Rabu, Oktober 16, 2024

Wuthering Heights: Menyelami Sisi Gelap Manusia

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Wuthering Heights adalah sebuah novel yang ditulis oleh Emily Brontë dan diterbitkan pada tahun 1847. Ia adalah sebuah kisah tentang cinta, balas dendam, dan kekuatan yang merusak dari obsesi. Ceritanya berlangsung di Yorkshire moors dan berputar di sekitar hubungan yang penuh gairah tetapi penuh gejolak antara Heathcliff dan Catherine Earnshaw.

Novel ini dikenal karena struktur naratifnya yang kompleks, dengan banyak lapisan cerita. Cerita dimulai saat Mr. Lockwood menyewa sebuah rumah bernama Thrushcross Grange, dan interaksinya dengan penduduk Wuthering Heights. Melalui serangkaian kilas balik dan narasi, pembaca belajar tentang sejarah keluarga Earnshaw dan Linton yang gelap dan bergejolak.

Wuthering Heights mendapatkan banyak apresiasi karena elemen gotiknya, karaker-karakter cerita yang mengesankan, dan eksplorasi terhadap aspek-aspek gelap dari sifat manusia. Karya ini mampu bertahan sebagai sebuah karya klasik dalam sastra Inggris yang memengaruhi generasi penulis dan pembaca berikutnya.

Elemen-elemen gotik dalam dalam Wuthering Heights ini sangat kaya dan menyumbang pada atmosfer kegelapan dan menghantui. Novel ini berlatar di Yorkshire moors, yang ditandai dengan pemandangan yang keras dan sepi. Lokasi terpencil dari Wuthering Heights menambahkan rasa ancaman dan misteri. Demikian juga dengan keadaan cuaca dan atmosfer. Cuaca sering mencerminkan kekacauan emosional para karakter di dalamnya. Badai, angin, dan kabut menciptakan atmosfer yang menyeramkan, meningkatkan rasa ketidaknyamanan dan ketegangan.

Kondisi gotik juga dijumpai pada rumah-rumah yang berhantu. Baik Wuthering Heights maupun Thrushcross Grange digambarkan sebagai tempat tinggal yang angker dan misterius. Wuthering Heights, khususnya, dilukiskan sebagai tempat yang gelap yang sarat dengan nuansa hantu. Elemen supernatural juga kental, seperti penampakan hantu dan mimpi yang menyeramkan. Hantu Catherine Earnshaw disebut-sebut menghantui padang rumput dan pikiran para karakter yang masih hidup.

Kisah cinta antara Catherine dan Heathcliff sangat intens dan penuh gairah tetapi juga tragis. Hubungan mereka yang bergejolak ditandai oleh obsesi, pengkhianatan, dan pada akhirnya, kematian. Hasrat Heathcliff untuk balas dendam mendominasi sebagian besar plot. Obsesinya terhadap Catherine dan keinginannya untuk menghukum mereka yang telah menganiayanya mengarah pada tindakan kekejaman dan kegilaan, menambahkan pada atmosfer gotik dalam novel ini.

Elemen-elemen gotik dalam novel ini turut berperan menggali secara mendalam sisi gelap dari sifat manusia. Karakter-karakter dalam novel ini tenggelam dalam hasrat yang kuat, obsesi yang merusak, dan dorongan dendam. Cinta Heathcliff yang menguasai Catherine mendorongnya untuk melakukan balas dendam terhadap mereka yang selalu menyalahkannya. Keinginan Heathcliff untuk membalas dendam terhadap Hindley Earnshaw dan keluarga Linton mengobarkan konflik dalam novel ini. Obsesi balas dendamnya akhirnya membinasakannya dan menyebabkan konsekuensi tragis bagi semua yang terlibat.

Karakter seperti Heathcliff dan Catherine memanipulasi orang-orang di sekitar mereka untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Kekerasan fisik dan emosional banyak terjadi dalam novel ini, terutama perlakuan Heathcliff terhadap Hareton dan Isabella, serta perlakuan Hindley terhadap Heathcliff. Beberapa karakter dalam novel ini terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri, baik melalui kecanduan, kekerasan, atau tindakan gegabah yang didorong oleh hasrat atau keputusasaan.

Melalui eksplorasinya terhadap aspek-aspek kegelapan dari sifat manusia ini, Wuthering Heights menawarkan gambaran yang tajam dan seringkali brutal tentang kondisi manusia sekaligus menantang pembaca untuk menghadapi kompleksitas cinta, keinginan, dan konsekuensi dari tindakan kita.

Sungguhpun Wuthering Heights adalah karya sastra Inggris, namun kebiasaan dan tokoh-tokoh rekaan dalam novel ini sama sekali bukan adat istiadat dan orang-orang Inggris. Novel ini terkenal karena penggambaran karakter dan adat yang menyimpang dari norma-norma Inggris konvensional. Lokasi yang tersuruk di Yorkshire moors menciptakan suasana yang berbeda. Karakter-karakter di sini, terutama Heathcliff, menentang apa yang menjadi ekspektasi sosial masyarakat Inggris saat itu.

Novel ini menantang gagasan tentang masyarakat Inggris yang halus dan santun, menjelajahi tema-tema gairah, balas dendam, dan elemen-elemen liar dari sifat manusia. Penjelajahan Emily Brontë terhadap karakter yang tidak konvensional dan lanskap yang keras membuat Wuthering Heights berbeda dari penggambaran lazimnya tentang kebiasaan rakyat Inggris dalam kesusastraannya.

Wuthering Heights juga menggabungkan unsur-unsur tradisi Norse, terutama dalam penggunaan nama dan simbolisme. Nama beberapa karakter, seperti Heathcliff dan Hareton Earnshaw, memiliki asal-usul Norse. Nama Heathcliff, khususnya, dapat dilihat memiliki akar Norse. Bagian pertama, “Heath,” merujuk pada dataran rawa, yang sejalan dengan seting novel di daerah Yorkshire moors. Bagian kedua, “Cliff,” agaknya menggambarkan kondisi daerah yang kasar. Pemilihan nama ini mungkin menunjukkan hubungan dengan lingkungan alam dan menekankan sifat liar dan tak terkendali dari Heathcliff.

Selain itu, mitologi Norse sering melibatkan tema takdir, balas dendam, dan hal-hal gaib, yang tercermin dalam novel ini. Penggunaan unsur-unsur ini menambahkan lapisan kompleksitas pada narasi, memperkaya atmosfer secara keseluruhan, dan berkontribusi pada kualitas gotik dan misterius novel tersebut.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.