Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dari 237 juta jiwa total penduduknya (BPS: 2010), mereka yang memeluk Islam mencapai 87%, sementara Katolik sebanyak 2,9%, Kristen Protestan 6,9%, Buddha 0,05%, Hindu 1,69%, dan Konghucu 0,13%. Dari gambaran ini menjadi jelas bahwa penduduk Indonesia adalah masyarakat yang beragama.
Keberagamaan yang menjadi ciri bangsa ini semestinya menjadi modal penting bagi terciptanya berbagai kemajuan. Sebab, setiap agama mengajarkan nilai-nilai kesalehan kepada seluruh hambanya. Dalam Islam, misalnya, teks yang menyebutkan supaya umat muslim berlaku adil (al-Maidah: 8-10), peduli terhadap sesama (al-Maun: 1-7), larangan saling bermusuhan (al-Hujurat: 12), serta merajut kebersamaan (al-Hujurat: 10), sangat ditekankan.
Sayangnya, dewasa ini, umat beragama (baca: Islam) seolah gagap menghadapi tantangan modernitas. Berbagai opini perlawanan terhadap modernitas dan globalisasi menyeruak. Dampaknya, dengan mudah kita jumpai mimbar pengajian berubah menjadi panggung yang menyuarakan ujaran kebencian, kekerasan, dan politisasi agama.
Di kemudian hari, narasi kebencian tersebut bereproduksi menjadi tindakan anarkis. Orang mencuri sandal dipukuli dan dibakar hingga meninggal dunia; seorang pemuda menulis status di Facebook lalu dipersekusi oleh kelompok yang mengatasnamakan agama; serta wanita baik-baik, dokter, berjilbab, pintar, update status menanggapi kasus yang menjerat pemimpin Ormas Islam tertentu diancam melalui pesan pendek dan komentar di media sosial secara bertubi-tubi hingga mau dibunuh.
Beberapa kejadian belakangan ini memperlihatkan betapa nilai keadaban yang kita miliki sebagai bagian dari bangsa—khususnya umat Islam—meluruh signifikan. Semangat moderatisme yang sebelumnya melekat pada wajah umat Islam di negeri ini juga makin menipis.
Menggali Pikiran Cak Nur
Karena itu, di tengah kondisi kebangsaan dan keumatan yang menggelisahkan, menjadi sangat relevan bila bangsa ini kembali menghidupkan ide dan pemikiran cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Hal ini sekaligus kita jadikan refleksi atas peringatan 12 tahun meninggalnya Cak Nur pada 29 Agustus 2017.
Ada banyak karya Cak Nur—panggilan akrab untuk Nurcholish Madjid—yang mengajak umat Islam untuk berlaku toleran, menjunjung perdamaian, menghargai keberagaman, serta mengedepankan kepentingan hak asasi manusia. Cak Nur dalam bukunya, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), menyindir dengan keras bahwa problem sosial-keagamaan di negeri ini menjadi akut karena umat Islam lebih mengutamakan jumlah, bukan mutu dalam merespons persoalan.
Arogansi sebagai agama paling besar menyebabkan umat Islam tidak pernah bersatu. Psikologi mayoritas itulah, kata Cak Nur, yang mengakibatkan umat Islam menutupi cacat-cacat dalam tubuhnya dan tidak mau terbuka pada ide-ide baru. Meski nilai-nilai Islam diajarkan di sekolah dan madrasah-madrasah, namun itu belum menyentuh relung problem sosial secara maksimal.
Tak pelak, ungkap Cak Nur, umat Islam dewasa ini hanya mewarisi “abu” dan “arang” dari kemajuan peradaban Islam di masa lampau. Gerak umat Islam menjadi statis, stagnan, bahkan mati karena terjebak pada pemikiran yang kolot, saling menyalahkan, mau menang sendiri, serta berambisi sebagai mayoritas yang ingin berkuasa.
Sebab itu, “menggali api Islam,” kata Cak Nur yang mengutip ungkapan Bung Karno, perlu kembali dilakukan. Maksudnya, umat Islam hendaknya melakukan pendalaman pemikiran atas teks-teks Islam, menafsirkannya secara progresif dan kontekstual, sehingga modernitas yang sekarang dihadapi umat Muslim secara global tidak melulu dianggap sebagai ancaman. Cara pandang yang lebih beradab seharusnya melihat modernisasi sebagai alat dobrak kejumudan berfikir bagi umat Islam.
Menariknya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk mencapai “kesadaran islami yang modern” melalui bidang pendidikan. Pendidikan—tidak harus diukur dengan tingginya bersekolah formal—merupakan tahapan bagi masyarakat Muslim untuk menghasilkan pendekatan baru dalam memahami doktrin Islam berkemajuan, serta mengupayakan kemerdekaan yang sesungguhnya: Merdeka dari ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan kesewenang-wenangan.
Ide Cak Nur yang juga perlu disuarakan kembali pada konteks keberagamaan di Indonesia dewasa ini adalah tentang “iman dan kesalehan sosial”. Jika kita membaca buku-buku Cak Nur, konsep pemikirannya hampir tak pernah lepas dari sejarah Islam dan konteks kekinian. Lalu, apakah sungguh memiliki keterkaitan antara keimanan seseorang dengan problem sosial?
Dari fakta-fakta Islam klasik, karya almarhum berjudul Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, mengajarkan agar umat Islam mau meneladani perilaku Nabi Muhammad dan para Salaf al-Saleh yang berwatak partisipatif dan egaliter. Keimanan terhadap Nabi menjadi dasar bagi umat Islam sekarang ini untuk memiliki gambaran tentang tatanan berbangsa yang adil, terbuka, dan demokratis.
Gagasan menghidupkan kembali pemikiran Cak Nur perlu direnungkan kembali. Apalagi, akhir-akhir ini, ada sebagian pihak yang menggugat Pancasila sebagai dasar negara, serta menolak demokrasi karena dianggap sebagai sistem yang tak islami. Dalam hal ini, ide-ide Cak Nur bisa menjawab semua kegelisahan tersebut.
Budhy Munawar-Rachman dalam sebuah kesempatan mengungkapkan, Cak Nur merupakan pelopor dari banyak isu pembaruan politik di Indonesia, seperti halnya Pancasila, demokrasi, civil society, HAM, oposisi loyal, dan pluralisme. Sebab itu, kegelisahan bangsa Indonesia, terutama umat Muslim sebagai penduduk mayoritas, dalam menghadapi masalah-masalah sosial kebangsaan belakangan ini telah dijawab Cak Nur dalam berbagai pemikirannya sejak jauh-jauh hari.
Maka, bertepatan dengan masih gegap gempitanya kita merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-72, Indonesia harus bergerak lebih maju dengan mencapai makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia harus bisa keluar dari jeratan kebodohan, konflik sosial, dan perilaku kekerasan. Bagi umat Islam hendaknya bisa mengatur emosi agar tidak mudah mengeluarkan narasi kebencian, apalagi yang dapat berujung pada tindakan persekusi.
Baca juga:
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?
Sejarah Perbedaan Pendapat dalam Islam