Jumat, Maret 29, 2024

Wanita, Industri, dan Diskriminasi

Muhamad Arfan Septiawan
Muhamad Arfan Septiawan
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Sudah menjadi rahasia umum opera sabun dan masyarakat Indonesia memliki hubungan sangat intim. Di tengah hegemoni opera sabun, muncul satu judul yang meyajikan fenomena baru.

Bertajuk “Dunia Terbalik”, opera sabun yang tayang di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) itu berhasil mengundang animo masyarakat. Opera sabun yang dibintangi Agus Kuncoro ini menempati posisi ke-lima opera sabun terlaris pada 2018 silam versi IdnTimes. Opera sabun ini menceritakan kesaharian suami yang banting setir menjadi bapak rumah tangga.

Presmis utama dari opera sabun itu mendobrak budaya yang selama ini mengakar dalam hubungan suami-istri di Indonesia.  secara umum tugas seorang suami ialah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Jika menelaah opera sabun Dunia Terbalik, segala tanggung jawab finansial telah bergeser menjadi tugas sang istri yang dikisahkan bekerja di luar negeri. Sebaliknya, sang suami bertugas mengurus seluruh aset dan keperluan rumah tangga.

Jika melihat sisi positif dari opera sabun ini, wanita sudah punya gerbang lebih luas untuk mendapat pekerjaan. Dewasa ini, wanita dan industri mulai alami peningakatan interaksi. Berdasar Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun adanya peningkatan tenaga kerja wanita antara 2014 hingga 2015.

Wanita dengan rentan umur, jumlah pekerja wanita umur 25-29 meningkat dari 4955 pekerja menuju 5366 pekerja . meski wanita mulai punya ruang untuk bekerja, bagaimana perlakuan wanita diperlakukan di tempat kerja?

Maka, merambahnya kiprah wanita di berbagai sektor industri sejatinya telah menjadi babak baru.  Namun, muncul kenyataan pahit yang terungkap. Penelitian yang dilakukan Lean In.Org di Amerika Utara menyebut kesempatan wanita mendapat promosi jabatan lima belas persen lebih rendah ketimbang pria.

Mereka kerap gagal menggapai capaian karier cemerlang. Bukan karena tidak professional, bukan karena tidak cakap, bukan juga karena tingkat pendidikan, tapi karena mereka wanita.

Diskriminasi Pekerja Wanita: Sebuah Rahasia Umum

kesadaran semu masih dimiliki oleh pekerja industri yang menjadikan perempuan sebagai kaum inferior dan tidak pantas menduduki posisi tinggi di perusahaan. Tidak sampai di situ, setiap harinya wanita harus bersiap desas-desus, sindiran, dan perlakuan diskriminatif lain yang merendahkan.

Selain diskriminasi yang diungkapkan dalam bentuk verbal, ada juga bentuk diskriminasi yang mencekik para pekerja wanita. Diksriminasi itu ialah Sulitnya pekerja wanita mendapatkan hak-hak kerjanya.

Selain merendahkan martabak wanita, perampasan hak tentu berdampak langsung berbagai kegiatan fundamental wanita sehari-hari, salah satunya pemenuhan hak ruang menyusui di perusahaan. Status pekerja bukan berarti menggugurkan status pekerja wanita sebagai ibu dari buah hatinya.

menurut data Kementrian Kesehatan, hanya 152 dari 4041 perusahaan yang menyediakan ruang ASI. Lebih jauh lagi, menurut temuan Komite Perempuan pada 2017, 231 dari 451 perusahaan tidak mengizinkan pekerja wanitanya menyusui saat jam kerja.

Sebenarnya, kebutuhan menyusui ini telah diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Pasal itu menyatakan buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya, jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Bukan hanya hak menyusui yang sering diabaikan oleh perusahaan.

Kejanggalan juga ditemui pada pemberian tunjangan dan gaji pekerja. Sejatinya, melalui tunjangan yang diberikan oleh perushaan menjadi suntikan finansial bagi pekerja dalam menanggung berbagai biaya kebutuhan.

Data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menempatkan gaji pria lebih tinggi ketimbang wanita. Dalam satu bulan, pria rerata meraih gaij sebesar Rp 2,91 Juta, sementara wanita mendapat rata-rata penghasilan Rp 2,21 Juta. Perusahaan masih terjebak dalam pemikiran mengenai kodrat seorang pria yang harus memberi nafkah. Padahal, pemikiran kolot itu kini sudah tidak relevan.

Diskriminasi yang sudah mengakar itu tidak boleh dibiarkan lebih menancap. Wanita tentu sadar, gender bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan alasan strata sosialnya di dunia kerja menempati lapisan bawah. Baik pria mau pun perempuan memiliki derajat yang sama, tidak ada yang lebih inferior mau pun superior. Tidak ingin terus larut dalam penderitaan, keadilan kini mulai digaungkan oleh pekerja wanita di Seluruh dunia.

Suara Keadilan yang Semakin LantangSurvey yang dilakukan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2017 juga menemukan bahwa di Amerika rata-rata pendapatan wanita lebih kecil dua puluh persen ketimbang pria. Selisih yang lumayan jauh ini mengisyarakatkan kinerja seorang pekerja perempuan belum sepenuhnya dihargai secara adil oleh perusahaan.

Tidak ingin terus menerus mendapat kesenjangan upah, Sheryl Sandberg berani memulai gerakan #20PercentCount.  pengurangan upah ini layaknya memberi hukuman pada wanita dan keluarganya.

Analisis Sandberg yang diwartakan USA Today , pengahpusan kesenjangan ini punya segudang keuntungan. Jika kesenjangan ini berhasil ditumpas, pekerja wanita setidaknya akan menghasilkan 530.000 Dollar Amerika lebih selama kariernya.

Industri harusnya berkaca pada perusahaan besar sekelas Facebook. Ternyata audit berkala dilakukan untuk mengetahui tidak ada kesenjangan upah antara wanita dan pria.Indonesia pun mengalami kondisi serupa.

Pada May Day 2018, Koalisi Perenpuan Indonesia menganggap regulasi pemerintah minim implementasi. Terjadi pula kesenjangan upah di mana wanita memiliki lima belas hingga tiga puluh persen upah lebih kecil ketimbang pekerja pria.

Selain temuan itu, ada perlakuan tidak pantas yang harus dialami pekerja wanita di PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN)Pekerja di negeri ini punya cara lebih kreatif menyuarakan keadilan.

Melalui sebuah film, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menyentil seluruh masyarakat tentang tindak kekerasan yang dialami wanita di PT KBN . dilansir Tirto.id, Film itu berjudul “Angka Jadi Suara” yang menggambarkan realita dua puluh lima kasus kekerasan seksual di PT KBN. Berdurasi dua puluh dua menit, film ini nyatanya murni diproduksi oleh tim Federasi Buruh Lintas Pabrik. Kerja keras seluruh tim produksi membuahkan hasil.

PT KBN, sebuah perusahaan milik pemerintah alias BUMN ini merespon tuntutan pekerjanya. Tidak lama berselang, plang besar yang menyatakan dilarang melakukan berbagai bentuk pelecehan dipasang. Bukan itu saja perubahan besar yang dilakukan FBLP. Saat ini, pekerja wanita telah disediakan posko pengaduan tindak kekerasan seksual.

Analaogi Rahim ibu rasanya tepat bila disandingkan dengan perjuangan pekerja wanita. Sel-sel dalam Rahim yang tadinya rapuh lama kelamaan saling bersatu, saling menguatkan. Dari awalnya satu sel, kemudian menjadi jutaan sel. Hingga akhirnya sel itu jadi kuat kemudian menjadi mahluk hidup.

Dalam rahim seorang ibu, sel yang awalnya lemah menjadi kuat. Sama halnya wanita dalam kurungan diskriminasi di industri. Jika hanya berjuang seorang diri, tentu perjuangan akan terasa lebih sukar. Maka, wanita bisa bergerak bersama, menambah kekuatan hingga akhirnya berhasil mendapatkan keadilan yang didambakan

Muhamad Arfan Septiawan
Muhamad Arfan Septiawan
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.