Sebuah video yang memperlihatkan tindakan represif aparat kepada warga Desa Wadas menyulut emosi jagat media sosial awal Februari 2022 yang lalu. Menurut berbagai berita dan laporan, beberapa warga ditangkap paksa oleh aparat hingga adanya sidak telepon seluler ke rumah-rumah warga.
Meletusnya ketegangan antara warga dan aparat ini ditengarai terjadi akibat sengketa agraria. Dimulai sejak tahun 2013, pembangunan Bendungan Bener yang merupakan Proyek Strategis Nasional ini setidaknya membutuhkan tanah seluas 462,22 ha di atas tanah milik warga. Desa Wadas sendiri termasuk salah satu dari 11 desa yang terdampak proyek ini.
Kementerian PUPR mengklaim bahwa sebanyak 346 pemilik bidang tanah telah menyetujui skema kompensasi, sedangkan sisanya menolak dan masih ragu-ragu. Sementara itu, penambangan batu andesit yang ditujukan untuk kebutuhan material bendungan ikut dipaketkan dalam proyek tersebut. Hal ini semakin mendorong gerakan warga Wadas untuk melakukan penolakan.
Warga menilai adanya proyek ini disamping meratakan ratusan hektar lahan pertanian miliknya, tetapi juga mengancam ketersediaan mata air. Pengaduan warga hingga ke tingkat kasasi ternyata tidak membuahkan hasil. Sampai saat ini pun, protes masih dilakukan dan konflik masih terus bergejolak.
Kasus Wadas merupakan salah satu dari sekian praktik land grabbing di Indonesia. Land grabbing adalah bentuk akuisisi tanah dalam skala luas oleh korporasi baik swasta, nirlaba, bahkan institusi publik. Praktik ini merampas tanah termasuk apa yang ada di atas dan di dalamnya dengan atau tanpa pemindahan kepemilikan yang umumnya dari kelompok marginal kepada pihak yang berkuasa.
Dalam hal ini, pemerintah adalah institusi publik yang memiliki kekuasaan melakukan akuisisi tanah seluas 462,22 ha milik kelompok powerless, yakni petani untuk kepentingan pembangunan. Klaim setuju atau tidaknya warga atas kompensasi yang diberikan tidaklah penting, sebab hilangnya tanah sebagai modal nafkah utama bagi warga yang mayoritas adalah petani menjadi ancaman besar terhadap keberlanjutan nafkahnya.
Karakteristik land grabbing menurut Zagema (2011) terlihat sangat jelas pada apa yang terjadi di Wadas. Pertama, tindakan kekerasan, penangkapan , hingga ketidakamanan privasi warga yang terekam di Wadas menunjukkan terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kedua, jika pembangunan bendungan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, akan tetapi yang terjadi justru lahan-lahan produksi pangan itu sendiri yang dihancurkan.
Selain itu, penambangan batu andesit yang secara tiba-tiba dipaketkan dengan pembangunan bendungan sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan warga. Dengan demikian, proyek ini tidak didasarkan pada prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, and Consent) bagi masyarakat yang terkena dampak.
Ketiga, penggusuran lahan pertanian tidak hanya menghilangkan perekonomian dan unsur biologis namun juga unsur magis yang hidup di atas tanah, misalnya tradisi-tradisi agraris. Penambangan yang dilakukan juga tentu akan membawa dampak negatif bagi lingkungan yang dapat berimplikasi pada deplesi sumberdaya alam. Proyek ini jelas mengabaikan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan.
Keempat, terkait dengan kompensasi perlu dilakukan investigasi mendalam apakah warga memiliki daya tawar sehingga kontrak/perjanjian transparan. Kelima, ketidaktahuan warga atas penambangan memperlihatkan bahwa demokrasi pembangunan dibungkam dalam proyek ini.
Selanjutnya, menjadi sebuah pertanyaan tentang bagaimana pemerintah mengerahkan kekuasaannya untuk dapat mengakuisisi tanah dalam skala luas tersebut. Hall et al. (2011) menjabarkan tentang konsep Grabbing by 4 Powers of Exclusion dalam bukunya yang berjudul “Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia”. Dengan ini dapat dijelaskan bagaimana pemerintah memiliki empat kekuatan untuk mengekslusi warga Wadas.
Pertama, kekuatan regulasi dimana pembangunan bendungan dan pertambangan dilegalkan melalui PERPRES tentang Proyek Strategis Nasional. Kedua, kekuatan market/pasar dengan cara memobilisasi investor untuk melancarkan proses pembangunan.
Terbukti, pemerintah telah berhasil melelang proyek senilai triliunan rupiah ini, salah satunya kepada PT Brantas Abipraya. Ketiga, sebagai pembuat kebijakan, pemerintah memiliki hak untuk menerbitkan dokumen resmi yang berlaku melegitimasi setiap tindakan yang dilakukannya, seperti bagaimana dia menerbitkan peraturan resmi tentang proyek ini. Keempat, terlibatnya aparat menjadi tunggangan pemerintah untuk dapat meningkatkan kekuatan force/pemaksaan dalam pembangunan di Wadas.
Mengetahui begitu besarnya kekuatan pemerintah untuk melakukan praktik land grabbing, lalu muncul sebuah pertanyaan besar mengapa warga memilih tetap bertahan dan meneruskan aksi protesnya meski mendapatkan tekanan dari aparat? Untuk menjawabnya, perlu dipahami makna penting pertanian dalam kehidupan bangsa ini.
Eksistensi kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia telah lama membawa peradaban agraris sehingga pertanian tidak hanya menjadi pola nafkah, melainkan telah menjadi nafas bagi sejarah panjang penduduk Indonesia. Dalam usahatani, tanah adalah aset yang paling utama untuk dapat memberikan keuntungan, tentu semakin luas maka semakin besar peluang keuntungan yang didapatkan.
Dalam konteks di Wadas, petani bahkan terancam kehilangan seluruh tanahnya. Padahal bagi komunitas agraris, tanah adalah ukuran kekayaan yang mampu memposisikan pemiliknya pada stratifikasi sosial tertentu. Ketika seorang petani tidak lagi bertanah atau tunakisma, maka dia hanya akan menjadi buruh yang bergantung pada tuannya.
Lantas mengapa pula mereka tidak beralih ke pekerjaan lain? Jawabannya adalah tidak semudah itu untuk beradaptasi dengan perubahan terutama dalam hal sistem penghidupan yang telah lama ditekuni. Dengan kata lain, ketika warga dipaksa untuk beralih ke profesi lain, maka ancamannya adalah mereka menjadi tenaga kerja tidak terdidik/unskilled.
Pembangunan pada Proyek Strategis Nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paradigma pembangunan dengan pengadaan infrastruktur secara masif dan sentralis merupakan kegagalan Orde Baru yang seharusnya telah berganti dengan paradigma baru yang lebih fokus pada aspek partisipatif dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Untuk itu, proyek ini secara tidak langsung justru mengingkari komitmen program Desa Membangun oleh pemerintah itu sendiri yang terkandung dalam UU Desa. Terlebih lagi proyek pertambangan sejatinya sama sekali tidak relevan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pada akhirnya barang tambang yang bernilai ini hanya akan diakses dan dimanfaatkan oleh yang berkuasa. Sementara warga sekitar gigit jari.
Daftar Rujukan
Hall, D., Hirsch, P., Li, T. (2011). Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Hawaii: University of Hawai’i Press.
Zagema, B. (2011). Land and Power: The Growing Scandal Surrounding The New Wave of Investments in Land. Oxfam Briefing Paper. Tersedia pada: www.oxfam.org.