Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia bukanlah sebuah padang kering tanpa khazanah. Seiring dengan berjalannya sejarah, khazanah keislaman di Indonesia selalu mampu produktif melahirkan pemikir-pemikir besarnya dengan beragam karya-karya yang menakjubkan. Pemikir-pemikir tersebut tumbuh subur dari berbagai kutub, baik yang tradisionalis sampai yang modernis, atau bahkan yang mempunyai corak khas – tanpa ada yang menyamai, salah satunya adalah Nurcholish Madjid atau akrab disapa Cak Nur.
Cak Nur dan Obor Modernisme Islam Indonesia
Nurcholish Madjid atau Cak Nur tumbuh di tengah iklim intelektualisme Indonesia yang sedang subur bermekaran. Di dekade 1970-1990-an, para intelektual Indonesia berlomba-berlomba melahirkan dan menyumbangkan gagasannya di ruang publik secara terbuka. Tak tertinggal di bidang keislaman, dan salah satu promotor kuncinya adalah Cak Nur.
Cak Nur dikenal sebagai pemikir keislaman di Indonesia yang memilih jalan berbeda dengan lainnya. Cak Nur populer bukan dengan menyandang gelar kyai, selayak penyemai pemikiran-pemikiran Islam pada umumnya. Memilih jalan yang berbeda, Cak Nur tampil dalam gelangang pemikiran yang serba modern. Membawa nuansa pemikiran Islam yang alternatif, rasional, dan progresif selaras dengan berkembangnya modernisasi peradaban global itu sendiri.
Seorang yang dikenal dengan Fazlur Rahman-nya Indonesia – karena memang dalam masa studinya di Amerika berguru dan dekat dengan Fazlur Rahman – tersebut secara produktif menghiasi ruang pubik Indonesia dengan pikiran-pikiran yang segar. Cak Nur tampil sebagai begawan intelektual Islam di Indonesia yang gagah mengkritik dan menolak budaya jumud – ketertinggalan – yang dialami banyak umat Islam di Indonesia. Singkatnya, menurutnya kejumudan umat Islam di Indonesia merupakan konsekuensi mutlak dari budaya ekslusifitas tradisonalisme Islam di Indonesia.
Buah-buah pemikiran Cak Nur yang banyak tersebar di ruang publik, baik dalam bentuk kolom-kolom atau pun buku-buku, seakan menjadi obor yang berfungsi sebagai pijar khazanah keislaman di Indonesia untuk kian bergerak menjauhi senjakalanya; terus hidup dan terwarisi sampai sekarang.
Cak Nur dan Warisan Tradisional di Jejak Karyanya
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Cak Nur merupakan pemikir yang produktif menghasilkan karya-karya. Cak Nur aktif mengawinkan budaya kritisisme dengan khazanah keislaman yang dipadukannya menjadi suara-suara modern yang menggaungkan kebangkitan intelektualisme Islam. Mewarisi tradisi intelektual pada umumnya, Cak Nur berhasil melahirkan karya-karya yang abadi dibaca sampai sekarang.
Cak Nur melahirkan karya-karya tak jauh berbeda dengan pemikir modernis Islam pada umumnya. Berbentuk buku berbobot, bernuansa kritik-akademik, dan sarat akan sumber-sumber yang luar biasa. Namun, bukan tanpa perbedaan, Cak Nur selalu mampu tampil menjadi pembeda di antara pemikir-pemikir modernis lainnya, khususnya di Indonesia.
Cak Nur dalam karya-karyanya tak pernah melepaskan diri dengan konteks kesejarahan. Banyak di antara karya-karyanya yang hadir dengan penjelasan konteks kesejarahan yang cukup memukau. Beberapa di antaranya yang paling kanon adalah Khazanah Intelektual Islam dan Islam: Doktrin dan Peradaban.
Cak Nur menghadirkan konteks kesejarahan yang cukup kuat di dalam karya-karyanya berbentuk mukaddimah – sesuatu yang nyaris asing di pemikir-pemikir modern lainnya karena telah terlanjur dikenal sebagai khas karya-karya tradisionalis. Mukaddimah ala Cak Nur menjadi sesuatu yang berbeda dan paling berkesan bagi pembaca-pembaca pikirannya.
Cak Nur mampu menyeleraskan suara-suara modernisme Islam dalam bentuk yang khas dipakai para tradisionalis yang dikritiknya. Karya-karya Cak Nur dengan mukaddimah yang khas tersebut, barangkali mampu disandingkan dengan mukaddimah-mukaddimah yang ada di setiap kitab-kitab klasik (kuning) milik para ulama-ulama salaf terdahulu.
Cak Nur menyusun mukaddimah di karya-karyanya bukan tanpa alasan. Cak Nur seakan mempunyai keinginan agar isi dari karyanya mampu dibaca oleh pembacanya dengan melihat dan memperhatikan konteks sebab dan latar belakang buah pikir tersebut dilahirkan. Lewat mukaddimah yang sangat panjang, Cak Nur terlihat ingin memberikan bentangan horizon pengetahuan di kepalanya yang cukup luas serta mengantarkan pembacanya untuk sampai pada titik alasan dan tujuan pikiran-pikiran di karya-karyanya tersebut hadir.
Cak Nur memilih bentuk mukaddimah yang berbeda dengan ‘pengantar’ di karya-karya modern pada umumnya yang relatif singkat. Sebaliknya, mukaddimah ala Cak Nur tersusun dengan sangat panjang, berlembar-lembar, dan disertai catatan kaki yang cukup rinci.
Keunikan Cak Nur dalam menyusun mukaddimah tidak hanya terlihat dalam bentuknya yang panjang. Mukaddimah ala Cak Nur juga berisi penjelasan yang cukup komprehensif – bahkan bisa dikatakan rangkuman dari karya-karyanya. Cak Nur mengulas penjelasan pemikirannya dengan sangat kompleks; menginterpretasikan dengan khazanah-khazanah kelimuan lain di luar Islam.
Keunikan Cak Nur lewat mukaddimah yang khas tersebut seakan ingin memberikan jejak pada kesejarahan pemikirannya. Bahwa, Cak Nur yang dikenal dan dikenang sebagai pijar modernisme Islam di Indonesia selalu berangkat dari warisan tradisionalisme yang melekat pada dirinya. Sebuah jejak warisan tradisionalisme, warisan pesantren, warisan kampung Jombang-nya, warisan didikan orang tua dan guru-gurunya, yang baginya tetaplah merupakan pijakan dalam membumikan modernisme di khazanah keislaman di Indonesia.
Sampai saat ini, mukaddimah ala Cak Nur masih menjadi salah satu warisan unik dalam khazanah keislaman di Indonesia. Sesuatu yang nyaris terasa sangat dekat ketika dibaca, namun, mungkin hanya seorang Cak Nur yang mampu melahirkannya. Wallahu A’lam Bishawab.