Sejarah selalu ditulis oleh pemenang, dan George Orwell tahu itu. Dalam sebuah karyanya berjudul 1984, ia menggambarkan bagaimana negara sebenarnya punya potensi paling buruk untuk menulis ulang apa yang bisa dianggap kebenaran. Bagaimana? George Orwell menggambarkannya melalui negara fiktif dan otoriter bernama Eurasia, di mana di dalam negara tersebut mereka memiliki Kementerian Kebenaran (Ministry of Truth).
Apa peran dari kementerian ini? Perannya ialah membangun citra bahwa negara mereka adalah negara yang kuat sehingga hal ini diharapkan akan mematikan nalar kritis dari masyarakatnya. Eurasia, melalui kementerian kebenaran, kemudian terobsesi untuk menulis ulang sejarah mereka. Menonjolkan keunggulan negara dan mengeliminasi berita buruk yang dapat mengguncang ketidakstabilan negara. Atau bahkan, berbohong melalui surat kabar ataupun radio serta televisi hingga dalam film yang ditonton.
Kalau anda ingin melihat sebenarnya seberapa seram dampak dari ide yang ditanamkan oleh George Orwell, tentu saja, anda bisa melihat bagaimana Indonesia, sebagai sebuah bangsa dan negara, berurusan dengan isu PKI. Berapa banyak yang masih percaya bahwa PKI akan bangkit suatu hari nanti? Cukup banyak sehingga banyak kegiatan berkumpul untuk membahas isu mengenai tragedi 1965, entah itu diskusi hingga seminar, terancam dibubarkan paksa oleh masyarakat. Termasuk yang terjadi di LBH Jakarta (16/9) lalu.
Padahal, jika kita tanya apakah itu PKI, kita tentu tak akan dapat jawaban yang memuaskan dari golongan masyarakat seperti ini. Kita hanya akan mendapatkan jawaban bahwa PKI adalah sekelompok orang-orang keji yang bertindak amoral, meresahkan masyarakat, sehingga atas sebab itu PKI dan komunisme harus dimusnahkan. Dari mana mereka mendapatkan pengetahuan tersebut? Ingatan itu berdasarkan propaganda negara di masa lampau – melalui berita-berita pada saat itu, terutama, film G30S/PKI – yang secara kolektif masih didistribusikan hingga sekarang.
SIalnya, apa yang ditawarkan oleh propaganda tersebut, memang memiliki banyak kebohongan di baliknya. Nuran Wibisonon, dalam sebuah artikel di Tirto, menjelaskan bahwa Genjer-Genjer bukanlah anthem bagi Partai Komunis Indonesia. M. Arief, yang menciptakan lagu ini pada 1942, sebenarnya ingin mengkritisi pemerintahan Jepang karena membuat masyarakat kelaparan.
Lalu penafsiran masyarakat berubah ketika ada sebuah adegan fiktif anggota Gerwani menyilet wajah anggota para jenderal dalam film G30S/PKI. Adegan tersebut dilakukan dengan menyanyikan lagu ini. Memang kampanye PKI di Indonesia sempat menggunakan lagu ini, namun pemanfaatan dalam film propaganda tersebut membuat rumah keluarga M. Arief masih sering dilempari batu hingga tahun 2014.
Itu baru dari film, belum dari propaganda pemberitaan di masa lampau yang dikolektifkan hingga hari ini. Soal kekejian Gerwani misalnya. Soeharto, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah artikel CNN Indonesia berjudul “Lapisan Dusta di Balik Legenda Kekejaman Gerwani”, berhasil memikat seluruh elemen masyarakat untuk membenci Gerwani serta mengganyang PKI. Pernyataan Soeharto seakan afirmasi atas tindakan kejam Gerwani yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Adapun Soeharto menyatakan, “mereka telah meninggalkan kepribadian kita, karena mereka telah merusak kepribadian kaum wanita Indonesia. Wanita sebagai ibu memiliki peranan khusus dalam mendidik anak-anak. Generasi muda kita harus diselamatkan agar tidak terjerumus ke dalam kerusakan moral kaum kontrarevolusioner.”
Hingga saat ini, reproduksi berita bohong, atau fakta yang meleset, soal PKI dan komunisme masih dikolektifkan hingga sekarang. Memang kemudian negara tak lagi memproduksi berita bohong, namun kini masyarakat bisa secara sukarela memproduksi kebohongan bagi masyarakt itu sendiri. Berdasarkan hasil analisis Muhammad Imran Hirawan pada periode 2015-2017, postingan mengenai atau berkonten PKI selalu memuncak di awal bulan September hingga awal tahun.
Analisis kuantitatif yang menganalisis penyebaran konten mengenai PKI di Facebook ini menjelaskan bahwa viralitas rate di Facebook soal isu PKI bisa menyebar lebih cepat jika dibandingkan dengan fact check mengenai isu PKI itu sendiri. Perbandingannya memprihatinkan, 10:1 dengan keunggulan utnuk penyebaran isu PKI yang kemungkinan besar merupakan artikel clickbait. Ini tentu saja belum melalui grup Whatsapp atau sosial media lainnya yang menjadi media penyebaran dusta paling populer di Indonesia.
Serta bagaimana sejumlah media melakukan framing terhadap berita mengenai PKI sendiri. Pemberitaan dengan judul artikel seperti “massa anti-komunisme” seakan menjadi afirmatif dari media sendiri bahwa hantu komunisme itu ada. Padahal, siapa yang ingin membangkitkan PKI saat ini? Membaca buku seperti Mati Ketawa ala Rusia akan memberi gambaran bahwa komunisme adalah mimpi buruk, bahkan bagi negara penciptanya sendiri.
Kurangnya edukasi media terhadap awam mengenai isu komunisme itu sendiri bisa dijadikan catatan tersendiri mengapa isu komunisme masih ada hingga saat ini. Serta mengancam pemerintah saat ini untuk ingkar janji setelah sebelumnya menyatakan akan serius menyelesaikan persoalan HAM termasuk tragedi 1965 dan komunisme tersebut.
Adapun untuk menanggulanginya, tentu saja Indonesia sebenarnya bisa belajar dari Jerman dan bagaimana mereka menanggapi isu Nazi. Sebagai sebuah negara, Jerman sendiri tidak memiliki minat untuk menutup-nutupi isu Nazi. Baik media, masyarakat, serta negaranya saling mendukung untuk membuka fakta secara lebar-lebar mengenai Nazi. Tentang dosa-dosa mereka di masa lampau. Termasuk di dalamnya Jerman memiliki landmark tersendiri sebagai upaya menolak lupa terhadap Holocaust. Tragedi warisan Nazi di mana enam juta Yahudi dibunuh sebagai wujud kekejian Adolf Hitler di masa tersebut.
Namun sepertinya, cara itu masih sulit untuk kita lakukan.
Arif Prawira Utama | Universitas Padjajaran
**Artikel ini merupakan tulisan yang terpilih dari lomba menulis opini yang diadakan oleh COMNIPHORE – Universitas Multimedia Nusantara.