan Korea memiliki umur kemerdekaan yang sama. Bedanya, kita masih mendefinisikan kemerdekaan, mereka sedang merawatnya sekarang.

Hal lain yang membuat kemerdekaan pikiran kita terbelenggu adalah sistem dan yang menjalankannya. Di dalam dunia pendidikan, di sekolah, siswa merasa guru adalah superman, bukan mitra dalam belajar. Siswa belajar untuk patuh, bukan untuk bertanya, karena setiap pertanyaan yang tidak sanggup dijawab akan dianggap sebagai perlawanan. Di dunia pendidikan tinggi juga tidak jauh berbeda, tempat di mana kebiasaan dialektika seharusnya dibentuk malah sering kali dijegal, baik di dalam maupun di luar kelas. Belum lama ini, mahasiswa yang menyuarakan kritik kepada Menristekdikti malah diancam diluluskan sebelum waktunya alias DO.

Kemerdekaan berpikir yang gampang ditekan ini membuat orang jadi malas berpikir. Akibatnya berita hoax mudah sekali masuk, karena jangankan meneliti sebuah berita sampai mendalam, kita bahkan tidak punya keinginan untuk bertanya soal isi berita itu. Hal yang paling mudah untuk dilakukan menghadapi situasi seperti ini adalah membiasakan diri untuk tidak memberikan penilaian duluan. Satu hal yang penting adalah, entah itu profesor, buku, atau berita dari mana pun, masih bisa salah. Membiasakan bertanya kepada diri sendiri dan tidak langsung membenarkan akan mampu memandirikan akal kita dan memerdekakannya.

 

Merdeka dari Stigma Negatif

Menjelang 72 tahun Indonesia merdeka, ada satu hal yang mampu kita lakukan untuk merawat kemerdekaan yang telah lama dipertahankan ini. Itu adalah merdeka dari rasa benci, dulu, pada zaman pra-kemerdekaan, habis-habisan kita diadu domba dan rusak dari dalam bangsa kita sendiri. Sekarang hal serupa terjadi, stigma dan propaganda saling diciptakan supaya kita saling menghancurkan. Kita jadi manusia yang tidak pandai meneliti sebuah informasi, malas membaca dan mengkonfirmasi. Meminjam istilah dari Zen RS, bahwa menurunnya minat membaca, meningkatkan minat berkomentar. Saya merasa kemampuan bangsa kita dalam berkomentar berada di atas rata-rata manusia lain, saling menilai dan menjatuhkan juga terjadi dalam kolom komentar, lebih seru dari topik yang tengah dikomentari.

Itu tidak hanya berlaku pada membaca sebuah artikel, tetapi juga pada saat mengenal seseorang atau kelompok. Banyak orang merasa tiba-tiba punya firasat buruk ketika melihat orang bertato bahkan sebelum bicara dengan mereka, atau sebagian orang bahkan ada yang tidak suka tanpa alasan ketika bertemu perempuan tak berkerudung, atau mungkin sebaliknya, merasa tidak aman ketika bertemu perempuan berkerudung lebar. Semua prasangka itu dibangun tanpa dasar dan dari opini yang dikembangkan media. Kita menjajah pikiran kita tanpa mengonfirmasinya sendiri, di sinilah penjara pikiran kita dimulai.

Saya merasa semua orang bebas menjalani hidup seperti apa pun, selama ia bertanggung jawab terhadap pilihan hidupnya. Tanggung jawab itu termasuk menghargai cara hidup orang lain dan tidak mempermasalahkannya. Cara hidup seseorang orang lain akan selalu memiliki perbedaan dengan kita, hal itu menjadi masalah ketika kita mulai membicarakan perbedaan itu. Saat kita bisa berbuat sesuatu bukan karena orang lain dan kita tidak mengintervensi nilai-nilai hidup yang dipercayai orang lain, saat itulah kita berdaulat atas diri kita dan tidak dipengaruhi oleh hal-hal di luar dari diri kita.

Saya rasa berdaulat atas diri sendiri juga berarti melepaskan diri kita dari dogma-dogma dan doktrin yang disuapkan orang lain tanpa kita sempat mengunyah atau memilah sebelum menelannya. Kita berhak berekspresi sesuai dengan apa yang kita yakini, melalui penelusuran dan pemikiran atas temuan-temuan kita sendiri. Bagi saya, memberikan penilaian kepada ekspresi seseorang dengan menggunakan standar sendiri adalah kecurangan. Itu seperti mengukur tinggi badan dengan kiloan beras, tidak akan ditemukan ketepatannya.

Indonesia yang merdeka sepenuhnya, bagi saya adalah Indonesia yang bebas dari stigma negatif atas golongan mana pun. Kita bisa memulai kemerdekaan ini dengan menahan diri untuk menilai sesuatu yang tampak dari luar diri seseorang. Tindakan konkretnya adalah kita berhenti menghakimi agama seseorang, pilihan politik seseorang, pilihan ekspresi seseorang, dan bahkan sekedar pilihan seseorang atas Raisa atau Isyana.***

(Gelar Riksa Abdillah, lahir di Bandung, Jawa Barat. Saat ini tengah menempuh pendidikan master di University of Birmingham, UK.)

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.