Sabtu, April 27, 2024

Merayakan Kemerdekaan dari Tengger

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat

Ihwal hari kemerdekaan, Indonesia harus belajar soal rasa nasionalisme dari masyarakat Tengger. Pun juga harus belajar soal menghargai perbedaan dan menjaga kerukunan yang sebenarnya – tak hanya dijadikan jargon seremonial yang sekedar hadir saat stabilitas politik pemerintah terganggu, sebab oknum kelas menengah Islam menuntut tegakkan khilafah. Begitu problem kita: Indonesia!

Perkenankan tulisan ini di mulai dari kunjungan saya ke desa ngadas sebagai wilayah yang didominasi oleh masyarakat Tengger. Ada perbedaan antara Tengger dengan Indonesua, khususnya soal komitmen menjaga kerukunan di atas ego agama masing-masing.

Masyarakat Tengger hidup di tengah kompleksitas perbedaan agama, bahkan sering berdebat soal dominasi salah satu agama, namun jika sudah menyentuh ranah adat, mereka dapat menyingkirkan perbedaan agama itu dan menyatu atas dasar persatuan demi menjaga kerukunan sesama adat Tengger.

Begitu kemerdekaan menurut masyarakat Tengger – bukan kemudian sekedar menghadirkan atraksi serdadu berbaju loreng dan barisan praja berbaris rapi demi sang saka – fantasi nasionalisme dan persatuan hanya hadir tak lebih dari 1×24 jam. Setelah itu kembali hilang.

***

Adat Melampaui Agama

Tengger memiliki keunikan di antara masyarakat pegunungan di Indonesia, selain memiliki historiografi sejarah yang panjang. Tengger dikenal dengan kompleksitas agama yang terkadang menimbulkan perdebatan.

Komunitas Tengger berasal dari pelarian Majapahit di akhir periode kekuasaannya yang kalah oleh kerajaan Demak. Pergulatan suku Tengger soal agama telah di mulai saat dominasi kekuasaan Islam, baik Demak maupun Mataram. Hal tersebut banyak mempengaruhi tradisi dan kebudayaan masyarakat Tengger.

Rentetan kekuasaan kolonialisme Eropa, khususnya Belanda juga tidak kalah penting menjadi dalang untuk memecah-belah persatuan. Demi mempertahankan tradisi dan budaya, komunitas Tengger banyak mendapat hambatan dari kekuasaan Islam.

Di desa ngadas sebagai wilayah yang dominan dihuni oleh masyarakat Tengger, Islam pun masuk pada tahun 1990 bersamaan dengan agama Hindu. Sebelumnya mayoritas masyarakat Tengger menganut agama Tengger sebagai aliran kepercayaan adat. Islam dan Hindu pun kesulitan untuk masuk akibat dua agama tersebut di anggap sebagai agama penjajah.

Pemerintah Orde Baru dengan kekuasaan otoriternya, memaksa suku Tengger untuk mengikuti satu di antara lima agama resmi yang diakui pemerintah jika tidak mengikuti, maka masyarakat akan di dakwa sebagai komunis. Akibat itu mereka harus mengikuti Islam, Hindu maupun Budha sebagai pilihan agama mereka.

Selain itu, serbuan Islam telah merambah di kalangan masyarakat Tengger, khususnya yang tinggal di dataran rendah pegunungan bromo. Perdebatan tentang apakah suku Tengger sesungguhnya beragama Hindu atau Budha masih menjadi perdebatan panjang.

Penetapan ini secara serius “memaksa” orang Tengger untuk melakukan permusyawaratan internal. Pada tahun 1990 ini pula para pemuka masyarakat, dukun, dan kepala desa sekawasan Tengger berkumpul di Desa Ngadisari. Mereka memusyawarahkan keyakinan mereka sesuai kategori agama yang diakui pemerintah.

Perdebatan tak bisa di hindari dari peserta musyawarah. Sebagian besar peserta musyawarah mempercayai bahwa keyakinan orang Tengger akhirnya termasuk dalam kategori agama Hindu, sementara yang lain tetap menolak.

Hingga sekarang, perebutan dominasi salah satu agama itu masih terjadi. Bahkan hal itu masih terlihat dalam pengangkatan dukun (sebutan tokoh adat Tengger) yang harus beragama Hindu baru kemudian dapat ditunjuk sebagai representasi adat komunitas masyarakat Tengger.

Terlepas dari dinamika itu, masuknya agama formal memang menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Di samping karena faktor proses interaksi sosial, memang ada intervensi negara yang terlihat sangat dominan.

Situasi itu membuat mau tidak mau masyarakat Tengger harus melakukan proses negosiasi dalam ranga tetap mempertahankan dan merepresentasikan identitas “ke-Tengger-an” mereka.

Meski begitu Tengger sadar untuk tetap mengutamakan kerukunan adat melampaui perbedaan agama. Mereka otomatis akan melepaskan agama saat sudah menyentuh persoalan adat-istiadat.

Itu kenapa adat dapat melampaui agama, sebab agama mereka anggap sebagai urusan pribadi masing-masing masyarakat.

Tengger berusaha membedakan urusan agama dengan urusan adat. Bahkan mereka berhasi membuat dua unsur kepercayaan tersebut berjalan beriringan. Tekanan negara membuat orang Tengger mengatur siasat sedemikian rupa untuk tetap melangsungkan kehidupan adat mereka.

Strategi negosiasi merupakan cara yang lebih lembut dalam menghadapi perbedaan agama yang seringkali dimanfaatkan beberapa oknum untuk memecah-belah Tengger sebagai kesatuan adat.

Alih-alih soal persatuan dan nasionalisme, masyarakat Tengger lebih berpengalaman dengan cara mencintai adat dan menjaga kerukunan antar masyarakat. Orang Tengger sadar, bahwa agama adalah urusan pribadi manusia. Tentunya berbeda dengan Indonesia.

Meski telah 72 tahun merdeka, Indonesia hanya hidup dengan dongeng persatuan. Bahkan dalih kerukunan hanya alat negara untuk “menjinakkan” identitas yang berbeda. Demi stabilitas persatuan ditempuh dengan satu jalan: pemaksaan.

Berperan sebagai jubir nasionalisme, seakan paling mengerti dan paling benar. Namun tidak paham soal bagaimana cara menjaga kerukunan dan menciptakan nasionalisme yang sebenar-benarnya tanpa di dasari kepentingan menciptakan identitas monokultur agar kemudian dapat di kontrol negara dengan mudah.

Itu kenapa tak perlu Indonesia mengajari orang Tengger tentang persatuan dan nasionalisme. Sebab mereka lebih sadar soal cara menghargai perbedaan dan mencintai adat mereka, dari pada Indonesia yang tumbuh dengan dongeng bhinneka tunggal ika yang imajiner itu.

Indonesia perlu belajar dari Tengger

“Jika dibandingkan ikatan Republik dengan ikatan Tengger, kami merasa lebih kuat ikatan  Tengger mas. Karena ikatan kami lahir secara alami dan sadar atas nama adat, bukan dibentuk melalui doktrin-doktrin pemerintah. Walaupun kami ada persinggungan soal agama, kami masih memandang bahwa kami adalah Tengger yang membedakan hanya agama”.

Kutipan wawancara saya dengan salah satu dukun Tengger itu memberikan gambaran bagaimana kesadaran adat Tengger sangat tinggi. Mereka hidup dalam perdebatan perbedaan agama yang belum selesai, namun paham bagaimana cara mengatasi itu tanpa merusak kerukunan kehidupan adat.

Saat ritual adat kasada tiba, mereka berbondong-bondong berkumpul di gunung bromo yang mereka anggap sebagai tempat suci. Untuk memberikan penghormatan terhadap leluhur adat Tengger. Semua agama Hindu, Budha dan Islam melepas perbedaan demi kepercayaan adat. “Begitu cara kami menghormati adat mas” ungkapnya sambil tersenyum.

Orang Tengger hidup atas dasar perjuangan dan sejarah yang sama dalam menjaga adat-istiadat, itu yang membuat mereka tak dapat dipisahkan meski ada perbedaan agama.

Indonesia memang harus belajar dari Tengger, meski perdebatan perbedaan belum selesai Tengger berhasil mengelola persatuan dan kerukunan secara sadar. Bukan kemudian merayakan kemerdekaan secara seremonial dengan doktrin persatuan yang kosong tanpa substansi.***

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.