Wacana amandemen kelima UUD 1945 kembali memanaskan ruang publik. Agaknya wacana ini sengaja dipelihara. Ya, kiranya agar bangsa ini tidak abai akan eksistensi lembaga MPR.
Meski harus diakui, empat kali amandemen UUD 1945 masih menyisakan berbagai ketidakpuasan. Misalnya saja ambiguitas sistem perwakilan. Alhasil, Kaelan (2017) mempertanyakan sistem perwakilan yang dianut, apakah bicameral, unicameral, ataukah tricameral, bahkan dianggap tidak ketiganya.
Sekalipun harus melakukan amandemen, mengapa bersifat parsial? Toh, substansinya juga banyak yang bermasalah. Mestinya, paradigma tambal sulam terhadap konstitusi harus dihindari, mengingat posisi UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi.
Tentu perubahan itu diperlukan. Saya pun tidak anti terhadapnya. Namun, ke mana arah perubahannya harus dipertimbangkan. Sama halnya dengan amandemen UUD 1945. Bergerak menuju sistem ketatanegaraan yang mapan atau jatuh ke dalam jurang keambiguan.
Daulat MPR
Dalam konteks mengubah UUD, MPR merupakan aktor tunggal. Paling tidak itulah yangterlihat dari rumusan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Secara limitatif, pasal ini memberikankewenangan eksklusif untuk mengubah UUD hanya pada MPR.
Asal tahu saja, banyak teori dan istilah untuk menyebut perubahan UUD. Tapi secaraprosedur, ada tiga yang dikenal. Itulah yang dikatakan K.C. Wheare (1996) sebagaiamandemen formal, kebiasaan ketatanegaraan, dan penafsiran pengadilan.
Berpijak dari pandangan ini, dapat diketahui, perubahan yang disebut Pasal 3 ayat (1) di atas adalah contoh amandemen formal. Mudahnya, amandemen formal itu dimaknai sebagai cara perubahan yang diatur oleh UUD itu sendiri (Jimly, 2006).
Mengulik pasal per pasal, prosedur formal amandemen UUD dapat ditemui dalam Pasal 37 UUD 1945. Intinya sebagai berikut: Pertama, usul perubahan diajukan 1/3 anggota MPR. Kedua, usul tersebut diajukan tertulis dan ditunjukkan bagian yang diubah besertaalasannya. Ketiga, sidang untuk mengubah UUD dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR. Keempat, putusan atas perubahan disetujui sekurang-kurangnya oleh 50 persen plus satu dari seluruh anggota MPR. Kelima, bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.
Inilah cerminan daulat MPR. Sederhananya dipahami sebagai dominasi MPR dalam melakukan amandemen. Atas pernyataan ini, bisa saja para pembaca langsung menghujamkan kritiknya lewat kalimat, “Anda ini gagal paham, itukan konsekuensi logis-yuridis dari Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.”
Saya memaklumkan dan itu lumrah. Namun perlu diingat, sejak amandemen ketiga, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat tidak lagi dijelmakan ke dalam MPR. Tetapi didistribusikan kepada seluruh penyelenggara negara melalui frasa “dilaksanakan menurut UUD”—bandingkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.
Mari sejenak melakukan analogi sederhana terhadap pembentukan UU. Meski konteksnya berbeda tetapi konsepsinya sama. UUD 1945 juga menentukan kalau pembuatan UU itu diwakilkan kepada DPR bersama presiden—lihat Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Kendati demikian, proses pembuatannya tetap mengharuskan partisipasi rakyat di dalamnya. Apabila diabaikan, itulah yang disebut pembangkangan prosedur pembuatan. Kerennya disebut kecacatan formil.
Dengan analogi ini, kritik hukum yang muncul adalah kapan dan bagaimana keterlibatan rakyat dalam proses amandemen UUD? Lebih dalam lagi, sejauh mana rakyat terlibat dalam proses dan perumusan pasal-pasal perubahan?
Naasnya kita tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dalam UUD 1945. Secara substantif, Pasal 37 tidak memberi ruang dan peluang bagi rakyat untuk terlibat. Ironisnya sampai detik ini, kita pun masih meraba dan menerka pasal apa yang akan diubah dan bagaimana perubahannya.
Sebagai aturan main bernegara, semestinya rakyat dilibatkan. Saya, anda, dan kita semua harus ikut menentukan ke mana arah rel yang akan membawa gerbong bernama NKRI itu menuju. Setidaknya untuk menjaga agar gerbong tadi tidak lagi keluar dari relnya—menjadi agregasi kepentingan MPR semata.
Mendobrak Ego MPR
Isu sentral amandemen kelima adalah mengembalikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sungguh isu lama. Hanya sebutannya yang baru, yakni Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Alasan yang digaungkan tetap sama. Dikatakan agar pembangunan nasional menjadi terarah, padu, dan sistematis dalam satu haluan.
Ketimbang alasan di atas, saya menilai, ide ini sebagai puncak kejengahan MPR. Seperti diketahui, sejak UUD 1945 diamandemen, MPR bak macan ompong. Dewasa ini, MPR hanya melakukan dua agenda rutin kenegaraan. Pertama, melantik presiden dan wakil presiden terpilih. Kedua, mengadakan sidang tahunan untuk mendengar pidato kenegaraan presiden.
Dengan status dan kedudukan MPR sekarang, ide mengadopsi ulang GBHN patut dipertanyakan. Sebab sejarah mencatat, pelaksanaan GBHN menempatkan presiden sebagai bawahan MPR.
Faktanya hari ini, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR tetapi langsung kepada rakyat. Oleh karenanya, ide itu sangat tidak realistis di saat sekarang. Boleh jadi, ide ini lebih pantas disebut egoisme MPR. Ego untuk kembali memonopoli pembangunan nasional melalui dokumen saktinya, GBHN.
Di samping itu, rindu menggebu pada GBHN telah membuat MPR luput. Problem kita tidak pada persoalan teknis berupa dokumen haluan negara. Melainkan persoalan aktor, politik, dan yuridis.
Acapkali pembangunan nasional memposisikan kepentingan politis determinan terhadap kebutuhan riil masyarakat. Tak sedikit pula aktor yang membiarkan pembangunan berakhir pada tumpukan dokumen—tanpa action. Sebab, anggaran untuk pembangunan telah dilahap untuk memuaskan dahaga keserakahan.
Adapun faktor yuridis terlihat dari adanya disharmonisasi aturan. Lebih tepatnya, banyak aturan derivatif yang menegasikan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Misalnya dalam kaitan linearitas pembangunan pusat dan daerah.
Anda pasti masih ingat kabar presiden membatalkan 3.143 peraturan daerah bermasalah. Usut punya usut, ribuan aturan itu tak senafas dengan ketentuan di atasnya, terutama UU. Padahal semuanya menjadi dasar yuridis roadmap pembangunan nasional, khususnya menyangkut investasi, perizinan, dan perekonomian.
Jadi, prioritasnya adalah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi aturan. Supaya substansi dan implementasi pembangunan menjadi searah dan seirama. Dengan begitu, dapat dikatakan pula, menjadikan PPHN sebagai panasea ialah hiperbola yang dipaksakan, sebab tak tepat pada sasaran.