“Kasih, api cinta itu turun dari langit dalam berbagai bentuk dan rupa, namun pengaruh mereka di dunia adalah satu.” – Khalil Gibran
Peradaban manusia dibangun oleh banyak hal. Mulanya, bumi ini rimba yang asing, kering. Manusia berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Manusia dituntut beradaptasi. Hingga suatu waktu, melalui serangkaian eksperimen, manusia menemu hal-hal baru. Salah satu penemuan terhebat ialah api. Dengan api manusia menjaga nyala hidup. Api menghangatkan tubuh dari gigil cuaca. Api menjadi penjaga. Api itu ruh yang tak boleh dipadamkan.
Api dikisahkan dalam beberapa mitologi peradaban tua dunia. Mitologi bergerak dari mulut ke mulut. Api menjadi simbol kehidupan. Artefak bersejarah mencatat penggunaan api oleh manusia. Meski belum jelas kapan pertama kali ditemukan, api telah lama menemani manusia menjaga zaman.
Api mengilhami manusia. Ia menginspirasi penciptaan karya. Api pun tumbuh dalam bentuk kreatif yang lain. Kita menemukan buku bertajuk Api Curian Promoteus (2009) garapan Ishak Ngeljaratan. Buku diterbitkan penerbit indie bernama Nala Cipta Litera yang bergandeng dengan Identitas (penerbitan kampus Universitas Hasanuddin). Buku bergelimang esai-esai pilihan. Editor buku, Aslan Abidin, menyaring 50 esai dari ratusan esai yang telah ditulis Ishak.
Pemilihan judul sungguh apik. Kisah dari negeri Yunani dijadikan sandaran pustaka. Jika Nietzsche dalam karyanya The Birth of Tragedy memilih Apollo dan Dionysus sebagai pengandaian watak manusia, kita mendapati Ishak memilih Promoteus. Mitos kehidupan Promoteus memesona dan memukau Ishak. Kisah Promoteus mencuri api di langit dan menurunkannya ke bumi ditafsir, dikontekstualisasikan dengan cara yang menarik.
Awalnya bumi tumbuh tanpa gairah. Bumi seperti pesakitan. Bumi butuh bergerak dengan spirit. Promoteus yang berada di bumi bertanya dan berfikir. Api –yang ditulis Ishak sebagai lambang supremasi langit atas bumi dan sekaligus menjadi- penggerak langit, menggoda Promoteus untuk mencurinya.
Dengan memanfaatkan sunyi-senyap langit, di saat penghuninya sedang lalai, Promoteus membawa api langit tanpa izin. Lalu ia menaburnya di tiap sudut bumi. Dan sejak saat itu bumi mulai tumbuh dengan gelora. Manusia mulai berbudaya.
Pengisahan tentang api mengigatkan pembaca dengan buku cerita rakyat Kalimantan Timur berjudul Asal Usul Api (2001). Buku ditulis oleh Korrie Layun Rampan. Buku bercerita tentang masyarakat yang kehilangan api di negeri mereka. Negeri jadi gelap gulita. Hidup masyarakat lesu karna makan tanpa dimasak. Hingga suatu waktu masyarakat sadar, jika api begitu begitu penting bagi berlangsungnya kehidupan.
Di negeri yang jauh, kisah api hasil curian Promoteus menggerakan hidup seisi bumi. Manusia menjadi beradab dan berdaya. Api curian Promoteus merupakan bahasa metaforis yang indah tentang peradaban manusia. Manusia, ujar Ishak, juga punya api, “yaitu akal budi yang menjadi sumber dan subjek ilmu dan kreatifitas” (hlm. 2). Api sebagai metafora memiliki makna yang dalam. Api muncul dengan dua wajah, yang bisa menghangatkan dan bisa pula membakar. Pilihan Ishak menggunakan kisah bertema api membimbing kita pada perayaan dan permenungan.
Pikiran manusia itu api yang perlu dirayakan. Api dengan nyala yang menerangi ibarat pengetahuan manusia yang mencerahkan. Dengan intelektualitas, manusia menggerakkan zaman. Api pengetahuan tak boleh padam. Nyala api akan bernilai jika berguna untuk orang lain. Namun, kita perlu menyadari, api dan pengetahuan bersandar pada subjek, pada orang yang mengampunya.
Yang memiliki api pengetahuan disodor pertanyaan. Bertanya merupakan gugatan dengan cara yang lain. Ishak dengan kritis menggunakan cara itu untuk mengajak pembaca bermenung. Pembaca tak susah menemukan pertanyaan-pertanyaan Ishak dalam buku Api Curian Promoteus.
Pertanyaan bisa dijumpai pada beberapa judul tulisan. Dalam esai bertitel “Bukan Sekedar Batang, Tetapi Nyala” yang ditulis pada Maret 1986, Ishak bertanya: “Benarkah seorang guru dinyatakan berilmu, dinyatakan pandai atau intelektual, bila dia hanyalah ibarat lilin dengan batang bersumbu yang terus diperindahkan dan diperbesar tanpa berdaya guna untuk bernyala dan memberi terang?” (hlm. 50). Pertanyaan Ishak menggiring pembaca mengasah nalar dan perasaan.
Dengan api, peradaban dibangun dan dihancurkan. Fernando Baez, dalam riset panjangnya di buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013), menjelaskan bagaimana buku-buku dimusnahkan dengan cara dibakar. Di sini, api tampil dengan tampang yang buas dan mengerikan. Ritual api menjadi khas dalam sejarah pembakaran buku yang dilakukan Nazi di Jerman.
Api dianggap lambang pemurnian. Pemusnahan buku dengan api diandaikan sebagai usaha untuk menyucikan peradaban yang tak suci. Kotor. Namun, apa yang terjadi tak sesuai dengan harapan. Pembakaran buku mengubah masyarakat menjadi kedap pengetahuan, semakin kumuh, alih-alih memberi terang.
Di tangan Ishak, api dikelola dengan bijak. Api Curian Promoteus berisi esai dengan tema-tema seputar geliat kampus dan mahasiswa. Buku ini cukup berbeda dengan buku Ishak sebelumnya. Dalam buku Yang Semakin Hilang di Antara Kita (2008), pembaca bisa memahami Ishak sebagai seorang budayawan yang menggeluti isu keberagaman dan keberagamaan.
Ishak mengajak manusia hidup damai. Menyeru manusia berwelas asih kepada sesama. Ia mengatakan bahwa hidup rukun dan penuh cinta, bermula pada akseptansi, penerimaan. Hal itulah yang menurut Ishak, semakin hari semakin hilang dan lenyap di antara kita sesama manusia.
Sedangkan di buku Api Curian Promoteus, kita bisa mengenal Ishak dari kacamatanya sebagai seorang dosen yang resah. Penuh nyala. Esai-esainya berisi kegelisahan pada kebijakan kampus yang kerap berada pada jalur yang keliru. Tulisannya juga berisi teguran untuk para mahasiswa yang malas belajar dan tak memiliki integritas keilmuan.
Ishak, sebagaimana sifat api, tak ingin menjadi api yang membakar atau api yang menciptakan kesedihan. Api yang menghanguskan kemanusiaan dan membawa derita tak berkesudahan. Ishak dengan kebersahajaanya, menerima spirit api curian Promoteus sebagai perantara memberi pencerdasan. Menebar nyala pada para mahasiswanya, agar etos berpengetahuan tak menjauh dari bahagia kemanusiaan.
Membaca buku Api Curian Promoteus membawa kita pada segenap pelajaran. Api pengetahuan, kata Ishak, harus selalu dijaga agar tetap menyala dalam diri manusia. Ishak dengan bahasa kiasan mengatakan, bahwa api yang pada awalnya berasal dari dewa-dewa di langit, membuat manusia juga memiliki akal budi rasional yang merupakan sifat-sifat langit. “Sifat-sifat dewa itu hadir lewat wujud pemenuhan kebutuhan hidup yang direbutnya, termasuk pemenuhan hidup sebagai akibat dari penemuan jawab atas segala tanya yang diajukan pada dirinya.” (hlm. 72).
Yang menjaga nyala api, yang menjaga nyala pengetahuan. Buku Api Curian Promoteus tak punya pamrih. Ishak bernyanyi dengan nada optimis. Bukunya membakar daya juang yang pesimis. Buku menang di nalar pembaca karena kejernihannya. Ishak Ngeljaratan berbunga dan abadi di hati pembaca karena kesahajaannya. Selamat jalan Pak Ishak, guruku.