Di era global-digital hari ini, pendidikan tetap merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan juga sebagai salah satu faktor utama yang akan sangat menentukan kualitas daya saing antar bangsa.
Dalam 12 pilar yang dijadikan indikator kualitas daya saing bangsa (Global competitiveness index) pendidikan (baca: primary education and higher education) ditempatkan sebagai pilar-pilar yang saling berkaitan erat dengan pilar lain seperti institusi, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, pasar tenaga kerja dan sebagainya – yang secara tidak langsung saling mempengaruhi dan memberikan kontribusi bagi kualitas daya saing bangsa (World Economic Forum, 2017).
Posisi pendidikan tinggi dan pelatihan (Higher education and training) sebagai salah satu faktor pendorong efisiensi perekonomian (efficiency driven) dan pendidikan dasar (primary education) sebagai salah satu syarat dasar penggerak perekonomian (factor-driven) dalam pengukuran indeks daya saing bangsa tersebut menegaskan urgensi pendidikan dalam menentukan kualitas daya saing suatu bangsa.
Dewasa ini, dimana kesejahteraan dan kemandirian ekonomi menentukan predikat maju atau tidaknya suatu bangsa mesti mengharapkan pergerakan arus ekonomi yang tidak hanya efektif, namun juga stabil dan efisien. Kondisi tersebut salah satunya berdampak pada semakin besarnya permintaan dunia kerja akan pekerja-pekerja yang terampil, produktif dan berdaya saing. Dengan kata lain, pasar kerja menghendaki tersedianya lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya sekedar memiliki gelar sarjana, namun sarjana yang memiliki kompetensi dan kapabilitas yang dibutuhkan dunia kerja, sehingga wajar kiranya jika arah kebijakan pemerintah kita hari ini pada bidang pendidikan tinggi dan latihan pun lebih berorientasi pada kebutuhan pasar (baca:dunia kerja).
Namun, besarnya tuntutan pasar dan ketatnya persaingan global tersebut jika dihadapkan dengan kondisi pendidikan tinggi di negara kita hari ini – dilihat dari kacamata pelaksanaan tridharma perguruan tinggi masih banyak hal yang perlu dibenahi. Kualitas pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi kita masih belum ideal dan merata di berbagai daerah, baik dalam hal tenaga pendidik maupun budaya akademik. Selanjutnya, kualitas penelitian di banyak kampus di negara kita pun masih jauh dari kata signifikan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan dalam berbagai bidang secara global. Untuk itu, perhatian dan pembenahan serius akan kondisi-kondisi tersebut merupakan suatu keharusan yang akan mentukan daya saing bangsa kita ke depan.
Meskipun sempat menuai pro dan kontra, inisiatif pemerintah melalui Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengikhtiarkan peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan tinggi dengan menghadirkan para guru besar berkelas dunia (world class professor) dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan keahlian dengan civitas akademika di Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas perguruan tinggi secara umum dan kualitas pelaksanaan tridharma perguruan tinggi secara khusus sangat layak diapresiasi.
Hal tersebut juga merupakan salah satu jawaban atas arahan presiden untuk melakukan percepatan pembangunan sebagai Ikhtiar untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045 sebagaimana juga tertuang pada rumusan empat pilar visi Indonesia 2045, yaitu: 1) pembangunan SDM dan penguasaan IPTEK, 2) perkembangan ekonomi berkelanjutan, 3) pemerataan pembangunan, dan 4) ketahanan nasional dan tatakelola pemerintahan.
Kemudian, yang juga sangat menarik adalah inisiatif jawaban yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyikapi tuntutan untuk melakukan percepatan pembangunan pendidikan yang salah satunya direncanakan akan dilakukan melalui zonasi guru.
Zonasi guru tersebut dianggap sebagai sebuah upaya redistribusi guru secara merata di sekolah-sekolah dengan harapan terbangun komunikasi dan interaksi intensif dan konstruktif antara guru yang belum memiliki kualitas cukup baik dengan guru yang lebih unggul, sehingga secara perlahan ada pemerataan peningkatan kualitas guru yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan dasar (primary school) secara keseluruhan.
Pada jenjang pendidikan tinggi, mungkinkah juga dilakukan zonasi guru (besar)? Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD DIKTI) Indonesia memiliki sekitar 27. 374 program studi yang tersebar pada 4.662 perguruan tinggi. Adapun jumlah dosen yang dimiliki sebanyak 293. 757 orang.
Namun, dari keseluruhan jumlah dosen tersebut, hanya sekitar 2 persen (2%) yang memiliki jabatan akademik sebagai guru besar (PDDIKTI, 2018). Padahal, idealnya jumlah guru besar paling sedikit sebanyak 10 persen (10%) dari jumlah dosen keseluruhan. Dengan kata lain, Indonesia secara umum masih mengalami defisit guru besar.
Kemudian, fenomena yang tidak kalah menarik tentang guru besar tadi adalah berkaitan dengan sebaran para guru besar tersebut pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Mayoritas guru besar ternyata berada di Jakarta. Sementara, untuk perguruan tinggi di daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Papua jumlahnya sangat sedikit, bahkan mungkin ada perguruan tinggi yang hampir tidak memiliki guru besar. Untuk itu, menurut hemat penulis, zonasi guru besar dalam rangka percepatan peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia adalah suatu keharusan untuk segera dilaksanakan.
Kebijakan tentang Zonasi guru besar dapat dilakukan melalui mekanisme Tour of Duty dan Tour of Area (lihat UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN). Zonasi guru besar juga akan sangat membantu mengatasi kesenjangan SDM dalam bidang pendidikan Tinggi yang secara tidak langsung juga akan membantu mendongkrak kualitas pendidikan, penelitian dan lulusan pendidikan tinggi. Hal tersebut juga akan memberikan penyegaran lingkungan kerja juga akan memberikan tambahan wawasan dan pengalaman tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia.
Inisiatif pemerintah untuk menghadirkan professor-profesor berkelas dunia ke Indonesia dalam rangka peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia pun akan menjadi lebih baik lagi dengan zonasi guru besar di dalam negeri, yaitu mendistribusikan guru besar secara proporsional ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sehingga peningkatan dan pemerataan kualitas perguruan tinggi di Indonesia dapat berjalan cepat dan beriringan.
Usaha peningkatan kualitas daya saing bangsa yang diukur melalui 12 pilar mesti diikhtiarkan secara beriringan tanpa harus meletakkan salah satunya pada skala prioritas yang berbeda. Masing-masing pilar memiliki peran yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Pembangunan infrastruktur harus beriringan dengan pembangunan SDM, begitupun dengan pilar lainnya. Penerapan zonasi guru besar dengan skema tour of duty dan tour of area hanyalah salah satu ikhtiar yang mungkin dilaksanakan – yang secara perlahan akan membantu meningkatkan kualitas dan daya saing perguruan tinggi secara khusus dan kualitas daya saing bangsa secara umum.
Wallahu a’lamu bisshawab